64. Undangan Rahasia

534 101 2
                                    

Seolah batu besar telah menekan seluruh tubuhnya, Sekar lemas dan terhuyung sampai Karti menangkap tubuhnya. Tubuhnya menekan tubuh Karti tanpa penopang. Karti limbung dan hampir saja jatuh walau akhirnya ia bisa berdiri tegak dengan menopang Sekar.

"Ndoro!"

Serangkaian pikiran negatif, praduga berlebihan, dan prasangka yang kejam menghujam hatinya. Sekar bahkan takut dengan apa yang di dengarnya. Ia tidak berani menebak mana yang benar dan salah. Semua terlihat benar, dan semua juga terlihat salah. Ini semua semu.

Teriakan Karti membuat dua orang yang sedang berbincang menoleh. Tapi mereka tidak kenal dengan Karti atau Sekar. Mereka tidak pernah melihat wajah Sekar. Jadi, mereka hanya menghindar dan kembali ke dapur tanpa menghiraukan keduanya.

Sekar tergagap menjawab teriakan Karti. "Tidak, tidak..."

"Ada apa ndoro?" Karti bertanya keras. Hampir berteriak. Ia pikir, ada yang salah dengan Sekar. Sekar yabg tiba-tiba terjaruh hampir bersimpuh di tanah.

Sekar kembali memikirkan semua yang terjadi. Ia benar-benar tidak bisa memikirkan ini. "Apa kau dengar? Mereka bilang ayahku telah datang kesini!" Teriak Sekar kepada Karti.

Karti mengangguk. Memang tadi dua orang itu mengatakan kalau mereka memasak untuk raja Taring. Berarti raja Taring datang ke Majapahit. Sekar adalah putri raja. Kerajaannya bernama Taring. Kesimpulannya, raja Taring adalah ayah Sekar. Sial!

"Ndoro!" Teriak Karti entah untuk apa. Mungkin ia hanya terkejut karena ia tidak menyadari sebelumnya.

"Apa yang terjadi? Sekar bergumam.

"Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?" Sekar bergumam terus menerus. Seperti doa dan mantra yang ia lafalkan, mulutnya tak berhenti terbuka.

Karti ingin menghibur dan memberikan pendapat kepada Sekar  tapi ia sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi. Walau ingin, ia hanya bisa mengelus dan mencoba menenangkan Sekar.

"Jangan seperti ini ndoro.." Karti berucap sambil satu tangannya tak berhenti mengusap punggung Sekar.

Sekar tidak ingin menangis, tapi air mata keluar begitu saja seperti ikut sedih dengan keadaannya. Dikala mencoba mengerti keadaan, Sekar tiba-tiba teringat dengan surat yang Gajah Mada masukan ke laci. Ia tahu ada yang salah.

Gajah Mada pasti sudah tahu hal ini. Sehingga sifatnya akhir-akhir ini berubah. Yang tidak Sekar ketahui, ia tidak tahu apakah Gajah Mada yang mengundang ayahnya, Gajah Mada sedang merencanakan sesuatu, atau ada hal lainya seperti Gajah Mada juga tidak tahu apa-apa seperti dirinya.

Sekar berdiri. Terlambat atau tidak, ia harus tahu apa yang terjadi. Bukan hanya duduk menangis meratapi hal sia-sia seperti yang baru saja ia lakukan.

Hal buruk mungkin lebih dominan terjadi jika ditelusuri tanda-tandanya. Tapi bolehkan Sekar berharap kalau ia hanya terlalu berpikir berlebihan. Semoga saja itu hanya prasangka buruknya saja.

Pintu terbuka. Tanpa berharap siapapun ada di dalamnya, Sekar bergerak cepat ke kamarnya. Mengabaikan dinginnya rumah layaknya rumah tak berpenghuni.

Langkah demi langkah. Walau Sekar berjalan cepat, gambaran yang tercipta sangat perlahan dan klasik. Debaran jantung juga menyertai di setiap langkah. Satu langkah, dua detak.

Suara laci yang terbuat dari kayu berderit dan membuat suara gebrakan akibat tindakan yang grasa-grusu.

Benar! Di dalam laci ada tiga benda. Sumpah Gajah Mada, cincin kuning, dan gumpalan kertas yang Sekar yakini sebagai surat.

"Hah.. Hah.." Suara hembusan nafas lelah Sekar akibat emosi yang tidak terkontrol terdengar menjadi satu-satunya di tempat yang hening dan sepi itu.

Mengabaikan dua benda yang sudah ia setujui untuk ia sentuh kepada Gajah Mada, Sekar mengambil surat yang mungkin menjadi titik temu permasalahannya.

Pada pandangan pertama, Sekar masih berharap kalau semuanya akan baik-baik saja. Tidak seperti yang ia khawatirkan.

Pada saat Sekar membuka gulungan surat, Karti tiba di depan kamar dan melihat Sekar berdiri di samping tempat tidur. Ia mengintip dari pintu. Tidak berani masuk. "Ndoro.." Bisiknya.

Sekar membaca dengan perlahan. Seperti saat ia membaca sumpah Gajah Mada, Sekar rasa ini lebih mudah untuk di baca. Mungkin karena ia hanya surat biasa.

Inti dari surat itu adalah kerajaannya menyanggupi undangan jamuan Majapahit.

Undangan apa? Bukankah kalau Majapahit mengundang Taring pasti ia tahu?

Apa yang mereka lakukan dengan Taring? Dengan ayahnya?

Jika ini hanya sebuah perjamuan seperti yang ada di dalam surat, tidak akan semuanya dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi seperti ini. Dan Gajah Mada juga aneh.

Sekar semakin khawatir. Apa yang mereka lakukan dengan ayahnya?

Satu-satunya yang bisa ia tanyai tentang masalah ini adalah Gajah Mada. Ia harus tanya kepada Gajah Mada.

Tapi dimana Gajah Mada? Empat hari ini saja ia tidak menemukannya dimanapun.

Gajah Mada tidak mungkin kabur bukan? Masalahnya, ini bukan masalah yang bisa di selesaikan dengan melarikan diri. Jika ia tidak menemukan Gajah Mada disini, maka Gajah Mada memang pergi ke tempat yang jauh.

Ah! Dwi Prapaja. Hanya dia yang bisa di tanyai tentang keberadaan Gajah Mada. Dia tahu dimana Gajah Mada. Jika tidak, ia tidak akan membawa makanan atas perintah Gajah Mada.

Sekar berbalik. Bertanya kepada Karti. "Dimana aku bisa menemukan Dwi Prapaja?" Tanyanta.

Karti terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba. Dimana Sekar bisa menemukan Dwi Prapaja? Biasanya dia mengikuti Gajah Mada latihan di lapangan, "Lapangan latihan. Biasanya dia berlatih disitu." Karti berkata.

Lapangan? Bukankah mereka baru saja pergi ke tempat itu? "Apa kau tadi melihat Dwi Prapaja disana?" Tanya Sekar.

Karti mencoba mengingat, "Tidak." Sekar menjawab. "Aku juga tidak. Jadi Dwi Prapaja tidak di sana." Ucapnya sambil berpikir.

Lalu ia kembali bertanya, "Kau tahu dimana rumah Dwi Prapaja?"

Karti mengangguk. "Saya tahu."

"Tunjukkan aku dimana itu!"

Karti mengangguk lagi. "Baik."

Mereka berdua segera pergi ke tempat rumah Dwi Prapaja berada. Sesekali, Karti menghadap ke belakang, dimana Sekar mengikutinya.

Karena merasa tak nyaman dengan posisi itu, Karti mundur dan berjalan di depan Sekar. Namun Sekar malah naik pitam, "Apa yang kau lakukan? Jalan di depan dan cepatlah! Aku mengikuti dari belakang. Akan lambat jika kau berjalan di sebelahku." Katanya membuat Karti memimpin jalan walau ia masih merasa tidak nyaman.

Jalanan ini tidak pernah Sekar lalui. Jadi banyak orang di jalanan yang menatap Sekar dengan rasa ingin tahu. Sepanjang jalan, pohon pisang terlihat di mana-mana. Walau di depan rumah sekalipun.

Sampai di rumah milik Dwi Prapaja, Karti berhenti. Mempersilakan Sekar untuk melihat rumah itu. Sekar maju dan mengetuk pintu.

"Tok! Tok! Tok!"

Tidak ada sahutan dari dalam rumah.

"Tok! Tok! tok!"

Masih tidak ada jawaban.

"Mungkin dia sedang tidak berada di rumah Ndoro."

Sekar mengalihkan tatapan sesaat. Berpikir. "Maka kita akan menunggu disini." Ucapnya.

Lagi pula, Sekar tidak perlu di rumah tepat waktu. Tidak ada orang di rumah. Tidak ada yang mengkhawatirkannya juga.

***
12 Agustus 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now