3. Pertemuan

1.5K 212 6
                                    

Belum di revisi, maaf kalo acak-acakan pemilihan katanya ya..

***

“Sar, tolong ambilkan gulungan yang kemarin Kang Mas bawa,” Pinta Sekar yang sekarang sedang membaca.

Ia tengah berada di paviliun barat. Seperti yang ia katakan, sering mengisi waktu luangnya disini. Biasa ia lebih sering melukis, namun sekarang ia sedang ingin membaca. Dengan membaca, bisa menambah wawasannnya yang tidak seberapa itu.

Di sini, tidak ada larangan untuk seorang wanita belajar membaca maupun menulis. Hanya tergantung mau atau tidaknya. Kebanyakan orang tidak mau belajar karena tidak penting juga untuk kehidupan mereka. Dan Sekar belajar hanya untuk, belajar. Tidak ada alasan lain. Karena pada akhirnya pun, tugasnya bukan untuk berkutat pada suatu tulisan.

Memang susah pada awalnya membaca aksara jawa ini. dirinya bahkan butuh bertahun-tahun untuk bisa membacanya, karena ia juga tidak di latih sejak kecil. Ia baru belajar membaca saat usianya menginjak sebelas tahun. Sebenarnya mudah jika hanya mengingat huruf aksara jawa sebatas HA sampai NGA. Namun yang membuatnya susah adalah pasangan dan lainya yang menurut Sekar sangat rumit. Belum lagi aksara lainya seperti aksara murda, aksara swara dan lainya. Sungguh pintar, Aji Saka yang menciptakan ini.

“Niki Ndoro Putri.” Sari meletakan sebuah gulungan di meja, lalu ia duduk di samping kanan Sekar dan mulai belajar membaca.

Awalnya Sari tidak begitu tertarik membaca, namun karena Sekar sering membaca dan ia juga penasaran, maka akhirnya ia belajar. Disampingnya, Darmi masih duduk dan berleha-leha. Ia belum ingin belajar membaca. Katanya, hidupnya hanya di abdikan untuk memasak dan menjadi dayang.

“Kenapa harus pakai pasangan kalau ada pangkon nggih Ndoro?” Tanya Sari menunjuk deretan pasangan. Dari kemarin, ia sudah menghafalkan huruf aksara dan sandhangannya. Sekarang ia bingung dengan keberadaan pasangan sedangkan ada pangkon yang lebih mudah di gunakan dan tidak perlu menghafal lebih banyak.

Sekar melihat ke arah yang di tunjuk oleh Sari. Ia menjawab, “Pangkon itu untuk akhir kalimat saja sebelum tanda pada lungsi. Sedangkan pasangan di gunakan pada kata yang berada di tengah kalimat. Misalnya ‘Sabdo kang luhur.’, ‘d’ dalam kata sabdo menggunakan pasangan, karena untuk mematikan kata ‘ba’ menjadi ‘b’. Sedangkan ‘r’ dalam kata luhur di akhiri dengan pangkon, karena ‘r’ dalam kalimat itu berada di akhir kalimat, sebelum pada lungsi. Kamu mengerti?”

Sari mengangguk. Kenapa pula harus pakai pasangan, kalau pakai pangkon saja sudah cukup. Pangkon hanya satu, sedangkan pasangan banyak sekali. Kalau seperti ini, kapan ia akan bisa membaca?

“Kalau mau tanya kenapa harus pakai pasangan dan bukan pangkon saja, jangan tanya padaku. Aku sendiri tidak tahu.” Kata Sekar. Walaupun pandanganya masih ke gulungan yang sedang dibaca, namun ia tahu isi pikiran Sari karena ia pun dulu seperti itu. kalau ada yang mudah, kenapa harus dipersulit? Sari tersenyum malu dan kembali menghafalkan pasangan.

Sekar mendongakkan kepala seakan teringat sesuatu. “Ah! Darmi, tulung jupukke kitab sing biasa dibaca Kang Mas pas sinau mbien!” Perintah Sekar kepada Darmi. Darmi dengan sigap berdiri dan melangkahkan kaki. Namun saat ia memulai beberapa langkah, ia menoleh dan bertanya, “Kitab sing biasa di waos Raden Bagas Ndoro?” Tanyanya. “Iya,” Sekar menjawab.

(Ah! Darmi, tolong ambilkan kitab yang biasanya dibaca Kang Mas saat ia belajar dulu!)

(Kitab yang bisa di baca Raden Bagas Ndoro?)

Lalu Darmi duduk kembali dan tersenyum malu. “Angger niku kulo mboten wantun. Kitab-kitab biasane mboten sembarang tiyang saged mendhet lan dhemek, beda kalian gulungan puisi niki.” Jawab Darmi.

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now