42. Lara

1K 132 8
                                    

Dorongan yang Sekar berikan kepada Gajah Mada tidak berarti apa-apa. Gajah Mada sama sekali tidak bergerak atau merasa sakit. Adalah Sekar, yang akhirnya terdorong ke belakang oleh tangannya sendiri dan menjatuhkan tangannya ke sisi bagian bawah tubuh Gajah Mada.

Rasa panas memenuhi tangannya yang terjatuh. Sesuatu di bawah tangannya dan di bawah kain jarik Gajah Mada tersentuh olehnya. Itu panas dan keras.

Gajah Mada mengerang lirih, "Aghh..."

Sekar memandang Gajah Mada penuh ketakutan. Matanya terbuka lebar. Persis bibir bengkaknya yang tidak bisa terkatup rapat. Tangan yang memegang sesuatu itu ia tarik dengan kencang. Membuat tangannya sendiri menabrak dadanya sendiri dengan keras.

Tanpa mengaduh, ia berkata dengan terbata-bata. "A-apa..."

Karena Sekar berdiri dengan terburu-buru, salah satu kakinya menginjak jariknya. Dengan langkahnya yang mundur dan gemetar, Sekar terjatuh.

Rasa sakit di pantatnya hilang. Ia hanya peduli dengan Gajah Mada yang senantiasa menatapnya. Sekar menutup dadanya dengan kedua tangan. Terlihat seperti seorang yang teraniaya.

Gajah Mada tersenyum kecut melihat respon Sekar yang mengejutkan. Ia pikir, Sekar sudah mau menerimanya, tapi ternyata tidak. Lihatlah wajah itu! Seperti kelinci yang takut di makan serigala. Apa ia benar-benar menakutkan?

Gajah Mada menoleh ke samping. Dimana mangkuk dupa tergeletak. Gajah Mada melihat bayangan wajahnya sendiri. Mencermati dengan cermat, tidak ada yang salah dengan wajahnya ataupun ekspresi yang ia buat. Bagaimana Sekar bisa sangat takut dengan dirinya? Kurang lembutkah ia?

Gajah Mada menggela nafas. Kembali menatap Sekar yang masih mempertahankan posisinya. Ia masih duduk di lantai persis seperti saat ia terjatuh. Gajah Mada mengingatkan, "Berdirilah! Lantainya dingin." Ucapnya.

Tapi Sekar tidak mengindahkan perintahnya. Ia tetap saja duduk membatu di sana. Membuat Gajah Ada lagi-lagi menghembuskan nafasnya lelah. Cuaca memang tidak dingin, namun lantai terlalu dingin untuk diduduki. Gajah Mada tidak ingin Sekar sakit. Jadi ia mengalah.

"Keluarlah, minta Dwi Prapaja menemanimu jalan-jalan. Jangan berjalan sendirian, kerajaan ini tidak aman." Ujarnya tanpa menatap Sekar.

Sekar mengangguk. Ia berdiri dengan kaki lemas dan berjalan ke luar. Sesekali menatap Gajah Mada yang tidak menatapnya lagi. Tidak ingin melewati kesempatan bagus ini, Sekar terus melanjutkan jalannya dan membuka pintu. Lalu menutup pintu dengan lirih.

Gajah Mada memandang kecewa pintu yang tertutup. Menghembuskan nafas kasar, ia melihat ke bagian bawah tubuhnya yang mengeras. Lalu ke telapak tangannya yang berdarah. Gajah Mada mengacak rambutnya sembarang.

Ini bukan apa-apa jika ia tidak bertemu Sekar. Panas ditubuhnya akan menghilang dengan sendirinya. Tapi karena ia bertemu Sekar, ia seakan diprovokasi sampai puncak. Menahan efek obat itu mudah, menahan keinginannya pada Sekarlah, yang menjadi tantangan. Saat ia berharap bahwa sesuatu akan terjadi, dan Sekar akan menolongnya, yang dia dapat malah dirinya ditinggalkan seorang diri.

Karena itu, satu-satunya hal yang perlu ia lakukan sekarang adalah membilas badannya dengan air dingin dari kepala hingga ujung kaki.

Gajah Mada menyentuh bibirnya. Senyum mengembang saat terbayang rasa manis dari bibir yang selama ini ia mimpikan. Setidaknya, ia sudah mengambilnya. Dan rasanya sangat memabukkan. Lebih luar biasa dari yang ia bayangkan selama ini.

Perlahan, Gajah Mada berdiri dan berjalan ke luar. Menahan rasa tak nyaman diantara ke dua kakinya.

****

Sekar mengelus dadanya. Jantungnya sudah kembali normal seperti sedia kala lagi. Sekar hanya merasa kasihan kepada Gajah Mada. Apa ia akan baik-baik saja jika Sekar tinggalkan?

