39. Keberanian dan Ketakutan

715 121 3
                                    

Amarah Wironggo membuncah. Kata-kata Sekar sarkas dan tegas. Hanya orang bodoh yang tidak mengerti maksudnya. Dan dia tidak sebodoh itu untuk tidak memahami. Sekecil apapun otaknya, ia terlalu sensitive dengan kata-kata. Sekar telah mempermalukannya hingga jauh ke dalam harga dirinya.

Wajah Wironggo sudah memerah menahan marah. Takut Wironggo akan melakukan hal yang sembrono, Seseorang di sampingnya menunduk. Membisikan sesuatu kepadanya. "Jangan Marah Yang Mulia. Tenang 'kan diri anda. Ini adalah istri dari Mahapatih Gajah Mada, orang nomor dua di Majapahit. Salah kalau menantang mereka terang-terangan. Lagipula, dia sangat cantik. Bukankah Yang Mulia sendiri mengagumi kecantikan lebih dari kebaikan?" Ucapnya.

Dia hanya tidak ingin Wironggo membuat marah orang-orang Majapahit yang sama sekali bukan tandingan mereka. Akan habis negara mereka jika dua kerajaan bertarung hanya karena masalah sepele.

Wrionggo berdecak. Walau ia tidak suka apa yang dikatakannya, ucapannya memang ada benarnya. Tidak baik mencari masalah dengan orang-orang Majapahit. Tapi tetap saja ia sangat marah sampai rasanya ingin membalikkan meja makan ini sekarang juga.

Ia akui Sekar adalah wanita tercantik. Sempat berpikir untuk memilikinya, Wironggo di buat mundur dengan kejadian ini. Secantik-cantiknya Sekar, akan hilang di mata Wironggo saat melihat bagaimana pintar dan bermartabatnya ia.

Kalau boleh jujur, Wironggo lebih suka tipe wanita yang manis, patuh, dan centil. Sejenis pelacur yang bisa kapan saja ia buang tanpa melawan. Benar-benar wanita idaman.

Atas saran masuk akal itu, Wironggo memaksakan senyum. Namun bukanya terlihat ramah, ia malah terlihat mengerikan saat memaksakan senyum pada wajah marahnya.

"Dyah benar sekali. Aku rasa ucapanku sedikit kurang ajar. Maafkan aku." Ucapnya menatap Sekar lurus.

Gajah Mada mengamati Wironggo dengan cermat. Karena Wironggo tidak ingin melanjutkan perseteruan, tidak etis baginya untuk kembali membuat masalah dengan mempermasalahkan tatapan yang Wironggo berikan kepada Sekar.

Jadi, ia hanya menarik tangan Sekar untuk kembali duduk menggenggamnya erat-erat. Mengisyaratkan kalau Sekar ada dalam kuasanya. Siapa yang berani mengusik, maka sama saja mengusiknya.

Ia menoleh, tersenyum lembut kepada Sekar. "Terimakasih," Ucapnya sangat halus. Dari telinga Sekar, yang ia dengar hanya gumaman semata kalau saja ia tidak melihat kecap Gajah Mada.

Perasaan lembut menyertai hati Sekar. Senyuman hangat dan ucapan yang halus itu membekas sampai pada hatinya. Membuatnya merona sampai telinga.

Di bawah sinar bulan yang sangat terang ini, dan cahaya obor yang berada di belakangnya, Windu menoleh kepada Rashmi. "Dia juga perhatian," Ucapnya.

***

Pusing mendera kepala Gajah Mada saat gelas kesekiannya tandas. Matanya memejam untuk tenang dan berusaha menghalau pusing.

Gajah Mada adalah tipe orang dengan konsentrasi minum yang tinggi. Pertemuan seperti identik dengan minuman. Ia terbiasa meminum arak seperti meminum air putih. Lalu apakah sekarang ketahanan tubuhnya sudah menurun setelah bertahun-tahun ia tidak pernah minum?

Dulu, ia tidak akan mabuk walau meminum satu jerigen penuh. Kenapa sekarang hanya beberapa gelas ini mampu membuatnya pusing?

"Ada apa Kang Mas?" Tanya Sekar melihat keanehan pada Gajah Mada. Ia curiga Gajah Mada mabuk setelah melihat dengan mengerikan bagaimana Gajah Mada meminum semua arak seakan ini adalah minuman biasa.

Gajah Mada menggeleng. Mencoba terlihat baik-baik saja walau tangannya setia memegang kepala. "Tidak," Jawabnya.

Sekar menyergit tidak percaya. Dengan wajah sedikit merah kuyu dan tangan yang mengelus pelipis setiap waktu, bagaimana mungkin Gajah Mada tidak apa-apa.

Belum sempat kecurigaannya menjadi, Gajah Mada berdiri dari duduknya. Memandangnya lembut dan berkata, "Sepertinya aku butuh udara segar. Disini sangat ramai." Ujarnya.

