33. Lantah

719 127 8
                                    

Membunuh dengan sekali tembakan. Itu memang efisien. Lalu apa perubahan yang terjadi? Dampak dari tindakan yang terbilang 'efisien' itu?

Dampaknya mungkin sederhana, yaitu kelaparan. Tapi seberapa kuat mereka manahan lapar? Mereka hanya makan saat masih berada di Majapahit. Jadi, harusnya sekarang menjadi saat dimana mereka makan dan melepaskan puasa mereka.

Karena kejadian ini, mereka dituntut untuk mengikat perut lebih lama. Tapi ternyata, mereka tidak bisa menahan lapar dengan sempurna lagi. Beberapa orang mulai mengeluh.

"Empat kelinci? Ini bahkan tidak cukup untuk membuat diriku kenyang setelah perjalanan ini!" Dwi Prapaja melemparkan belati yang ia pegang. Darah kelinci yang menyembur ketangannya tidak repot ia bersihkan.

Dari lima kelinci, satu kelinci disuguhkan untuk Hayam Wuruk dan permaisurinya. Sedangkan untuk empat kelinci lainya, akan dibagi untuk seluruh orang di rombongan.

Lalu, bisakah mereka menekan perut mereka dengan hanya sedikit makanan itu?

Gajah Mada diam. Tidak bereaksi dengan keluhan Dwi prapaja. Orang-orang yang saling melingkar dengan api unggun di tengah ini menyalahkannya. Menyalahkannya karena ia malah mengubur makanan bersama bandhit sebelum mengambilnya.

Dwi Prapja menutup mulutnya rapat melihat Gajah Mada yang tak bereaksi. Ia tidak berani lagi memprovokasi lebih jauh. Lalu memandang beberapa daging kambing yang mereka bawa dari rumah. Tergeletak berserakan dengan keadaan yang miris.

Para bandhit gila itu mengambil makanan dengan beringgas. Terlalu bar-bar sampai banyak makanan yang terbuang dan terinjak-injak sehingga mereka sudah tidak layak makan.

Sekar yang berada disamping Gajah Mada juga diam. Tidak berani menyalahkan ataupun berbicara tentang makanan.

Ia juga lapar, tapi ia tahu diri. Selama perjalanan, Gajah Mada memberikan makanan kepadanya. Ia menjadi satu-satunya orang yang sudah mengisi perutnya selama di perjalan. Yang bahkan Hayam Wuruk dan permaisuri sendiri tidak.

Sekarang ia lapar. Apa berani ia mengeluh? Sedangkan ia tahu, orang-orang ini harus lebih lapar dari pada dirinya.

Tapi agaknya Sekar berbeda dari yang lain. Gajah Mada dengan lemah menoleh kearahnya. Ia tidak khawatir dengan yang lainya. Mereka kelaparan atau tidak, itu bukan urusannya.

Tapi jika itu Sekar, maka akan lain lagi. Itu urusannya. Urusan Gajah Mada. Jadi, Gajah Mada melemparkan pandangan menyesalnya ke arah Sekar.

"Maaf," Ucapnya menundukkan garis pandangnya. Alisnya turun, dan manik matanya lesu. Kadang-kadang, Sekar tidak tahu kenapa manik mata tajam milik Gajah Mada bisa sepasif dan selemah ini.

Walau matanya tidak menatap Sekar, Sekar tahu kalau itu itu bukan penyesalan penuh kepura-puraan.

Sekar bertanya-tanya. Kenapa Gajah Mada harus menampilkan raut penuh penyesalan seperti itu? Tindakkannya benar untuk tidak mengambil makanan mereka. Jika Gajah Mada nekat mengambil makanannya mereka kembali, perang tidak akan usai. Dan Sekar takut kalau Gajah Mada akan terluka.

Untuk saat ini, Sekar merasa kesal dengan orang-orang yang seakan menyalahkan Gajah Mada.

Mereka menginginkan makanan mereka kembali, yang secara tidak langsung mereka ingin Gajah Mada mengorbankan dirinya sendiri. Kalau tidak, Gajah Mada tidak akan kesana hanya dengan ditemani beberapa orang?

Sekar tersenyum memandang Gajah Mada. "Ini bukan kesalahan Kang Mas. Sama sekali bukan."

Gajah Mada menarik pandangannya dari tanah yang kotor ke wajah Sekar yang tersenyum tulus. Suara indah Sekar membuatnya tenang, namun juga menumbuhkan perasaan haru di dalam hatinya. Kehangatan menghampiri kepalanya sehingga ia bisa berpikir dengan benar.

