[75] Brother sister complex?

2.8K 456 123
                                    

Pemuda itu menghela napas berat saat kedua bola matanya menatap gadis di depannya ini masih nyaman untuk memejamkan mata. Satu jam telah berlalu setelah dokter memberikan obat anti nyeri yang menimbulkan efek tidur.
.


Revin.... Pemuda dengan wajah kusut itu menutup matanya perlahan. Membiarkan rasa nyeri menjalar di perutnya karena sedari tadi belum makan. Dirinya terakhir makan saat siang tadi di kantin, itupun cuma satu bungkus sandwich tuna beserta teh botol.

Nyeri pada perutnya tak ayal membuat Revin menggeram dengan mata tertutup rapat. Dia mempunyai riwayat sakit lambung yang cukup parah jika terlambat makan.

Karena tak ingin meninggalkan sang kakak yang masih terbaring tenang di atas brankan membuat Revin harus menahan sakitnya.

Tiga puluh menit berlalu, keringat semakin bercucuran dengan deras diiringi suara rintisan Revin yang keras hingga tanpa sadar membuat Reina terbangun.

Gadis itu sedang mencerna apa yang sedang terjadi, hingga suara kesakitan dari samping membuat Reina langsung menoleh. Mata nya membulat sempurna melihat Revin yang sudah tertidur di lantai dengan meringkuk.

Detik itu juga reina langsung menegakkan punggungnya, mengabaikan rasa pusing dan mual saat dengan tiba-tiba bangkit. Rasanya bumi sedang berputar-putar.

Reina mencabut infus dan selang yang berada di lubang hidungnya, dengan tertatih mendekati Revin lalu memeluknya erat.

" Revin... hiks! Kenapa? Kamu kenapa?" Reina menangis melihat Revin yang kesakitan seperti ini.

Revin terkejut dengan pelukan Reina yang tiba-tiba. Dia pun mencoba duduk dan membalas pelukan sang kakak. "Ga papa. Akkhhh. "

"NO!"

Reina segera memencet tombol dekat brankan, kemudian para suster pun datang bersama dokter. Mereka memindahkan Revin ke brankan Reina lalu memeriksanya. Reina sendiri di paksa suster untuk duduk di sofa karena keadaanya yang baru saja siuman.

Reina terus mengusap wajahnya yang basah, rasa sakit dan resah bercampur menjadi satu. Dia sangat khawatir dengan Revin. Melihat Revin yang berkali-kali menggeram dan menggeliat kesakitan, membuat nyawa Reina seakan mau terlepas dari tubuhnya.

Melihat dokter telah selesai memeriksa, Reina langsung mendekat. "Gimana dok? Adik saya kenapa?"

Dokter dengan rambut yang sudah memutih semua itu menelan ludah. "Dia seharusnya makan teratur dan jangan banyak pikiran. Lambung nya terluka hingga membuatnya hampir saja kehabisan napas. Tapi sudah saya suntikan vitamin, kalau adik kamu bangun langsung suruh minum, makan, sama beri obat."

Reina berdiri mematung, menatap Revin yang sekarang tertidur dengan alat bantu pernapasan.

Reina menepis tangan suster yang akan membawanya ke ruangan sebelah, Reina menolak mentah-mentah dan bersikukuh untuk berada di samping sang adik. Bahkan gadis itu mengusap kasar darah yang keluar dari tangannya.

Dengan jengkel suster tersebut pun pergi.

Reina mendekati Revin, lalu mengusap puncak kepala Revin dengan sayang. Dengan perlahan Reina mengecup dahi Revin yang hangat. Menutup mata, Reina bergumam, "Maaf... maaf belum bisa jadi kakak yang baik. Maaf..."

Lalu, dengan bergegas dirinya melangkah menuju kamar mandi dalam, menangis di sana sambil  meninju dinding kamar mandi.

Reina terus menangis, hingga terduduk di lantai. Merapatkan lutut, Reina menenggelamkan kepalanya di sana. Mengingat kejadian beberapa jam yang lalu hingga dia bisa sampai disini.

FLASHBACK ON!

Tak tega melihat keadaan sang kakak yang sudah tenang dengan seragam dan rambut acak-acak an. Revin pun melepas Hoodinya lalu memakaikannya ke tubuh Reina. Bahkan dengan sayang dan mata yang sayu pemuda itu merapikan rambut Reina.

KEMBAR SOMPLAK  - SELESAI [ Segera TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang