Bab 108. SELESAI HIDUPKU

35 2 0
                                    

Habis sudah, selesai hidupku.

Gemetar kaki Aida.

Mati aku setelah Romo Adiwijaya pulang cucunya bisa menggorokku. Kengerian hati Aida lagi yang hanya bisa tersenyum kikuk mendengar ucapan dari Adiwijaya.

Aida tak berani sama sekali menatap Reiko yang entah akan berpikir apa di dalam benaknya mendengar ini.

"Buka mulutmu, makan dulu. Yang dibilang kakek benar."

Haah, beneran habis deh aku. Sepertinya Reiko paham apa yang dimaksud kakeknya. Aida makin ngeri.

Dia tak berani menolak dan sudah membuka mulutnya.

Aida benar-benar tak menyangka kalau Adiwijaya akan datang dan akan membahas ini di depan cucunya.

"Makan yang banyak, supaya rahimmu sehat dan kuat untuk membawa benihku. Dan ...," kini Reiko memandangnya dengan penuh makna dan tersenyum lebar.

"Kamu tahu kan, buat anak itu capek, apalagi kita buat anak sehari tiga kali. Tadi pagi sekali, habis ini kalau perlu kita buat lagi mumpung aku di rumah."

Glek.

Hahaha. Mamvus sudah hidupku. Aida makin ngeri

"Hush. Istrimu lagi koyo ngono kok kowe siksa toh, Le?" seru Adiwijaya tak menghilangkan semua rasa takut dalam hati Aida.

"Aku kan hanya mengingatkannya soal program kakek. Bukannya benar kalau sedang program Aida harus sehat?"

"Ya tapi ndak lagi sakit begitu kamu ajakin main kuda-kudaan toh."

"Aku kan cuma bercanda kakek. Lagi pula sudah tiga hari ini dia sedang datang bulan."

Kenapa juga dia memperjelas begini?

Ucapan Reiko yang seperti tadi malah membuat Aida semakin ketar-ketir, malu, panik, campur bersalah dan takut. Dirinya hanya bisa tersenyum salah tingkah, karena memang apalagi yang bisa Aida lakukan?

"Oh, yo kowe puasa sek." Senyum Adiwijaya.

"Wes, makan yang banyak, Nduk. Terimalah apa yang diberikan suamimu. Reiko benar, kamu harus makan banyak. Dan kamu juga Le, harus makan banyak, sesuap istrimu, sesuap kamu, itu lebih romantis makan dengan satu sendok."

Ssssh, sudah karam hidupmu setelah ini Aida, kakeknya pulang, habis kau sehabis-habisnya! Apa aku suruh kakek menginap aja ya? Ini rencana yang langsung diurungkan oleh Aida.

Tapi kalau kakeknya tidak pulang dan dia tahu aku beda kamar dengannya, pasti kan kakeknya akan nginep di kamar tamu, aku juga makin mati kalau ketauan pisah kamar.

Bukan sebuah ide bagus jika dia memaksakan kakeknya Reiko tinggal. Sungguh Aida merasa terjepit.

Kebohongan kecil yang dia buat sekarang menjadi buah simalakama untuk dirinya sendiri.

"Iya Kek, tak perlu khawatir tentang kesehatanku. Yang terpenting kesehatan istriku. Bukannya dia yang akan bawa bayi sembilan bulan?" Mata Reiko menatap tajam pada Aida, karena dia saat bicara begini memang sedang menggerakkan tangannya mau menyuap Aida.

Sudahlah, pasrah aku. Sungguh sesuatu yang sulit untuk Aida mengelak lagi.

Untung masakannya enak. Setidaknya ini menghiburku dulu sebelum aku nanti kena omel olehnya.

Aida belum bisa memikirkan apa yang akan dia katakan pada Reiko untuk alasannya. Tapi yang pasti sekarang Aida merasa lebih baik ketika mengunyah makanan itu. Sedap rasanya, bumbunya pas dan yang pasti, selera lokal untuk dirinya cocok.

Reiko memang cukup pandai untuk memasak masakan nusantara, seperti yang dimasaknya sekarang.

Tidak ada yang salah dengan masakannya. Dia memang berbakat dan ini juga disadari oleh Adiwijaya

"Kayaknya aku akan sering jalan-jalan ke Jakarta, Lesmana. Karena masakan cucuku ini enak sekali. Pasti bikin rindu." Ucapan yang tidak hanya membuat Lesmana tersenyum tapi hati Aida pun juga merasa lega.

Untung saja masakan itu bisa membuyarkan dan mendistraksi pikiran Adiwijaya sehingga tak fokus lagi pada urusan program.

