66. Temu Kangen

715 104 18
                                    

Sekar turun dari kuda. Setelah itu, ia menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri hanya untuk melihat sebuah tempat bak dukuh kecil yang asri dan cantik.

Ini jauh dari perkiraan Sekar, tapi sama sekali tidak membuatnya kecewa. Bahkan melebihi bayangannya. Ia pikir, mungkin Gajah Mada berada di tempat yang penuh orang-orang besar. Atau, seperti aula pertemuan besar. Atau juga, tempat rahasia seperti benteng barak yang penuh dengan senjata. Bukan. Tempat ini bahkan lebih ternilai di mata telanjang dari pada bangunan mewah minim oksigen yang membuat orang di dalamnya gila kuasa.

Semilir angin ditambah dengan tarian pohon-pohon bambu yang mengelilingi tempat itu membuat siapapun akan merasa bahwa itu adalah tempat pengasingan terindah yang pernah ada.

Bambu kuning jadi hiasan di sela-sela bambu biasa dan bambu hitam. Pring Wulung kalau orang-orang bilang. Bambu cantik berwarana hitam. Kalau bambu kuning, sebutannya Pring Kuning.

Ada halaman besar di tengah-tengah beberapa pondok yang di bangun rapi melingkari halaman. Suara daun bambu yang tertiup angin tertutupi dengan suara keras prajurit yang sedang berlatih. Dengan tombak dan pedang yang mereka gunakan, mereka berbaris dan melatih gerakan sesempurna mungkin.

Di sudut belakang yang jauh dari jangkauan mata, lima orang sedang mengawasi kuda yang di tali pada kayu. Masing-masing kuda memiliki rumput kering di depannya untuk mereka makan. Juga satu baskom air minum.

Sekar melihat-lihat dengan cermat, mengelilingi sudut per sudut dengan jeli. Ia sampai lupa dengan tujuan kedatangannya kesini. Sampai Dwi Prapaja turun dari kuda dan berjalan ke arahnya. Ia berdiri di sebelahnya, membuat Sekar tersadar. "Di sana." Ujarnya sambil menunjuk sebuah pondok yang berada di ujung tempat. Pondok paling besar yang ada di sini

Sekar mengangguk. Menatap pondok itu dengan tegas dan penuh dendam. Ia maju dan merapalkan apa yang ingin ia katakan. Menyusun semua pertanyaan agar ia tidak mati kutu di hadapan Gajah Mada. Penuh tekat, setiap langkah Sekar menjadi semangatnya. Setiap nafas menjadi daya tekatnya penuh.

Tapi sayang, begitu sampai di depan pintu, tangannya berat hanya untuk membuka pintu atau sekedar mengetuk.

Sekar menghela nafas panjang. Di tatapnya pintu seakan dia bisa berbicara dengan benda itu. Perlahan-lahan, ia membuka pintu. Tapi tangannya mengencang saat ia melihat punggung seseorang yang sedang membelakanginya. Dengan jantung berpacu, gerakan tangannya menjadi gebrakan. Terdengar kencang seperti orang yang sesumbar dengan keadaan.

Tidak ada reaksi. Bahkan satu gerakan pun tidak ada. Membuat Sekar terheran-heran.

"Kau ingin protes? Akan ku persilakan." Ujar Gajah Mada tanpa berbalik. Tidak pula bergerak.

Sekar kesal dengan Gajah Mada. Protes? Protes dengan nasibnya? Lucu!

Sekar mengatur nafasnya yang membara. Di akhir menit yang penuh dengan keheningan, Sekar berbicara.  Dengan penuh kemirisan. "Apa menyembunyikan masalah membuatmu bangga?" Tanya Sekar tersenyum kecut.

Tepat saat beberapa patah kata yang muncul dari mulut Sekar, Gajah Mada berbalik dengan amat cepat. Ekspresi wajahnya penuh keterkejutan. Ia membelalakkan matanya.

"Ada apa dengan wajah terkejut Kang Mas itu? Apa ada yang salah dengan apa yang ku ucapkan?" Sekar tersenyum sinis.

Gajah Mada tidak bisa berkata-kata. "Kenapa disini?" Tanya Gajah Mada. Ia menggerakkan jari-jarinya ingin menggapai Sekar, tapi ia sadar kalau jarak kedua lumayan jauh. Jadi, ia berjalan ke arah Sekar dengan perlahan. Takut membuat Sekar semakin marah.

