78. Protes

633 92 10
                                    

"Dan kau mungkin tidak tahu, kalau aku tidak punya keluarga." Ucap Rinjani.

"Bagaimana dengan Aji? Bagaimana dengan mendiang prabu Hayam Wuruk? Mereka juga keluargamu. Apa kau akan tetap diam saat mereka di curangi?"

Rinjani berdecih. "Kata-katamu terlalu tinggi. Aku adalah seseorang yang berpikir sederhana." Ia tersenyum meremehkan, "Maaf jika aku tidak mencapai kata-katamu."

Sekar terdiam lama. Cukup sulit menyakinkan korban kalau pelaku tidak memiliki niat untuk jadi pelaku. Dan itu yang terjadi sekarang. Dengan kesedihan ini, bagaimana mungkin ia tidak menyalahkannya dan Gajah Mada? Tidak pantas memang ia dan Gajah Mada dimaafkan. Tapi ini bukanlah apa yang ia inginkan. Yang pasti, hanya seseorang yang pernah berada pada posisinyalah yang akan mengerti. Bukan orang yang dirugikan seperti Rinjani ini.

"Aku datang ke keraton ini, bukanlah keinginanku. Aku diambil karena aku cantik. Aku ingat, tatapan tajam permaisuri saat aku datang. Saat itu aku yakin kalau hidupku tidak akan baik-baik saja selanjutnya. Tapi aku mulai merasakan cinta kepada Yang Mulia Hayam Wuruk. Permaisuri tidak pernah merendahkanku. Apalagi saat Aji lahir, ia sangat baik padaku. Itulah sebabnya aku tidak pernah membeda-bedakan Aji dan Kusuma. Bagiku, mereka berdua adalah anakku."

Rinjani menatap mata Sekar dengan tenang. Tidak ada amarah apalagi dendam yang ada di mata itu. Ia bersuara dengan yakin, "Tapi ketenanganku hilang saat ini. Kehidupanku yang baik, semua yang telah aku dapatkan, semuanya hilang. Dan itu karenamu."

Sekar tahu bagaimana rasanya itu. Walau ia tidak merasakan, ia bisa membayangkan bagaimana rasanya.

"Karena itulah, sebaiknya kau pergi dari tempat ini Sekarang juga!" Ujarnya Rinjani menunjuk arah keluar halamannya.

Sekar tidak kaget. Permusuhan yang mereka punya tidak mungkin hilang hanya karena percakapan kecil semacam ini. Jadi tidak ada yang terlalu dikejutkan. Ia pun tidak berharap untuk bisa di maafkan secepat itu.

"Baiklah. Aku pergi." Jawab Sekar lalu berdiri dari duduknya.

Saat Sekar berdiri, Kusuma datang ke arah Rinjani berserta Aji yang berjalan terseok-seok mengikutinya. Kaki kecil yang mencoba mengikuti Kusuma akhirnya terjatuh tersungkur ke dalam pelukan Rinjani.

"Bu.." Racaunya. Diikuti kekehan segarnya dan tangan yang bertepuk tangan senang.

"Aku sangat rindu kepada ibunda, bibi.." Ujar Kusuma memegang lengan Rinjani dan mengeluh.

"Mereka akan pulang jika urusan mereka sudah selesai." Jawab Rinjani lirih. Ada kesedihan di baliknya.

"Tapi kapan?"

Sekar memalingkan wajahnya. Ia tidak tahan mendengar percakapan yang sangat membuat hatinya terenyuh dalam.

Dengan suara bergetar, ia bersuara, "Ayo pergi!" Ujarnya kepada Karti.

Tidak mendapat jawaban yang diinginkan, pun tidak merasakan seseorang mengikutinya, Sekar berbalik. Melihat bagaimana Karti masih terpaku di posisinya dengan melihat Kusuma dan Aji nanar.

"Karti!" Panggil Sekar. Lirih agar tidak mengganggu orang lain yang tidak ingin melihatnya lagi.

Karti tersentak. Ia menoleh dan mengangguk. Dengan langkah cepat, ia berjalan ke arah Sekar dan menundukkan kepalanya. "Maaf, Ndoro." Ujarnya.

Sekar tidak menjawab. Badannya berbalik dan melanjutkan jalan yang tertunda. Karti mengikuti di belakang. Sesekali menoleh ke arah Rinjani lagi, yang sedang menenangkan Kusuma.

Karti. Sebagai seorang Majapahit yang lahir dan besar di negara ini. Bagaimana ia tidak merasa sedikit kecewa dan bingung saat negaranya tengah dirundung masalah pelik. Kekuasaan bergeser, raja mati, begitupun dengan permaisurinya. Kabar bersliweran kemana-mana.

Benar, ia hanya rakyat kecil. Wong cilik yen jere si mbok. Tapi yang lebih dari itu, yang menjadi sumber kecewa dan bingung yang bertubi-tubi, otak dari rencana dan semua kejadian ini adalah, Sekar. Ndoronya. Majikannya. Seseorang yang menjadi atasan, yang sudah ia hormati dan berikan kesetiaan sampai hari ini. Dia adalah penghancur kerajaanya.