Untuk sejenak, Aida bisa bernapas meskipun dia tahu ini bukanlah akhir dari segalanya.

"Benar Tuan besar. Masakannya den Reiko memang sangat enak sekali. Saya yakin den Reiko memang sudah lama sekali pandai memasak kalau rasanya begini."

Lesmana menimpali disaat Reiko memang tidak berbicara apapun, membuat kakeknya menggoda.

"Kamu keberatan toh Le, kalau kakekmu ini sering-sering mampir buat makan masakanmu?"

"Ndak sama sekali kok, kakek. Kalau kakek mau tinggal di sini terus juga ndak apa-apa."

Orang gila. Kalau kakek meladeni untuk tinggal di sini aku bagaimana? Masa sekamar bertiga dengan kekasihnya? Hyaks. Aida ngomel di hatinya

"Tapi kakek ndak suka tinggal di apartemen." Namun saat itu juga hati Aida merasa lega.

Hah, pasti dia sudah berpikir kalau kakekku mau tinggal di sini. Dari dulu kakek memang membenci apartemen, bisik hati Reiko yang melihat ada senyum tipis di bibir Aida ketika dia menyuapinya tapi mungkin orang yang tak melihat terlalu dekat tak akan tahu.

"Kakek kan punya rumah di Jakarta jadi kakek bisa tinggal di Jakarta di rumah kakek," tambah Reiko lagi.

Matilah aku kalau kakeknya tinggal di Jakarta. Pasti aku akan disuruh sering-sering main ke rumahnya dan dia pasti akan membuat aku sulit dengan pertanyaannya. Ini juga bukan ide yang disukai oleh Aida. Dia merasa khawatir, apalagi Adiwijaya seperti sedang berpikir.

"Oh ya tapi ndak bisa loh Le."

"Apa yang sulit sih Kakek? Di sana juga kakek tinggal bersama dengan Lesmana," tanya Reiko, yang memang tahu kakeknya itu selalu bergantung pada Lesmana.

Dan sebetulnya kalau kakek di Jakarta itu lebih bagus. Kami bisa memantau apa yang ingin dilakukan oleh Lesmana,bisik hati Reiko yang masih ingat betul apa saja yang sering dikeluhkan oleh papanya tentang Lesmana. Pria itu di luar jangkauan mereka dan ini membuat Endra Adiwijaya kurang senang.

"Ya ndak bisa, kecuali kalau ndak ada Waluyo di sana, ya kakek pasti memilih tinggal di Jakarta supaya bisa memakan masakanmu tiap hari, bisa mengobrol dengan Aida setiap hari. Dan kakek akan meminta kalian untuk tinggal di tempat kakek. Tapi masalahnya ada Waluyo di sana."

Nama itu lagi disebut. Apa sih hubungannya dengan kakekku? Kenapa juga kakek dekat sekali dengannya? Apa jangan-jangan pengaruhnya yang membuatku jadi harus menikahi wanita ini? Jujur saja memang Reiko tidak tahu apa kegiatan kakeknya di kampung dan kenapa dia senang sekali di kampung kelahirannya padahal kakeknya punya anak semua di Jakarta.

"Memangnya kakek sering ngelakuin apa sih sama pakde Waluyo?"

Sampai akhirnya Aida pun juga tak tahan untuk tidak bertanya.

Semua kesialanku ini karena nama itu. Aku yakin sekali perjodohan ini karena nama itu. Lihat apa yang harus terjadi pada diriku sekarang? Aku meninggalkan kekasihku. Aku membuat masalah baru sekarang dengan wanita ini. Tiga hari dia tidak boleh melakukan apapun. Harus bagaimana hidupku? Benar-benar nama itu menyengsarakanku.

"Loh, banyak Nduk."

Rasanya tidak lega banget hati Reiko kalau mendengar nama itu. Tapi kakeknya memang sudah bersahabat dekat dengannya.

"Pakde Waluyo mu itu kalau ndak ada aku dia enggak ada teman. Dia itu koncone gur aku tok. Apa-apa ya ke aku, pokok'e cuma aku, nangis dia kalau aku ndak pulang-pulang ke kampung."

Hahaha, ora iso jawab kan kowe Waluyo? bisik hati Adiwijaya senang. Sepertinya dia memang sedang merencanakan sesuatu sekarang di benaknya.

"Masa sih kakek?" Aida bertanya setelah menelan makanannya. Sengaja supaya pembahasan tak lagi melulu tentang dirinya dan program. Aida menghindari sesuatu yang sensitif.

"Coba kamu pikirin perkututnya itu kalau ndak ada perkututku siapa temannya biar pagi-pagi bisa bunyi?"

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now