Gajah Mada pikir, itu adalah bawahannya yang membuka pintu. Ia sama sekali tidak menyangka kalau itu adalah Sekar. Baginya, Sekar adalah kandidat terakhir yang pikir bisa membuka pintu pondok ini. Ia hanya tidak ingin Sekar tahu apa yang sedang ia lakukan.

"Kenapa aku disini? Wah.. Kang Mas sama sekali tidak ingin melihatku?"

"Kang Mas pikir aku ini apa!" Teriak sedang dengan begitu kencang. Rauangannya di selingi dengan tetesan air mata yang mulai tergenang di mata bulan sabitnya. Gigi miji timunnya terlihat jelas saat ia membuka mulutnya lebar untuk berteriak.

Gajah Mada tersentak. Ia tidak siap dengan raungan Sekar yang menyayat hatinya. Apalagi air mata yang mulai turun itu. Membawanya pada perasaan sakit yang luar biasa.

Andai kata air mata itu adalah emas, jika itu di buat dari rasa sakit yang di rasakan oleh Sekar, maka ia lebih memilih membuang jauh-jauh emas itu sampai Sekar sama sekali tidak bisa menyentuhnya atau bahkan melihatnya.

"Jangan menangis, jangan.." Ucap Gajah Mada serak. Di sertai dengan tangan yang condong ke wajah Sekar dan kaki yang berjalan ke arahnya.

Sekar berteriak menghentikan gerakan Gajah Mada. "Jangan mendekat!" Teriaknya.

Gajah Mada terpatung. Ia sangat bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Ia sakit melihat tangisan Sekar dan air mata yang jatuh bertubi-tubi. Ia juga sakit melihat raungan serak Sekar yang hilang tertelan isak tangisnya. Ia sungguh ingin memeluk Sekar dalam. Menyembunyikannya dalam dadanya yang hangat, dan menenangkan Sekar dalam hembusan nafasnya yang lebih jujur dari pada ucapannya sendiri.

"Siang malam aku menunggumu pulang dan mencarimu. Perlu banyak usaha agar aku bisa tidur tanpa melihat ke pintu. Juga tidak semudah itu menyingkirkan kekhawatiran ku yang sialan ini..."

"...Sampai aku tahu bahwa ayahku telah datang tanpa sepengetahuanku.. Bagaimana Kang Mas bisa melakukan ini padaku? Protes? Apa aku tampak serendah itu sampai kekhawatiran ku kau anggap protes?" Setelah mengatakan hal itu, Sekar diam. Membiarkan dadanya naik turun untuk meredakan amarahnya.

Gajah Mada membuka mulutnya. Ingin menyangkal, tapi ia urung melakukannya. Opini Sekar tidaklah salah. Tapi juga tidak benar sepenuhnya. Ada beberapa hal sensitif yang di salah pahami Sekar. Tentang tujuan, tentang niat, tentang alasan. Karena semua itu salah, opininya bergeser menjadi seratus delapan puluh derajat terbalik. Membuatnya salah jalur.

Itu wajar, karena ia Sekar bahkan sama sekali tidak tahu apapun. Bahkan jika Sekar tahu sekalipun, Gajah Mada lebih memilih ia tidak mengetahuinya.

Gajah Mada mendekat. Membiarkan tangan Sekar dengan liar memukulnya di berbagai tempat. Membiarkannya mereda untuk sekian detik, sampai Sekar benar-benar tenang.

"Kau egois." Ucap Sekar dengan tangis yang masih mengalun rusak. Suara isak tangisnya seperti kaset lawas yang tidak berfungsi. Tersendat setiap beberapa detik. Membuat siapapun tidak ingin mendengarnya. Lagi pula, siapa yang ingin Sekar menangis? Gajah Mada ingin Sekar selalu tertawa bahagia. Bukan menangis seperti ini.

Di pegangnya tangan Sekar yang mengepal di dadanya, Gajah Mada membawanya untuk ia genggam. Mengecup jari-jari itu lama. Air mata Sekar sudah menyebar entah kemapun. Bahkan wajah Gajah Mada sudah berair akibat mengecupi tangan Sekar yang bersimbah air mata.

****
Sorry lama updatenya hehe...

***
19 Agustus 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoDonde viven las historias. Descúbrelo ahora