Tanpa mendengar jawaban Sekar, Gajah Mada pergi. Meninggalkan Sekar yang bingung. Pandangannya setia membuntuti Gajah Mada. Mencermati kemana ia pergi.

Gajah Mada sendiri tidak memperhatikan bagaimana Sekar memandangnya. Kakinya terus melangkah saat pusing semakin menjadi. Apalagi dengan tubuhnya yang panas dan tak nyaman.

Ketika ia sampai di samping kursi Dwi Prapaja, Ia berhenti. Menepuk Dwi Prapaja dan membisikkan sesuatu. "Cari tahu apa yang ada di dalam minumanku!" Ucapnya. Tanpa mendengar jawaban Dwi Prapaja, Gajah Mada kembali melanjutkan jalannya.

Dwi Prapaja memperhatikan punggung Gajah Mada serius. Sama seperti Sekar, ia juga bingung. Tapi kebingungannya cepat tergantikan dengan dugaan-dugaan yang bisa saja terjadi. Kemudian, tanpa berpikir panjang, Ia segera pergi ke meja Sekar. Memeriksa minuman Gajah Mada.

Sekar yang melihat Dwi Prapaja datang ke arahnya dengan pandangan serius curiga, apakah sesuatu sedang terjadi.

Dwi Prapaja tersenyum samar kepadanya. Lalu mengambil gelas-gelas yang sudah tergeletak tanpa berisi. Sekar ingin bertanya, namun melihat wajahnya yang serius, ia urung. Hanya mampu mengamatinya dan bertanya-tanya dalam hati.

Satu persatu gelas bekas Gajah Mada sedang Dwi Prapaja periksa. Tidak ada yang salah dengan itu. Dan masih tertinggal dua gelas yang belum ia periksa. Saat gelas terakhir ia raih, ada semerbak bau yang asing di hidungnya.

Rasa penasaran dan kecurigaannya jatuh pada gelas itu. Di lihatnya dengan cermat gelas itu. Dahinya berkerut serta alisnya bengkok sejajar dengan bulu mata. Ia sedang mengingat sesuatu dan mencocokkan sesuatu.

Dwi Prapaja bukanlah seorang yang ahli dalam bidang racun dan pengobatan. Tapi kegemarannya pada tumbuhan membuatnya mengenal berbagai macam jenis tumbuhan herbal yang di gunakan dalam obat-obatan.

Dia tidak tahu secara spesifik, tapi untuk menghafal nama tumbuhan dan manfaat, tidak perlu julukan tabib untuk mengetahuinya. Ia seorang penyuka tumbuhan juga bisa. Dan ia tahu kalau bahan-bahan yang digunakan pada obat ini kemungkinan besar adalah herbal langka yang jarang di temukan.

Dwi Prapaja menggoyangkan gelas yang masih berisi sisa arak. Saat tangannya membuat lingkaran kecil, samar-samar ia bisa melihat serbuk obat berwarna putih yang hampir larut dalam arak. Obat apa ini?

Sekar yang melihat Dwi Prapaja diam dalam waktu yang lama mulai terusik. Ia melambaikan tangannya di depan wajah Dwi Prapaja.

"Apa yang salah?" Tanyanya.

Dwi Prapaja menoleh ke arah Sekar lurus. Pandangannya sangat sangat serius. Sampai-sampai Sekar hampir lupa bagaimana sifat Dwi Prapaja biasanya. Yang ramah dan ceria.

"Seseorang telah menaruh obat di minuman Kang Mas Gajah," Jawab Dwi Prapaja dengan wajah cemas. "Tapi aku tidak tahu obat apa itu. Efek apa yang akan terjadi jika diminum. Aku juga tidak tahu secara detilnya, mbakyu."

Kepala Sekar berdenyut. Kata-kata obat membuatnya takut. Pikiran-pikiran negatif membanjiri otaknya dengan tak terbendung.

Sekar paham apa yang dikatakan Dwi Prapaja. Namun lidahnya masih saja bertanya, "Itu tidak berbahaya bukan?" Tanya Sekar.

Gambaran kilas balik saat Gajah Mada memejamkan mata dan memijat kepala membuat Sekar tambah panik. Apakah mereka meracuni Gajah Mada? Apa salah Gajah Mada?

"Aku tidak tahu mbakyu," Dwi Prapaja dengan sabar menjawab.

Sekar memukul kepalanya gemas. Bagaimana dia diam saja saat Gajah Mada dengan jelas sedang tidak nyaman? Pasti Gajah Mada menahan sakit sejak tadi. Sekar harus mencarinya, jadi ia melangkahkan kakinya terburu-buru ke arah Gajah Mada pergi tadi.

***
1 Juni 2022



GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now