88. Di bawah Sinar Bulan

636 82 4
                                    

"Bukankah terlalu dini menamainya?" Tanya Sekar memilin selimut yang menutupi dirinya dan Gajah Mada.

Remang cahaya dari lilin di sudut ruangan tipis. Tidak banyak cahaya yang bisa di sentuh mata. Indra seorang manusia biasa hanya bisa melihat bagaimana pandangan seperti halnya bayangan yang bergerak.

Tapi Gajah Mada tidak. Secara harfiah, dia bukan manusia biasa. Walau Sekar tidak bisa melihatnya dengan jelas, Gajah Mada bisa.

Gajah Mada bergumam. Bibirnya bergerak pelan, tapi Sekar tidak bisa mendengarnya. Ia mengerutkan kening dan mendesah, "Hah?"

"Lebih cepat lebih baik. Ketika kita memberinya nama, bukankah keberadaannya lebih jelas dari apa yang kita pikirkan. Dia bukan saja hanya sekedar janin, dia adalah seseorang yang akan hadir di kehidupan kita. Entah itu surga mengijinkannya atau tidak." Kata Gajah Mada mengelus perut Sekar.

Tangan besarnya menutupi seluruh perut Sekar dengan rapi. Wanita memang pada dasarnya lebih kecil secara fisik di banding laki-laki. Tapi bagaimana bisa pinggang Sekar hanya  sebesar tangannya?

Makanan yang dia makan dan Sekar makan sama saja. Kecuali porsi makam dirinya yang lebih banyak, tentu saja harusnya Sekar lebih bisa gemuk di banding ini.

Gajah Mada berjanji, ia akan mendorong Sekar lebih gemuk lagi. Agar anak mereka tidak sengsara karena kelaparan, dan juga agar dia lebih nyaman memeluknya. Sedikit lebih empuk terdengar bagus.

Sekar di buat menyergit lagi dan lagi. Kata-kata Gajah Mada terdengar hangat dan tidak sabar menjadi seorang ayah. Menantikan anak memang bukan hal yang tabu. Tidak juga janggal.

Tapi, dengan kata-kata Gajah Mada ini, Sekar merasa dia aneh. Lebih aneh dari pada saat dia tersenyum kepada anak buahnya.

"Ada apa?" Tanya Gajah Mada.

Sekar tersenyum canggung. Ia menggeleng ketika menjawab, "Tidak.."

"Tapi kau terlihat aneh." Ucap Gajah Mada memperhatikan raut wajah Sekar yang tersenyum canggung dan sesekali memandangnya kosong.

"Kurasa Kang Maslah yang lebih aneh." Ucap Sekar bercanda.

Ia memaksakan tawa untuk mencairkan suasana. Tangannya juga mengelus tangan Gajah Mada yang berada di perutnya. Tapi tak disangkanya, raut wajah Mada berubah drastis karena ucapannya.

Matanya turun, garis bibirnya turun, dan matanya mengalihkan tatapan darinya. Tangan yang ia pegang juga melemah. Sekar semakin mengerutkan dahinya.

"Ada apa?" Tanya Sekar perhatian.

Masalah Gajah Mada mungkin bukan posisinya untuk mengatur atau memberi saran. Ia tahu kalau ia tidak akan bisa. Apa yang bisa di lakukan seorang gadis biasa sepertinya?

Tapi sebagai pasangan hidup, Sekar Ingin menjadi penampung cerita saat Gajah Mada ada masalah. Ia tidak bisa membantu, tapi ia bisa memberikan pelukan tulus kepadanya. Mungkin itu membantu.

Kadang, seseorang hanya butuh sandaran pundak dan mengeluh.

Gajah Mada menggeleng. Tapi ia tetap tidak menatap mata Sekar. Sampai ia berdiri dan menyingkirkan selimutnya. "Aku ingin minum dahulu." Katanya.

Sekar tersentak dan ikut berdiri. "Aku ikut, Kang Mas!" Katanya.

Gajah Mada terkejut dan berbalik. Matanya mengkerut membuatnya lebih kecil. Ia terdengar marah saat berbicara, "Tidak!" Bantahnya cepat.

"Aku juga haus." Katanya memelas.

Gajah Mada tetap menggeleng. "Kau haus? Aku akan membawakanmu minuman." Katanya.

Sekar menggeleng dan tetap kokoh dengan pendiriannya. Ia mendekat dan mengatakan dengan tegas. "Aku ingin jalan-jalan!" Katanya.

"Tidak." Bantah Gajah Mada lagi.

