92. Bolehkah Kita?

589 72 25
                                    

Suara keputusasaan mengelilingi Gajah Mada. Ricauan penuh kesedihan dan tangis yang tertahan membuatnya muak.

Dia tidak pernah mau tahu emosi apa yang orang lain rasakan. Dia adalah orang yang berhati dingin, semua orang berkata seperti itu. Ia memang egois. Tapi dia tahu apa yang dia rasakan saat ini, tentu hanya dia yang mengetahui dan merasakannya. Orang lain tahu apa?

Di tengah prajurit yang berduka, ia juga merasakan itu. Apalagi, dia adalah pemimpin pasukan yang secara langsung bertanggung jawab. Apa yang terjadi pada pasukannya, itu adalah salahnya.

Jika itu bukan pasukan di bawahnya, ia tidak akan peduli.

Hanya sapuan angin kecil yang berani menghampirinya, sedangkan orang lain hanya akan berduka sendiri tanpa mau mengikutsertakannya. Takut, hanya melihat raut sosok Gajah Mada saat ini pun, mereka tahu kalau suasana hatinya sedang buruk.

Gajah Mada menatap ke sepenjuru barak. Siapa lagi yang akan mati besok?

Di tengah perang, mereka semua tidak akan tahu saudara mana yang akan mati di medan perang.

Walau itu cukup menggambarkan rasa kesetiaan luar biasa dan kepahlawanan tanpa batas, kematian tentu saja membawa sedikit duka.

Gajah Mada mencengkram dadanya. Menghibur luka yang saat ini menganga.

Ia berdiri dan menatap tajam. Karena penyesalan tidak akan berguna, kematian pun tidak akan di pertanyakan kapan terselesaikannya. Semua yang pergi sudah tidak bisa datang lagi. Tapi masih ada hari esok dan fajar yang masih mereka tunggu.

Ia berkata dengan tegas, "Diam kalian semua!"

Kemudian, sosok agung bermahkota menghampirinya. Membawa gelas bejana bermotif mawar.

Ruangan pribadi yang luas. Hanya dengan mengamatinya sedikit, orang akan tahu betapa banyak biaya yang di keluarkan untuk membangunnya.

"Ku dengar kau berhasil memenangkan peperangan? Selamat. Kau memang tidak pernah mengecewakan." Ucapnya anggun menggoyangkan gelas.

"Ya," Gajah Mada menjawab.

"Setelah ini, akan ada banyak gencatan pada kerajaan kita. Ada banyak musuh yang mengincar, mungkin pengkhianat akan ada dimana-mana. Jika hal ini tidak bisa kita tangani, kita akan tamat. Bawalah pasukanmu dan kalahkan mereka dengan halus. Tidak perlu terburu-buru, kita masih punya banyak waktu."

Gajah Mada mengangguk. Di sodori teh kualitas tinggi, ia menggeleng dan menolak halus tanpa menyinggung namun tidak tergoyahkan penolakannya.

"Benar-benar keberuntungan seorang seperti kau ada di kerajaan ini." Katanya.

"Kelak, jika kita mempunyai puncak kekuasaan di alam ini, aku harap kau berada di samping, sebagai seorang petinggi dan kesatria utama kerajaan ini. Seorang lambang yang akan mengingatkan kita pada kejayaan itu sendiri. Pada saat itu, kita akan melihat betapa jayanya nama Majapahit dan kesejahteraan akan ada dimana-mana. Gajah Mada, sebagai raja di kerajaan ini, Terimakasih."

Sebagai Raja di kerajaan ini.

Sebagai Raja di kerajaan ini.

Sebagai Raja di kerajaan ini.

Sebagai Raja di kerajaan ini.

_____

"Kang Mas!"

Teriak Sekar mengguncang tubuh Gajah Mada sambil menepuk-nepuk pipinya.

Gajah Mada masih mengigau dengan aneh, kembali Sekar berteriak membangunkannya.

"Kang Mas! Ada apa? Bangun!" Teriaknya khawatir.

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now