"Bagaimana keadaan Kakang Gajah, mbakyu?"

Sekar terkejut dengan tepukan seseorang di bahunya. Saat ia berbalik, ia mendapati Dwi Prapaja yang bertanya dengan raut penasaran.

Sekar dengan terbata menjawab, "D-Dia baik-baik s-saja." Rasa gugupnya kembali memenuhi dadanya saat nama Gajah Mada di sebut kembali, kejadian yang tadi ia alami terputar kembali. Sekar menggeleng dan menepuk kepalanya.

"Ada apa mbakyu?" Dwi Prapaja bertanya. Sekar di depannya terlihat aneh. Wajahnya memerah seperti demam. Matanya tak fokus dan gerakannya berantakan. Dan...

Dwi Prapaja mencondongkan wajahnya ke depan. Mencernati setiap detil wajah Sekar. "Bibir Njenengan..." Dwi Prapaja menunjuk bibir Sekar yang terluka.

Karena Gajah Mada menggigit bibirnya saat berciuman, bibir atas Sekar sedikit sobek dan terluka. Sedikit darah yang keluar tercampur dengan air liur sehingga terlihat samar di lukanya.

Sekar cepat-cepat menutupi bibirnya dengan kedua tangan. Ia menolehkan wajahnya kesamping. Menyembunyikannya dari pandangan Dwi Prapaja.

Sekar berdehem. "Ekhem! Aku menggigit bibirku sendiri saat di jamuan tadi." Ucapnya.

Dwi Prapaja menyergit bingung. Menggigit bibirnya sendiri saat makan.. Bisakah kalian menggigit bibir atas kalian sendiri saat kalian makan? Itu konyol. Kalau bibir bawah, itu bisa saja dimaklumi. Tapi bibir atas?

"Bagaimana bisa menggigit bibir atas saat makan?" Gumaman Dwi Prapaja terdengar sampai ke telinga Sekar.

Sekar menjawab dengan gugup. Karena gugup, nada bicaranya meninggi saat mengatakan. "Cara makanku aneh! Jadi aku menggigit bibir atasku!" Ucapnya kesal.

Dwi Prapaja terkejut dengan pergantian emosi Sekar yang tajam. Ia tidak menjawab apa-apa tapi hanya menatap Sekar dengan bingung.

"Jangan menatapku terus! Tidak sopan!"

Dwi Prapaja semakin di buat terkejut. Ia tidak tahu apa yang membuat Sekar marah. Apakah pertanyaannya salah? Ia hanya bertanya tentang luka yang di dapat Sekar. Itu saja sebagai tanda pedulinya kepada Sekar.

"Sudahlah! Kang Mas menyuruhmu mengawalku berjalan-jalan." Ujar Sekar. Kemudian, ia berjalan mendahului di depan. Ia malu, tapi berpura-pura tidak ada yang terjadi.

Walau ia tahu Dwi tidak tahu apa yang terjadi, tapi pertanyaannya membuat Sekar salah tingkah. Bagaimana kalau dia menyadari ada yang salah.

Dwi Prapaja di belakangnya menatap Sekar frustasi.

Dia bukanlah prajurit dan dia bukan pengawal. Tapi kenapa Gajah Mada menyuruhnya untuk menemani Sekar jalan-jalan. Itu bukan tugasnya.

Lagi pula, kenapa harus ia yang menemani Sekar? Bukankah biasanya Kang Masnya, Gajah Mada itu selalu menempel kepada istrinya ini? Selalu bersama, dan tidak pernah meninggalkannya sendiri.

Apa jangan-jangan Gajah Mada sedang sakit? Sehingga ia tidak bisa menemani Sekar? Tapi itu tidak mungkin. Kalau Gajah Mada sakit, pasti Sekar sekarang menemaninya. Bukannya malah berjalan-jalan seperti ini. Dan Sekar juga bilang kalau Gajah Mada baik-baik saja 'kan?

Dwi Prapaja menuntun langkahnya untuk membuntuti Sekar. Ia menatap Sekar lekat dengan pandangan ingin tahu. Apakah sesuatu terjadi dengan kedua orang ini? Bertengkar kah?

Tidak, tidak.. Gajah Mada selalu mengalah walau wajahnya garang seperti itu. Sifat baru yang ia punya itu terlalu berbeda dengan sifat-sifat lainya yang ia perlihatkan di depan umum.

Bibir Sekar terluka, Sekar menjadi pemarah dan Wajahnya memerah.

Apakah mereka sedang melakukan sesuatu? Dan dia mengganggu acara itu!!

***
3 Juni 2022

Sukai halaman aku ya, nama halamannya PUISI cerpen. Linknya aku taroh di bio aku

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now