7. Perjalanan

1.4K 204 14
                                    

Maaf, banyak bngt typo sama kata-kata yang acak.

***

Dua hari setelahnya, mereka memboyong Sekar ke kerajaan Majapahit. Seperti adat dan tradisi, setiap pengantin wanita akan tinggal di kediaman pengantin pria. Rombongan Majapahit telah bersiap dari petang. Mereka tak sabar untuk pulang dan menemui keluarga mereka. Sudah terlalu lama mereka berada disini, dan seharusnya tidak selama ini jika Sekar dan Gajah Mada tidak menikah.

Beberapa orang menyayangkan pernikahan mereka. Terlebih dengan rakyat Taring. Bukan karena tidak menyukai Gajah Mada, namun untuk mereka, dengan menikahi Gajah Mada, Sekar adalah alasan gagalnya sumpah sang Mahapatih. Mereka khawatir kalau Sekar akan ditindas dan dianggap bersalah sepenuhnya atas sumpah Mahapatih yang gagal.

Semua orang, terlebih orang-orang Majapahit sangat mengagungkan dan memuja sumpah palapa Gajah Mada. Bagi mereka, Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan sumpah palapa adalah identitas dari Majapahit. Lalu sumpah itu gagal hanya karena  seorang Gadis? Mereka hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Sekar. Semoga Sekar tidak di benci disana.

“Nyuwun pamit Ayahanda, ibu, Kang Mas, lan patih-patih sedoyo. Nyuwun pengampunten kulo kathah salah lupute.”

(Mohon pamit Ayahanda, ibu, Kang Mas, dan patih-patih semuanya. Mohon maaf saya banyak salahnya.)

Patih-patih yang datang berdehem dan menunduk. Mereka tidak tahu untuk berkata apa. Selama ini, mereka hanya bekerja dan mengemban tugas. Tidak pernah sekalipun mereka menyangka, kalau Raden Ajeng Sekar ini akan pergi kekerajaan Majapahit sebagai istri sang Mahapatih.

“Anakku, jaga dirimu baik-baik. Jika kau mendapat masalah, kamu bisa datang ke sini. Ini tempatmu, tempat kelahiranmu. Dan pintu selalu terbuka untukmu.” Sundra berkata lembut. Diiringi anggukan ibu ratu yang seakan berkata sama.

“Nggih, Ayahanda.”

Bagas mendekat dan memegang tangan Sekar. “Sekar, Sekar… Jangan pernah berpikir kalau kau tidak punya siapapun. Pulanglah saat kau sempat.” Ucapnya membuat Sekar mengangguk. Ia tersenyum menenangkan Bagas. Ia senang dengan keluarganya yang mendukungnya tapi tidak memojokkannya. Tidak menganggap keputusannya adalah hal sepele.

“Kau benar-benar tidak akan membawa dua dayangmu itu bersamamu?” Tanya Sundra menunjuk Darmi dan Sari yang berada di belakang orang-orang penting. Sekar menoleh ke belakang, mendapati Sari dan Darmi yang sedang memandang penuh harap dan simpati. Mereka masih sama, selalu mengerti apa yang Sekar pikirkan. Menganggap kalau Sekar tidak akan betah disana dan butuh teman untuk menemaninya.

Sekar menggeleng. Ia sudah siap untuk memulai kehidupan baru. Bila ia memang di benci disana, maka biarkan ia menjalani hidupnya sendiri. Ia juga tidak butuh di hormati dan di junjung. Ia bukan seorang yang gila hormat!

Sekar ingin mendengarkan sepatah dua patah kata lagi dari mereka, tapi tangannya di tarik oleh seseorang disampingnya. Membuat ia mau tidak mau menoleh dan berhenti tersenyum.

“Ayo Sekar! Persiapannya sudah siap.” Ucap Gajah Mada.

Sekar melihat ke luar keraton. Ada satu buah kereta kecil dan beberapa kuda disana. Oh! Itu kuda orang-orang Majapahit saat mereka melakukan perjalanan. Kuda-kuda mereka disimpan di kandang ternak sapi. Mereka menempati setengah kandang sapi dan merepotkan pengurus sapi dengan membuatkan sekat ditengah-tengah kandang.

Kandang kuda Taring tidak luas. Hanya muat beberapa kuda mereka yang tidak banyak itu. jika mereka membaginya dengan kuda-kuda Majapahit, maka sudah pasti kuda-kuda mereka akan merasa terdesak oleh Kuda-kuda Majapahit yang mempunyai badan lebih besar dan lebih gagah.

GAJAH MADA ; Megat RosoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang