62. Kemelut

547 98 11
                                    

Sorry typo.

****

"Oh. Itu kau!" Jawab Sekar.

Saat ini, perasaannya campur aduk. Ia merasa marah. Saat kekecewaannya membakar hatinya, rasa marah meluap sampai pipinya merah padam.

Mengigat betapa antusiasnya dirinya saat mendengar ketukan pintu, Sekar merasa dungu. Bagaimana bisa ia lupa, kalau selalu ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi.

Dan benar saja. Kemungkinan lain, adalah seseorang itu bukan Gajah Mada yang ia rindukan dan cemaskan. Itu Dwi Prapaja. Bagaimana mungkin Sekar tidak merasa kecewa?

Jika hari ini Gajah Mada tidak pulang, maka akan genap tiga hari ia menghilang tanpa kabar.

"Ada apa?" Tanya Sekar dengan setengah hati. Dirinya terlanjur kecewa dengan Gajah Mada. Jangan pikir ia akan memperlakukan pembuat onar ini dengan ramah!

Dwi Parapaja tersenyum sebagai sapaan kecil. Lalu setelah beberapa saat, ia menyerahkan satu bungkusan kain yang terlihat seperti makanan. Bahkan dari bau yang bisa Sekar cium, itu sangat menggugah selera. Apalagi bungkusan itu tepat disodorkan di depan wajahnya.

Sekar memiringkan kepalanya untuk melihat Dwi Prapaja karena pandangannya terhalang bungusan itu.

"Apa ini?" Sekar bertanya.

Dwi Prapaja menjawab, "Kang Mas Gajah Mada meminta saya untuk mengantarkan ini kepada sampeyan mbakyu." Ucapnya membuat Sekar terkejut sesaat.

"Kenapa dia menyuruhmu? Kenapa tidak dia saja yang mengantarkannya kepadaku. Ini rumahnya!" Sekar mencoba tidak terlalu meninggikan suaranya.

Dwi Prapaja terkekeh sebentar. "Kang Mas sedang sibuk mbakyu." Ujarnya.

Sekar kesal sekali sampai ia tidak mengatakan sesuatu dan hanya mencoba mengatur amarahnya. Dwi Prapaja pikir, karena Sekar tidak mengatakan apa-apa lagi, tugasnya sudah selesai. Jadi, ia pergi dari kediaman Gajah Mada.

"Hanya itu saja tugasku, saya pamit mbakyu." Ujarnya. Kemudian ia berbalik dan hendak pergi.

Sekar yang melihat Dwi Prapaja hendak pergi, langsung teringat pertanyaan-pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Sontak, ia bertanya dengan nyaring.

"Dwi, dimana Kang Mas mu?" Tanya Sekar.

Mungkin, kepalang kesal, alih-alih memanggil Gajah Mada dengan sebutan 'Kang Mas', ia lebih memilih menyebutnya dengan sebutan, 'Kang Mas mu'.

Dwi Parapaja berbalik dan mandang Sekar. Ia terlihat bingung sesaat, dan ragu untuk menjawab. Tapi akhirnya, ia mengatakan, "Mbakyu tidak perlu tahu." Ujarnya.

Karena jawaban Dwi Prapaja itu, amarah Sekar bertambah dan bertambah. Ia menukikkan alisnya dan menatap Dwi Papaja dengan tajam.

"Katakan padanya! Menghilang selama dua hari lebih, dia pikir aku tidak khawatir? Tidak cemas? Ini rumahnya. Jika ia tidak pulang, maka kemana aku akan pulang jika tuan rumah saja tidak pulang kerumahnya?"

"Katakan juga padanya. Apa sesusah itu untuk pulang sedetik saja atau bahkan hanya mengirimkan kabar? Dimana perasaannya?"

Setelah Sekar mengeluarkan apa yang ingin ia katakan, ia merasa lega. Seolah saat perut bergejolak, isi perut keluar dengan muntahan yang tidak bisa ditahan. Menjijikan. Tapi kalian tidak tahu betapa leganya itu.

Dwi Parapaja mematung mendengar protes Sekar. Karena suara Sekar yang terdengar marah, ia tercengang seolah kata-kata itu ditujukan kepadanya.

Beberapa saat kemudian, setelah hening berkepanjangan, Dwi Prapaja menunduk. Kemudian ia pergi. Meninggalkan Sekar yang melihat siuletnya yang semakin tertelan malam. Jarak pandang sentir tidak begitu jauh, setelah beberapa langkah jalan, Dwi Prapaja tidak terlihat lagi.

Tidak mendapat jawaban yang dia inginkan dan informasi lainya, Sekar sangat marah. Ia tetap memandang malam  dimana Dwi Prapaja menghilang menatapnya dengan tajam seolah ia bisa menembak dua panah sekaligus di balik pandangannya. Lama ia memandang, ia akhirnya masuk dan menutup pintu.

Melihat Sekar masuk ke dalam rumah, Dwi Prapaja akhirnya bisa benar-benar pergi. Ia tidak mungkin pergi begitu saja saat Sekar masih berdiri di sana dengan pintu di buka. Khawatir, kalau Sekar nekat keluar rumah malam-malam. Apa yang akan Gajah Mada lakukan padanya? Pasti Gajah Mada akan menyalahkannya.

Di dalam rumah, Sekar berlari ke kamar. Ia berbaring diatasnya dan menyelimuti dirinya erat. Setelah itu, ia menangis.

Sungguh, ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba saja Gajah Mada menghilang. Dan bagaimana dengan Sekar?

Ini bukanlah kerajaannya. Untuk diabaikan tuan rumah, rasanya sakit sekali. Ia sudah membiasakan diri bergantung dengan keberadaan Gajah Mada. Dan saat ia sudah benar-benar bergantung, Gajah Mada melepaskan pegangannya. Ia bisa apa sekarang?

Andai saja. Andai saja ia tidak pernah mau untuk datang kesini dan memaksa Gajah Mada untuk menetap di kerajaannya, mungkin tidak ada hal seperti ini terjadi. Tidak pernah.

Sekar dulu berpikir, kalau sebagai orang penting di Majapahit, pasti Majapahit tidak akan melepaskan Gajah Mada. Juga, kemungkinan tugasnya menumpuk di disini.

Tapi setelah Sekar tahu kalau hubungan Gajah Mada dan masyarakat Majapahit dan Hayam Wuruk tidak terlalu bagus, ia merasa kalau keputusan mereka datang ke Majapahit salah.

Biarkan Majapahit kehilangan seorang pengabdi tangguh dan setia, yang tidak mereka hargai. Biarkan mereka menyadari kesalahan mereka. Itu seharusnya.

Mata Sekar semakin deras mengeluarkan air mata. Ia teringat dengan Ayahnya. Ibunya, Bagas, Sari dan Darmi, dan kenangan indah di Taring. Betapa itu sangat menyedihkan melihat kehidupannya sekarang.

Sekar bukan orang yang manja. Bukan. Tapi tidak mungkin ia bisa tertawa di keadaan sekarang. Lagi-lagi, Sekar harus mengulangi kata-kata ini. Bagaimana bisa ia bisa tenang saat ia diabaikan seperti ini? Orang yang membawanya kesini menghindarinya. Ia bisa apa?

Semakin lama, isak tangisnya mereda. Air matanya pun sudah kering. Hanya tertinggal rasa sesak yang ada dihati.

Perlahan-lahan, kepala Sekar muncul ke permukaan selimut. Memperlihatkan wajah jeleknya dengan mata lembab dan sembab. Ia menolehkan wajahnya ke samping. Melihat ke nakas lemari kayu yang nampak mencolok di pandangannya.

Ia jadi teringat dengan sumpah Gajah Mada yang pernah ia baca. Kalau Sekar tidak salah ingat, ia tahu di dalamnya ada sumpah Gajah Mada dan batu. Ia lupa bagaimana bentuknya.

Karena mengingat itu, ia juga teringat saat Gajah Mada meletakkan kertas surat dan terlihat mencurigakan.

Ya, Sekar baru sadar. Keanehan Gajah Mada adalah sejak itu. Gajah Mada menghilang juga sejak itu. Sekar ingat betul, wajah Gajah Mada berubah saat ia melihat Sekar di dalam kamar.

Sekar melirik nakas itu sekali lagi. Ada rasa penasaran dan gemas untuk menarik laci dan melihat apa yang ada di dalamnya.

Sebenarnya, Sekar bisa langsung membuka laci itu, tapi ia tidak bisa. Ia takut. Takut kalau kecurigaannya salah, dan ia hanya akan merasa bersalah karena lancang melihat hal yang sudah jelas-jelas tidak boleh ia lihat.

"Aku hanya perlu bersabar sedikit lagi. Semuanya pasti akan baik-baik saja." Bisik Sekar pada dirinya sendiri.

***
8 Agustus 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now