73. Gugur Ratu Pupusing Kartika I

563 100 10
                                    

Banyak kesalahan, maklumin ya.

***

"Kang Mas!" Sekar memanggil.

Gajah Mada menoleh ke arah Sekar. Tatapannya padam, dari yang tajam seperti pisau, menjadi lembut penuh bunga. "Sekar," Gumam Gajah Mada.

Melihat keadaan yang sangat genting dan berbahaya, Sekar menjadi takut. Ini adalah istana, tapi Gajah Mada berani menantang Hayam Wuruk di wilayahnya. Jika orang-orang Hayam Wuruk maju, maka Gajah Mada sudah usai.

Tidak melewatkan kesempatan, Hayam Wuruk yang mundur ternyata hanya berjarak beberapa langkah dari Wage.

Satu pedang penuh racun yang Wage bawa menjadi pilihannya di banding keris pusaka yang ada di pinggangnya.

Dengan sekali sentak, Hayam Wuruk mengambil pedang dari sarung tanpa menjatuhkannya. Senopati Wage terkejut. Sama sekali tidak menyadari niat Hayam Wuruk yang akan mengambil pedangnya.

Lengah akibat kemunculan Sekar yang tidak ia sangka-sangka, Gajah Mada yang penuh rasa khawatir kepada Sekar tidak menyadari kalau ada bahaya yang tengah mendatanginya. Sekar pun sama, ia hanya menatap Gajah Mada tanpa memandang yang lain.

Gerakan Hayam Wuruk halus saat ia berjalan ke arah Gajah Mada. Sekar dan Gajah Mada menjadi dua orang yang tidak menyadari itu. Sedangkan yang lainnya, hanya bisa menahan nafas melihat tekat membunuh Hayam Wuruk.

Langkah demi langkah hingga akhirnya Hayam Wuruk berjarak satu langkah dari Gajah Mada.

Sekar fokus dan lalai, tapi kemudian ia melihat sosok Hayam Wuruk yang memegang pedang panjang dan berjalan ke arah  Gajah Mada.

"TIDDAKK!!!"

Dengan sekuat tenaga yang Sekar punya, ia berteriak dengan lantang.

Tapi ternyata Sekar terlambat. Saat suaranya keluar, itu bertepatan dengan pedang panjang yang mengayun ke Gajah Mada. Menyerangnya dari samping dengan kecepatan tinggi.

Bisa di bayangkan, dengan sekali tebas, sekumpulan bambu bisa terpotong dengan mudah. Apalagi daging?

Gajah Mada tidak sadar dengan itu. Matanya hanya memandang Sekar. Tidak sempat berbalik apalagi menyerang.

Jantung Sekar seakan tidak berfungsi. Apalagi saat sisi tajam pedang sudah menyentuh kulit Gajah Mada. Satu air mata tanpa disadari turun. Tapi yang terjadi jauh dari perkiraan.

Tepat saat air mata Sekar jatuh menetes di antara pipinya, pedang yang Hayam Wuruk gunakan itu terpental jauh. Menyisakan Gajah Mada yang tetap mematung seakan dunia dan bahayanya tidak lebih penting dari pada menatap Sekar.

Hayam Wuruk tersentak mundur mengikuti terpentalnya pedang. Kepalanya pusing seperti terhantam puluhan batu besar yang terbawa angin. Isi kepalanya kosong sesaat.

Barulah saat Gajah Mada mendengar suara pedang yang terjatuh, ia tersadar dari lamunannya. Ia juga baru tersadar, kalau Hayam Wuruk telah menyerangnya.

"Kang Mas! Syukurlah.." Sekar jatuh terduduk bersimpuh sesenggukkan.

Hampir saja. Hampir saja hidupnya telah usai. Jika Gajah Mada mati, Sekar tidak yakin bahwa ada alasan lain untuknya hidup.

Kejadian itu membuat orang-orang terperangah. Sejauh ini, mereka tahu bahwa kesaktian dan kebringasan Gajah Mada saat berperang selalu membuat musuh gentar, tapi mereka tidak pernah melihat sendiri bagaimana Gajah Mada benar-benar bertarung.

Hayam Wuruk memegang tangannya yang terasa sakit. Matanya tajam saat ia menatap Gajah Mada. Walau ia tahu kekuatan Gajah Mada mungkin tidak bisa ia saingi, ia tidak gentar. Dendamnya sudah membuat jiwanya terbakar. Ia tidak memperdulikan apapun.

Hayam Wuruk mulai menyadari sesuatu. Ia mengamati sekitarnya, dan berkata, "Kenapa kalian diam saja?!" Bentaknya pada orang-orangnya.

Yang Hayam Wuruk tidak tahu, sebagian orang yang ia bawa dalam aksi penyerangannya adalah orang-orang yang telah Gajah Mada putar balik pikirannya.

Senopati Nala, sang penguasa militer laut pun juga kebingungan dalam hal ini. Apa yang sedang ia lakukan? Kenapa ia hanya berdiri dan melihat pertarungan? Ia tidak mengerti, tapi saat ia melihat ke arah mata Gajah Mada, tubuhnya tidak bisa apa-apa. Ia seperti tersugesti untuk tetap diam.