(Rakyat kecil kalo kata ibuk.)

Bukan. Bukannya Karti menyalahkan Sekar sepenuhnya. Hanya sedikit. Rasanya, akan ia salahkan atau tidak, fakta tetaplah nyata. Kebenaran sudah berbicara. Memang Sekarlah yang menjadi penyebabnya.

Tidak secara langsung. Tapi Gajah Mada melakukan semua ini untuk Sekar. Padahal, ia tahu bagaimana kesetiaan Gajah Mada kepada kerajaan ini. Kesetiaannya kepada mendiang prabu Hayam Wuruk. Sungguh sangat sulit dipercaya Gajah Mada melakukan ini.

Sekar tahu Karti dari pagi ini, sikap Karti tidak beres. Ia terlalu pendiam dan larut akan pikirannya sendiri. Ia pikir, ada sesuatu yang salah dengannya. Tapi sekarang, Sekar sudah tahu apa yang salah. Sejak Karti memandang Kusuma dan Aji dengan pandangan itu, ia tahu apa yang ada dalam pikirannya.

"Katakan! Apa kau menyalahkanku, Karti?" Tanya Sekar ringan. Seolah-olah itu hanya percakapan biasa seperti "Hari ini cuaca cukup cerah, bukan?" Atau pertanyaan ringan lainya. Bahkan Sekar tidak menghentikan langkahnya. Tetap melangkah dengan anggun, cepat, dan konsisten. Sangat anggun. Benar-benar anggun.

"Ah?" Karti terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba Sekar. Langkahnya terhenti. Ia menatap punggung Sekar dengan was-was.

Sekar yang mendengar kalau langkah Karti terhenti, ia juga menghentikan langkahnya. Ia berbalik. Menatap Karti dengan senyum ramah. "Aku tahu kau sedang memendam sesuatu. Kau menyalahkanku, dan kau sedang bingung bagaimana cara untuk memperlakukanku yang mana adalah penghianat dimatamu bukan?" Tanya Sekar.

"Bukan begitu.." Karti bergumam. Tidak ingin membenarkan, tapi tidak ingin menyalahkan juga. Ada sedikit kebenaran. Tapi terlalu banyak yang tidak sesuai dengan pikirannya. Karti jelas tidak ingin menyinggung Sekar. Ia terlalu takut untuk menyakiti hati Sekar. Tapi rasanya tidak benar juga membenarkan apa yang dilakukan Sekar.

"Lalu apa?"

Karti menggigit kuku-kukunya. Menunduk dan memikirkan kata yang pas. Kata yang tidak akan membawa masalah juga tidak terlalu munafik. "Saya hanya merasa kecewa dan menyayangkan semua yang telah terjadi." Ucapnya.

"Kau tidak menyalahkanku?" Sekar kembali bertanya.

"Kalau saya mengatakan tidak menyalahkan panjenengan, itu tidak benar. Tapi saya juga tahu mengapa ndoro melakukan ini. Dan kenapa ini terjadi. Tapi rasa kecewa yang ada di hati tidak akan bisa hilang. Saya hanya kaum rendahan. Perasaan saya tidak berarti dan saya adalah sekecil-kecilnya sakit hati yang bisa panjenengan terima. Tolong jangan memasukkannya ke dalam hati, ndoro." Karti berkata.

Sekar menghela nafas. Lalu ia tersenyum kecil. "Tidak apa. Aku mengerti."

Ada keheningan yang cukup lama diantara keduanya. Masih di jalanan. Masih berdiri di posisinya masing- masing. Mereka terlihat canggung satu sama lain. Dan baru kali ini muncul rasa canggung diantara keduanya. Bahkan tidak canggung sama sekali saat mereka bertemu pertama kali.

"Jadi?" Sekar bertanya.

"Jadi?" Karti mengulang pertanyaan. Seolah tidak paham dengan apa yang dimaksud Sekar.

"Masihkah kau mau bekerja padaku?" Tanya Sekar. "Ada begitu banyak hal yang mungkin kau pendam jika kau masih bersamaku. Aku tidak mau bersama orang yang merasa keberatan dengan keberadaanku." Sekar melanjutkan.

"Tidak! Tidak!!" Jawab Karti cepat dan terburu-buru.

"Itu adalah perasaan saya sekarang. Tidak mengubah apapun, saya masih menjadi pelayan panjenengan yang setia. Saya hanya tidak mau menjadi munafik dan menyembunyikan perasaan saya. Bisa di bilang, itu hanya protes belaka. Tidak berarti saya menyalahkan panjenengan sepenuhnya. Saya tidak merasa seperti itu. Benar-benar tidak seperti itu!" Jelasnya panjang lebar.

Sekar tersenyum. Melambaikan tangannya dan mencoba tersenyum lebih lebar dan lebih ramah. "Baiklah. Tidak usah dipikirkan."

***
Happy 20k pembaca!!!! MAKASIHH YA..

***
3 Oktober 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now