"Sebuah penyelesaian yang apik harus membutuhkan waktu dan tenaga. Sebuah kesempurnaan bisa dicapai dengan persatuan. Kalau sebuah peluru hanya bisa menembak satu burung, maka jangan berharap empat burung akan mati dalam satu tembakan."

Sekar mengeraskan suaranya. Memandang dalam Gajah Mada dan sesekali melemparkan pandangannya ke sisi lain orang-orang yang mengeluh.

"Orang-orang hanya bisa bisa mengandalkan orang lain." Ada jeda beberapa saat sebelum ia kembali melanjutkan, "Bersembunyi di balik punggung orang lain, dan Menyalahkan orang lain."

"Itu karena pada dasarnya, mereka tidak pernah menganggap diri mereka sebagai pemeran utama. Sehingga yang menjadi topik bagi mereka hanyalah orang lain, orang lain, dan orang lain." Ucap Sekar diakhiri dengan dengusan.

Gajah Mada tersenyum. Perasaan nyaman tatkala Sekar membelanya sangat menyenangkan. Menggelitik membuat bulu halus di sekitar tubuhnya berdiri. Senyumnya merekah dan ada kebanggaan disana.

Saat Sekar membelanya, itu membuktikan seberapa ia peduli dan perhatian kepadanya. Dia tidak berada di barisan orang luar untuk menentang dan menyalakannya. Tapi berdiri dan memblokir semua orang demi dirinya. Sejauh apa lagi Gajah Mada harus bahagia?

Suara orang-orang yang mengeluh mulai surut. Pandangan mereka terhadap Sekar juga mulai berbeda-beda. Beberapa tidak menampilkan raut wajah yang menyenangkan. Tapi beberapa secara terang-terangan mengagumi bagaimana ia berbicara dengan jelas dan secara naluriah tepat.

"Jangan pedulikan mereka." Ucap Gajah Mada dengan senyum menawannya.

Gajah Mada senang, tapi ia tidak ingin Sekar terpaku pada amarahnya yang membuat  perasaanya tidak nyaman.

Sekar menoleh. Tidak menjawab, tapi segera meredakan emosinya. Walau emosi yang ia tampilkan tidak begitu kentara, selalu ada celah yang bisa diterobos oleh orang-orang dekat. Seperti misalnya Gajah Mada yang dengan mudah menebak emosinya.

Dua orang, yang berada di depan Gajah Mada dan Sekar, yang hanya terpisahkan oleh api unggun di tengah itu saling berpandangan melihat interaksi hangat dua insan yang romantis itu.

Keduanya hanya prajurit biasa. Lapar, kehausan, kehujanan atau kelaparan itu sudah biasa. Itu tidak terlalu penting.

Tapi momen langka melihat Gajah Mada bisa seramah dan sepeduli itu terhadap lawan jenis adalah satu-satunya yang pernah mereka lihat. Dan itu sangat mengejutkan.

Taji, nama seorang diantara mereka. Mulai memperhatikan Sekar dengan seksama. Menilik nilai-nilai Sekar yang bisa membuat seorang Gajah Mada luluh tanpa perlawanan.

Saat mata pandangnya menilai rambut hitam legam yang cantik, sesuatu yang memancar dari balik kegelapan membuat matanya membola. Secara spontan, badannya terseret ke belakang dan menjerit kencang.

"AARRH!"

Jeritannya yang kencang membuat semua orang berdiri dan kaget. Mereka semua memandang Taji. Lalu ke arah dimana mata yang melotot itu berfokus.

Geraman samar membuat mereka mundur dan mengambil senjata mereka cepat. Mengarahkan ke gelapan yang menyeramkan.

Gajah Mada, yang paling dekat dengan suara geraman itu menarik Sekar untuk berada di belakangnya. Di tatapnya dua bola yang yang memancar menakutkan.

Ketinggian dua bola itu sama seperti tinggi pria dewasa. Gajah Mada awalnya mengira kau itu serigala dari matanya. Tapi bola mata itu bundar, dan serigala punya mata yang sedikit menyipit. Lebih lagi, suara geraman itu sangat autentik. Semua orang tahu suara apa itu.

Matanya yang memancar setinggi pria dewasa, jadi bisa di bayangkan seberapa tingginya binatang itu.

Tapi aura yang terpancar dan geraman  yang diberikan bukanlah ancaman menurutnya, jadi ia menyuruh semua orang di belakangnya meletakkan senjata.

"Turunkan senjata!"

***
8 Mei 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoOnde histórias criam vida. Descubra agora