54. Momen

801 106 10
                                    

Beberapa hari berlalu dengan cepat. Seseorang yang menikmati waktu, hanya akan menganggap ini sebagai kenangan yang terlewat. Sebagaimana waktu berputar dengan cepat, tidak ada orang yang kecewa dengan momen itu.

Kerajaan sedikit stabil. Pendapat yang Sekar khawatirkan tidak pernah di setujui oleh Hayam Wuruk. Mengambil langkah aman, mereka lebih memilih untuk memajukan rakyat dahulu. Meningkatkan kesejahteraan mereka, baru langkah pemulihan kekayaan negara bisa dijalankan.

Peraturan demi peraturan tercipta dengan harapan rakyat lebih bisa dikendalikan. Ekonomi sedang dibangkitkan, jadi untuk sementara kekuatan militer juga di longgarkan.

Aksesoris dan harta pribadi Wironggo dijual. Kecuali benda pusaka peninggalan mendiang pendahulu yang disimpan dengan baik, semua ludes dijual. Pemandian mewah dan beberapa pembangunan yang Wironggo bangun untuk dirinya sendiri tidak pernah terpakai lagi. Sayang untuk di buang, tapi Hayam Wuruk memilih untuk membongkarnya dan membangun halaman besar karena tempat itu lurus dengan gerbang istana.

Sekar sendiri menikmati waktu-waktu yang telah ia habiskan di Adibaya. Mulai dari hal-hal yang tidak ia tahu menjadi tahu, perkembangan hubungannya dengan Gajah Mada, hingga merilekskan dirinya di udara yang bersih.

Tidak pernah Sekar ketahui kalau perjalanan yang ia ragukan akan menjadi kenangan yang membahagiakan. Mungkin, kenangan ini akan selalu terkenang.

Bagaimana tidak terkenang. Perjalanannya menuju ke kerajaan Adibaya saja sudah memiliki banyak kenangan menegangkan.

Hanya sekaranglah ia merasakan bagaimana rasanya ditinggal di hutan sendirian, bertemu anak harimau, bertemu harimau, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana penggulingan seorang raja, dan bagaimana seorang pejabat berselingkuh.

Padahal ia sama sekali tidak keluar dari lingkungan kerajaan, tapi begitu banyak hal yang terjadi dengannya. Sekar rasa, mungkin dalam hidupnya pengalaman ini bisa dibilang separuh pengalamannya dari pada ia hidup sebelum perjalanan ini.

Ada satu lagi kejadian yang belum tertulis. Sekar bertemu dengan Hayam Wuruk dan permaisuri di danau kecil kerajaan. Itu adalah malam yang terang. Saat itu Gajah Mada belum kembali ke kamar tempat mereka menginap dan ia hanya ingin berjalan-jalan sendiri. Begitu ia melihat Hayam Wuruk dan permaisuri yang entah bagaimana hanya bertemu seorang diri tanpa pengawal ataupun pelayan, ia buru-buru pergi. Hanya beberapa kata yang ia bisa tangkap saat itu. Seperti 'Kusuma' dan 'Gajah Mada'.

Sekar tidak ingin tahu. Berbeda dengan rasa penasarannya saat ia mengintip hari itu, ini bukankah wilayahnya untuk mengusik. Ia tidak sebodoh itu untuk bunuh diri demi menguping pembicaraan para raja dan permaisuri.

Selain itu, tidak ada hal yang penting untuk diceritakan. Karena lainya hanya kegiatan biasa yang ia lakukan. Berjalan-jalan, makan, dan menunggu Gajah Mada kembali.

Suasana perjalan untuk kembali juga tenang dan tidak banyak kejadian. Mungkin karena Sekar sudah mulai terbiasa dengan perjalanan, ia tidak merasa itu penting untuk diabadikan sebagai cerita.

Tiga hari mereka membawa diri dan kuda mereka kembali ke Majapahit. Lebih cepat dari perjalanan awal karena selain mereka memangkas waktu istirahat, tidak ada hambatan seperti di awal. Semua orang berkompromi dengan baik membuat perjalanan terasa baik-baik saja. Apalagi dengan Gajah Mada yang membuatnya merasa nyaman.

Berbicara tentang Gajah Mada, karakter hangat penuh rayuan yang pernah Sekar lihat kini kembali lagi. Walau tidak separah sebelumnya, tapi itu masih muncul saat mereka sedang berdua.

Tidak bisa dipungkiri kalau Sekar juga merasa bahagia. Bohong kalau ia tidak akan tersipu atau tidak tergerak oleh rayuan-rayuan Gajah Mada yang kuno. Dulu memang ia merasa sedikit aneh dan tidak nyaman dengan rayuan itu, namun tidak apa-apa sekarang. Ia menikmatinya.

Adibaya. Kerajaan yang membawa bahagia untuk Sekar. Membawanya untuk mengenal senyum yang tulus kembali. Tawa sejati yang pernah hilang.

Adakah telinga kalian pernah mendengar tentang "Jangan terlalu bahagia"? Itu sekedar pengingat bahwa sebenarnya manusia tidak diperkenankan untuk merasa terlalu bahagia. Untuk selalu ingat apa yang kurang dan salah. Dan aku juga khawatir dengan perasaan Sekar ini. Jangan terlalu bahagia Sekar. Sesuatu mungkin terjadi.
.
.
.

"Lesung.. Tak.. Tik.. Lesung.. Tak.. Tik.. Praja among karsa cakra ingsun."

Nyanyian Karti tidak membuatnya menjadi bersemangat. Telinganya sudah ia pasang sedemikian rupa sehingga mungkin dapat untuk mengambil beberapa suara merdu  Karti. Namun nyatanya Sekar tidak bisa. Ia malah merasa geram dan ingin segera mengakhiri kegiatan menumbuk padi ini.

Sudahlah ia baru pertama kali ini menumbuk padi, malah ia di buat tidak betah oleh nyanyian Karti.

Dari dulu, Sekar tidak pernah menyentuh lesung sekalipun. Paling-paling, ia hanya akan memperhatikan beberapa pelayan menumbuk padi bersama-sama. Juga saat syukuran pala pendem ketika mereka bernyanyi dan menari menggunakan lesung. Itu sudah menjadi kebiasaan di kerajaannya dulu.

Sekar meletakkan palu kayunya dan menghadap kesamping. "Jangan bernyanyi!" Ujar Sekar tak bisa menahan emosinya. "Tolong!" Ia menekankan kata ini.

Karti menutup mulutnya rapat. Ia tidak tersinggung dengan perkataan Sekar, tapi ia takut mengganggu Sekar. Walau mulutnya kerap kali bergerak dengan sendirinya mulai ingin menyanyi, Karti menahannya dengan kesal. Lalu menoleh ke arah samping. Berharap Sekar tidak menyadarinya.

"Bisakah kita tidak menumbuk sekarang?" Karena lelah, emosi Sekar tak kunjung mereda. Ia mulai mempermasalahkan apapun dan melampiaskan amarahnya. "Sejak tadi  pagi masih ada banyak kendi yang tersisa. Apakah pekerjaan kita sama sekali tidak terlihat?" Lanjutnya.

Karti menoleh ke samping dengan cepat mengembalikan pandangannya ke depan. Ia bergumam lirih menjawab Sekar. "Tapi sudah banyak yang kita tumbuk Ndoro." Jawabnya.

Sekar yang pemarah tidak ingin kalah ucap. Ia berkata, "Sebanyak pula yang tersisa. Sampai kapan kita akan bekerja seperti ini terus? Banyak pekerjaan lainya yang bisa kita kerjakan. Tapi sejak pagi kita hanya bergulat dengan padi." Ujarnya.

Karti menghela nafas. Ia tahu Sekar bosan. Ia juga bosan, tapi ia sudah terbiasa menumbuk padi. Sedangkan Sekar, dihadapkan dengan pekerjaan yang sama dan berat pasti ia tidak akan tahan. Apalagi mereka melakukan ini dari pagi hingga hampir sore. Bayangkan betapa melelahkannya itu.

"Kalau Ndoro lelah, istirahatlah Ndoro. Biarkan saya yang menumbuk. Lagi pula, ini keinginan saya sendiri." Karti berucap.

Yah.. Tidak ada yang memaksa Sekar untuk melakukan ini. Karti juga tidak berpikir kalau Sekar akan melakukannya juga. Biasanya, mereka akan membeli beras langsung jadi Sekar tidak pernah melihatnya menumbuk padi.

Tapi kali ini, tuan tanah yang berkunjung ke Majapahit memberikan mereka beberapa karung padi. Untuk mengisi waktu, Karti memilih menumbuknya sendiri. Siapa sangka Sekar yang melihatnya bekerja sendirian langsung mengambil palu kayu dan membantunya.

Sekar mendesah kasar. "Aku akan istirahat. Kau juga istirahatlah!"

***

Pengen ganti judul. Ada yang mau ngasih ide ngga?

***
20 Juli 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now