69. Siapkah?

675 94 5
                                    

"Hidup memang penuh penyesalan. Jika sesuatu sangat luar biasa sampai penyesalan pun tidak ada, apa gunanya perasaan ada? Jika penyesalan tidak ada, itu sangat tabu. Tidak ada yang tanpa penyesalan. Jika seseorang berkata mereka tidak punya penyesalan sama sekali di hidup mereka, maka mereka sudah mati akan kehidupan di dunia ini. Hati mereka mati. Mereka tidak akan pernah merasakan suka dan duka."

"Bukankah aku benar, Dwi?" Gajah Mada melempar pertanyaan yang di sanggahnya kepada Dwi Prapaja. Di sebuah pendopo kecil paling bekalang tempat itu. Pemandangan lumayan bagus, kecuali kurangnya penerangan di waktu-waktu pagi dan sore.

Semilir angin menerbangkan rambut gondrong Gajah Mada.  Dilihat dari samping, Dwi Prapaja bisa merasakan auranya yang berwibawa. Membuat Dwi Prapaja mau tidak mau menunduk. Merasa tertindas dengan aura itu.

"Benar. Semua memang tidak lepas dari sebuah penyesalan belaka. Tapi Kang Mas, matangkan dulu rencana dan hatimu. Mentalmu mungkin sudah siap. Tapi apa hatimu siap? Ini bukan saja hanya kesalahan bagi dirimu sendiri. Ini bangsamu. Kerajaanmu. Kesetian, prinsip, dan moral seorang pejuangan tengah kau langkahi. Apa kau siap? Apa hatimu siap?" Dwi Prapaja bertanya.

Seorang prajurit mati adalah sebuah kebanggaan bagi keluarga yang ditinggalkan. Tapi seorang penghianat mati, hanya akan meninggalkan momok yang tidak pernah pudar dalam beberapa generasi yang lahir.

Gajah Mada bukan nama yang kecil. Sosoknya sudah terang benderang di seantera nusantara yang ia mimpikan. Nusantara yang di gadang-gadangkan hampir saja siap. Itu bukan sebuah nama lagi, tapi kesatuan. Dia berhasil, namanya seterang bintang di langit. Nama Gajah Mada pastilah akan tertulis dalam sejarah. Dengan semua keagungan yang nama itu sandang.

Lalu, siapkah Gajah Mada untuk menghancurkan semua yang telah ia gapai hanya dengan satu cap 'Penghianat'?

Gajah Mada tertawa. Ia memiringkan kepala ke samping, dengan alis merajut, ia bertanya, "Kau meragukan kesiapan ku Dwi?"

Di bilang meragukan, Dwi Prapaja tidak akan pernah meragukan Gajah Mada. Tapi ia hanya ingin Gajah Mada lebih memikirkannya lagi, karena sebesar apa yang di dapatkan, sebesar itu pula yang akan Gajah Mada lepaskan.

"Meragukan? Tidak. Aku tidak pernah meragukan panjenengan. Kang Mas tahu apa yang sedang aku katakan. Pikirkanlah lagi matang-matang. Waktu tidaklah bisa berputar. Jika Kang Mas mati, bagaimana Mbak yu yang Kang Mas tinggalkan?" Tanggap Dwi Prapaja.

Dwi Prapaja menarik sebuah surat dan ia simpan di sela-sela ikat pinggangnya. Ia ambil surat itu dan meletakkannya di meja tanpa melepaskan tangannya dari surat itu.

Gajah Mada berbalik menghadap Dwi Prapaja. "Sekarang, aku yang akan bertanya hal yang sama denganmu. Apa kau siap? Seperti yang kau katakan, kau juga ada di kubu yang sama denganku. Secara tidak langsung, sangat pantas dengan pertanyaan ini. Apa kau akan menyesal Dwi?"

Dwi Prapaja tersenyum. "Aku berbeda. Negaraku, kerajaanku, tanahku. Tapi terlepas dari semua itu, Kang Mas adalah atasanku. Kesetiaanku adalah kepadamu. Dan satu yang terpenting, aku tidak punya siapapun yang akan menangis untukku." Dwi Prapaja melemparkan pandangannya ke berbagai arah. Tersenyum kecut untuk meringankan suasana.

Dwi Prapaja telah kehilangan orang tuanya sejak ia kecil. Dibesarkan dan di tempa sejak dini di militer, ia telah menganggap Gajah Mada sebagai walinya. Sejak saat Gajah Mada mengangkatnya sebagai adik, ia merasa memiliki sebuah keluarga lebih menyenangkan dari pada tidak sama sekali. Ia sangat senang. Ia bersyukur.