Sekar menatap Gajah Mada dengan nyalang. Sekar pikir, Gajah Mada tidak akan melihatnya karena cahaya redup, tapi Gajah Mada sebenarnya bisa.

"Patuhlah.. Kau tahu dirimu sudah dewasa." Gajah Mada putus asa.

Saat pandangan nyalangnya menjadi kecewa, Ia mendengar Gajah Mada menghela nafasnya.

"Baiklah.. Tapi, geraikan rambutmu terlebih dahulu." Ucapnya.

Lalu sebelum Sekar bisa mengambil rambutnya sendiri untuk menarik tali dan melepaskan kepangan, tangan Gajah Mada sudah melepaskannya terlebih dahulu. Menatanya lembut, dan menyentuh tengukuknya tak sengaja.

Sekar memerah. Ia menundukkan sedikit kepalanya malu. Tangan Gajah Mada terasa panas.

Setelah rambutnya tergerai dengan sempurna, Gajah Mada menggenggam tangan Sekar dan menuntunnya di bawah kegelapan malam. Mereka sama sekali tidak membawa penerangan sedikitpun. Karena itu, mereka hanya bisa mengandalkan Gajah Mada dalam hal ini.

Karena alasan-alasan tak masuk akal yang mereka bual di saat-saat terpojok, tidak ada yang menyadari bahwa ada satu gentong kecil berisi air putih di pojok tenda mereka.

Tidak mungkin orang-orang lalai sampai tidak menaruh air dalam tenda seorang Gajah Mada. Jika ia, maka mereka sudah gagal sebagai orang-orang yang bertanggung jawab.

Tapi karena Sekar yang memang buta  atau pura-pura buta dengan alasan Gajah Mada yang mengada-ada, ia tidak memperhatikan ini dan memilih bertindak bodoh.

Jika orang lain tahu kejadian ini, mereka hanya akan menganggap mereka berdua adalah dua orang bodoh yang akrab.

Dan seperti yang tertulis. Entah mereka memang bodoh atau hanya memakan trik-trik kecil acak. Bukannya mengambil air, mereka malah jalan-jalan menuju ke pinggir sungai.

Sungai besar tidak pernah berhenti bersuara. Semakin dekat, semakin pula suara terdengar kencang.

Tapi karena itu, suasana menjadi sangat nyaman dan damai. Apalagi setelah mereka melihat bulan yang terpantul di atas air. Karena arus deras, bulan itu tidak terlihat bundar lagi, tapi samar dan acak.

Gajah Mada memeluk pundak Sekar. Disini dingin, untuk saja Sekar memaki sedikit kain hangat di tubuhnya. Tapi ia juga ingin Sekar lebih hangat, untuk itulah ia memeluknya.

Perasaan sejuk, suara arus sungai yang deras, dan nyamannnya tubuh Sekar membuat Gajah Mada sedikit melupakan hal yang terjadi hari ini.

Terangnya sinar bulan di tambah pantulannya, bahkan tempat ini lebih terang dari pada tenda.

Saat Sekar menolehkan kepalanya ke arah Gajah Mada, ia melihat alis Gajah Mada yang sedikit mengendur. Ada rasa nyaman di wajahnya yang membuatnya merasa nyaman pula.

"Disini lebih baik dari pada tempat sesak itu." Kata Sekar tanpa mengalihkan perhatiannya dari Gajah Mada.

Suara Sekar membuat Gajah Mada mentapnya. Ia terkejut saat wajah Sekar hany berjarak beberapa centi darinya ketika ia menoleh.

Gajah Mada menahan nafas dan jantungnya berdetak. Ini bukan yang pertama, tapi Gajah Mada selalu memiliki perasaan ini terhadap Sekar.  Di balik wajah datarnya, selalu ada suara ricuh jantung dan ledakan bunga di perutnya.

Saat Gajah Mada terlambat beraksi, ia merasakan sebuah kelembutan bersarang di dagunya. Kelembaban kemudian mengikuti. Sekar tengah mencium dagunya yang di tumbuhi sedikit rambut.

Gajah Mada menikmati ini dengan hati yang senang. Ia tidak mengelak atau mengambil alih, tapi tangannya bergerak untuk meremas pinggang kecil Sekar. Barulah saat Sekar selesai dengan kegiatannya, ia mengambil alih dan mendominasi dengan lebih seksama.

Di bawah sinar bulan yang megah ini, Gajah Mada melupakan hal-hal buruk dan terfokus dengan apa yang saat ini terjadi.

***
Orang hamil boleh keluar malem, tapi minimal jangan dikucir rambutnya. Biarin aja.

***
26 November 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoOnde histórias criam vida. Descubra agora