"Aku tidak akan melakukan hal ini seandainya kau tidak mengusik satu-satunya hidupku. Aku bisa menerima apapun, kecuali ini. Engkau, telah salah mengambil langkah, Rajaku, Hayam Wuruk." Gajah Mada lantang dalam berucap. Seperti banteng yang hilang talinya.

Hayam Wuruk mengeratkan giginya. Menggenggam tangannya erat sampai kukunya yang menancap membuatnya berdarah. Tidak pula merasakan sakit yang sepele itu.

Hayam Wuruk berdiri. "Matilah kau!" Teriaknya. Lalu bergerak cepat menyerang leher Gajah Mada.

Gajah Mada mengelak ke samping tanpa menyerang. Tangan kiri Hayam Wuruk mengubah arah serangan untuk menghantam perut Gajah Mada.

Namun sayangnya, sebelum pukulan itu mendarat, Gajah Mada sudah melayangkan satu tendangan hebat ke perut Hayam Wuruk.

Terbatuk mundur, Hayam Wuruk menarik pusakanya dan mengusapnya dengan tangannya. Sudut bibir membentuk kurva yang berganti-ganti. Dalam beberapa detik, beberapa mantra telah ia gumamkan.

Gajah Mada sendiri tidak menyerang Hayam Wuruk saat Hayam Wuruk mundur. Dalam sekali lihat, orang-orang akan tahu bahwa Gajah Mada selalu menyerang ketika Hayam Wuruk menyerangnya. Tanpa menyerangnya lebih dulu.

Sekar memperhatikan itu dalam jaraknya. Matanya bergulir ke sana dan kemari. Ketika Hayam Wuruk menyerang, Sekar selalu saja cemas. Seakan nafasnya berhenti, jantungnya juga berhenti sekian detik. Lalu berdetak sepuluh kali lebih cepat dari biasanya.

Pergulatan mereka sangat menegangkan. Dalam serangan selanjutnya, beberapa kali Gajah Mada di kalahkan. Hal ini membuat Sekar tambah cemas. Jantungnya di pacu selalu. Perutnya seakan digilir memutar dalam ketakutannya. Sekar sangat tersiksa.

Pertarungan yang terjadi di halaman istana pastilah sangat menarik perhatian semua pelayan yang ada. Dalam hanya beberapa saat, kerumunan melingkari  Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Bahkan berita bahwa Hayam Wuruk dan Gajah Mada bertarung sudah sampai di telinga permaisuri.

"Apa?" Teriak sang permaisuri berdiri dari duduknya.

"Benar permaisuri. Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada sedang bertarung di halaman istana. Banyak orang yang telah menyaksikannya." Pelayan itu mendongak. Menunggu reaksi sang permaisuri dengan gugup.

Setelah mendengar itu, Permaisuri segera pergi ke halaman istana. "Kita akan pergi ke sana."

Rasa takut dan ketidak percayaan memenuhi pikiran permaisuri. Tidak pernah ia melihat sesuatu seperti ini. Apa yang sedang Gajah Mada lakukan? Menyerang Hayam Wuruk? Atau apakah Hayam Wuruk yang menyerang Gajah Mada? Mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya.

Dan benar saja, kerumunan sangat ramai sampai ia tidak bisa melihat apa yang ada dalam lingkaran. Ia maju, dan semua orang memberinya jalan tanpa di perintah.

Saat kerumunan terbuka, mata permaisuri membola melihat Hayam Wuruk yang terjatuh dan memuntahkan seteguk darah. Tangan kirinya lemas tak berdaya. Bahkan saat ia jatuh, tangan itu tidak bisa menopang badannya. Di depannya, Gajah Mada berdiri dengan sombong. Menatap Hayam Wuruk seolah ia bukan apa-apa.

Permasuri menjerit gusar. "Yang Mulia!" Ia berlari menuju ke arah Hayam Wuruk. Memegangnya dalam pelukannya.

"Gajah Mada! Apa yang sedang kau lakukan!!" Teriaknya histeris. Matanya menatap Gajah Mada nyalang. Ia benar-benar marah.

"Kang Mas, ayo kita obati lukamu." Sang permaisuri menarik tangan kanan Hayam Wuruk. Air matanya tidak bisa berhenti menetes.

Tapi Hayam Wuruk menggeleng. Ia melepaskan tangannya yang di genggam permaisurinya. Dengan semangat yang tersulut kembali, ia berkata, "Dendamku mungkin akan membuatku mati. Tapi hidupku tidak layak tanpa membalaskan dendam ini." Ucapnya.

Permaisuri menjerit tidak rela dalam hatinya. Semua yang telah lenyap, selalu hilang. Tapi cinta suaminya terhadap wanita lain ternyata tidak. Ia berhadapan dengan risiko yang berat, hanya karena cinta yang bahkan tidak pernah ia rasakan.

***
17 September 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now