Tapi untuk seseorang yang akan menyemangatinya, mendorongnya, menangisinya, dan seseorang yang ia akan ia lindungi sepenuh jiwanya, tidak ada seseorangpun yang seperti itu di kehidupannya.

Kadang kala, Dwi Prapaja iri dengan Prabu Hayam Wuruk yang mempunyai ibu yang sangat menyayanginya. Iri dengan Permaisuri paduka sori yang mempunyai ayah yang sangat mendukung. Iri dengan Gajah Mada yang menemukan seseorang yang ingin di lindungi. Ia iri dengan kehidupan orang lain.

Sedikit perasaan mencelos datang ke jantung Gajah Mada. Melihat si kumbang layu seakan kehilangan cakarnya, ia teringat akan dirinya sendiri. Mungkin seperti inilah gambarannya selama ini jika ia tengah putus asa akan Sekar.

Gajah Mada mendaratkan tangannya ke pundak Dwi Prapaja. Menepuk dan meremasnya kencang. Saat Dwi Prapaja menoleh, ia tersenyum, "Kau punya satu disini. Jangan mati untuk apapun alasannya!" Ucap Gajah Mada memberikan sebuah senyum tulus pada bibir Dwi Prapaja.

Seolah teringat sesuatu, Dwi Prapaja mendorong sebuah surat ke pada Gajah Mada. "Ini dari Candra. Ada beberapa kabar yang aku dapat juga," Kata Dwi Prapaja.

Gajah Mada mengambil surat itu. Membukanya dan membacanya. Dengan serius dan fokus pada apa yang di bacanya, ia berkata, "Katakanlah!"

"Bukan Raja Sundra yang datang ke undangan Majapahit, tapi Bagas Trisuseno yang datang. Beberapa minggu sejak Mbakyu Sekar datang ke Majapahit, Bagas di angkat menjadi raja. Ku rasa, ini adalah informasi yang cukup penting, Kang Mas."

Mendengar penuturan Dwi Prapaja, Gajah Mada menurunkan surat yang ia baca, seakan tertarik dengan apa yang Dwi Prapaja ucapkan, Gajah Mada menumpukan lengannya di meja.

"Bukan raja Sundra, tapi Bagas Tri Suseno?" Gumamnya.

Dwi Prapaja hendak menjawab 'ya' sebagai basa-basi akan gumaman Gajah Mada. Tapi sebelum mulutnya terbuka, sebuah suara mendahuluinya. Membuatnya sontak melihat ke belakangnya.

"Jika Kang Mas Bagaslah yang datang, maka itu bagus."

Gajah Mada yang setengah melamun pun ikut terkejut dengan kedatangan Sekar. Tiba-tiba saja, Sekar sudah duduk di sampingnya. Gajah Mada tersenyum.

Sekar yang menimbrung percakapan langsung melanjutkan apa yang sedang ia bicarakan. Ia tersenyum, "Kang Mas Bagas selalu berpikir lebih matang dari pada ayahku. Mengingat usia ayahku, Kang Mas Bagas tidak mungkin memberi tahu ayah perihal ini. Jika ayahanda tahu, ia pasti sangat mencemaskanku dan itu akan buruk bagi kesehatannya. Aku sangat mengenal Kang Mas Bagas. Ia pasti tidak memberitahukan masalah ini kepada ayah dan sedang merencakan jalan keluar matang-matang."

Sekar berbicara dengan sangat lancar. Tanpa ada jeda gugup yang menghiasi ucapannya. Membuat siapapun terspesona sesaat padanya.

Tidak ada respon yang berarti, Sekar melanjutkan apa yang ingin ia katakan.

"Yang harus kita lakukan sekarang ini hanyalah memberitahukan Kang Mas, kalau ia tidak perlu menyerang. Ia hanya cukup meningkatkan militer dan berjaga-jaga melindungi penyergapan. Bila perlu, aku bisa meminta Kang Mas untuk mengirim pasukan kepada kita. Kita tidak mungkin mengandalkan sedikit pasukan ini. Walau mereka lebih terlatih dari pada prajurit lain, tapi kurang jumlah sangat tidak bisa di tolerir."

Selesai mengatakan apa yang ingin ia katakan, Sekar diam. Masih menunggu respon keduanya untuk menerima atau sekedar menampik ucapannya. Sekar menurunkan tangannya dan membawanya ke atas meja. Mengaikatkan keduanya merasa gugup karena keduanya tak kunjung menjawab perkataannya.

***
6 September 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now