[05] Mati gue

15.8K 966 2
                                    

Reina menatap kosong sembarang arah. Dihadapannya ada kentang goreng dan juga jus mangga favoritnya. Tergeletak tak berdaya karena Reina tidak menyentuhnya hampir selama setengah jam.

Disampingnya ada Revin yang sedang cekikikan menatap layar ponselnya. Mungkin berbalas pesan dengan teman-teman barunya, atau mungkin para fansnya? Ah entahlah Reina tidak mau menebak-nebak.

Otaknya terasa penuh dan akan pecah mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Dimana Chika yang mengguyurnya dengan jus naga, tapi refleksi Reina lebih peka jadi dia menunduk. Jadi cairan kental tersebut melewati Reina dan mengenai seseorang yang paling berpengaruh di sekolah.

Siapa lagi kalau bukan, Ketua OSIS. Leo!

Kalian pasti tahu apa reaksinya?

Marah! Dia menggeram dan menatap tajam Reina dan juga Chika yang berdiri dengan kaki bergetar. Reina meneguk salivanya susah payah lalu berdiri.

"Kalian...." Geram Leo dengan rahang mengeras. "BESOK BAKAL GUE HUKUM HABIS-HABISAN!" Setelah berteriak Leo berjalan pergi dengan cepat.

Reina kembali menelan ludah saat mengingat raut wajah Leo yang benar-benar menyeramkan bak seorang iblis. Matanya yang tajam, wajahnya yang tampan merah padam, dan urat leher yang menonjol. Membuat Reina bergidik ngeri.

Apalagi mengingat gertakan Leo tentang besok yang akan menghukum dirinya dengan Chika habis-habisan. Apakah besok adalah hari terakhirnya hidup?

Revin melirik Reina, dia menatap heran kakak kembarnya itu. Dengan jahil dia mengulurkan tangan untuk mengusap wajah Reina. Membuat gadis itu berjinggit kaget lalu menggeplak keras tangan Revin.

"Apaan sih?" Ketusnya sambil meraih minum, menatap kesal Revin yang malah tertawa.

"Ngapain lo bengong? Mikir utang?"

Reina hanya mendengus sebal lalu memeluk kakinya, menopang dagunya pada lutut.

Revin mengusap kepala Reina lembut, dia menaruh ponselnya di meja dan fokus terhadap Reina. "Kenapa?"

Reina hanya menggeleng, dia menutup matanya untuk menikmati sensasi menenangkan dari Revin.

"Yakin? Gue gak yakin, kita ada ikatan batin kalau lo lupa." Gumam Revin dengan wajah santai. Dia tiba-tiba merasa resah dan deg-degan padahal dia tidak melakukan apapun. Dan Revin berpikir mungkin Reina yang sedang merasakan hal itu.

Reina membasahi bibirnya yang kering, lalu menurunkan kakinya dari sofa. Dia menatap Revin, "Mau cilok!"

Revin mengerjab, dia tersenyum lalu tertawa. Revin bangkit dan mengulurkan tangannya yang diterima baik oleh Reina. Revin menarik Reina keluar rumah menuju motornya.

"Mau kemana?"

"Katanya mau beli cilok?"

"Iya, tapi kan Abang ciloknya ada di, Bandung!" Reina mendesah sebal, melipat kedua tangannya di dada.

"Iya juga," gumam Revin, tapi senyum tiba-tiba terbit dari bibir manisnya. "Ikut gue! Gue tahu dimana tukang cilok sekitar sini!"

Saat Reina akan menjawab, Revin dengan cepat memotong dan menyuruh gadis itu agar segera naik. Dan motor pun melaju meninggalkan rumah. 

***

"Lo tau darimana ada penjual cilok di deket sini? Lumayan juga rasanya." Kata Reina sambil memakan cilok. Kedua anak kembar itu memutuskan untuk menghabiskan cilok di dekat taman komplek. Mau ngadem ceritanya.

"Beberapa kali lewat, gue liat." Jawab Revin sekenanya sambil asik memakan cilok.

"Ngapain lo lewat sini? Perasaan sekolah gak lewat jalur ini?"

Revin hanya cengengesan, membuat Reina mencebikkan bibirnya kesal.

"Gue beli minum dulu deh, Lo nitip gak?" Reina berdiri setelah ciloknya habis. Sekarang dia kepedesan dan berkeringat. "Cepetan, Bambang! Pedes, nih!"

"Sabar, Sarimen! Gue lagi ngunyah!" Gumam Revin, "Gue air dingin aja."

Reina mengangguk lalu berjalan pergi mencari pedagang yang menjual minuman.

Matanya menyapu sekitar tapi tidak menemukan siapapun, tapi tak lama dia melihat ada seorang anak kecil yang sedang berjualan minum. Reina pun memanggil anak kecil tersebut, kira-kira masih SD.

"Mau beli apa kak?" Tanya anak kecil itu dengan ceria dan senyum yang merekah.

"Air mineral dingin dua, ya."

"Oke, kak. Nih,"

"Berapa?"

"Sepuluh ribu,"

Reina merogoh sakunya, lalu mengeluarkan dua puluh ribu dan memberikannya pada anak kecil tadi.

"Bentar ya kak kembaliannya,"

"Eh, gausah deh. Buat adek aja."

"Beneran kak? Tapi nanti aku--"

"Udah-udah gapapa. Nama kamu siapa?"

"Nino, kak!"

"Oh, Nino.. salam kenal ya, namun kakak Reina. Kalau gitu kakak pergi dulu ya, bye Nino."

"Bye juga kak, terimakasih banyak ya. Semoga kakak selalu bahagia dan sehat."

"Amin."

Setelah percakapan singkat itu Reina tersenyum dan memutar badan, berjalan ketempat Revin.

Saat Reina akan melewati pohon beringin dia melihat seseorang yang sedang menunduk dengan sebelah tangan yang memegang pecahan beling. Membuat bulu kuduk Reina berdiri tegak seperti sedang upacara bendera, merinding.

Reina sontak saja menghentikan langkah, menatap penasaran seseorang itu. Kira-kira apa yang dilakukan seseorang itu dengan pecahan beling? Pikir Reina.

Seseorang itu pemuda dan kira-kira usianya tidak jauh darinya. Dia tidak bisa melihat wajahnya karena pemuda itu sedang menunduk dan ada kupluk Hoodie yang menyembunyikan kepalanya.

Reina masih menatapnya dan saat pemuda itu bergerak dengan pecahan beling tersebut, Reina langsung berlari mendekatinya.

Apa dia mau bunuh diri di taman ini? Bisa-bisa jadi angker, ih! Batin Reina.

"Hey! Stop! Lo mau bunuh diri disini?" Pekik Reina dengan napas tersengal saat sudah berada di depan pemuda itu.

Pemuda itu terkejut dan sontak mendongak, saat matanya bertemu dengan mata Reina. Reina membelalakkan matanya kaget. Tenggorokannya terasa tercekik tangan tak kasat mata.

Mati gue!  

KEMBAR SOMPLAK  - SELESAI [ Segera TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang