114. Kidung Sukma

487 47 17
                                    

Malam itu, ruangan penyiksaan di penuhi suara tangis dan jeritan tak manusiawi. Malam yang biasanya sunyi menjadi ngeri untuk orang-orang yang berada di dekat ruang penyiksaan. Pasalnya, tidak ada peredam sama sekali. Walau ruangan di buat dengan dinding batu yang kokoh, ada ventilasi yang cukup besar dan banyak yang membuat suara bisa dengan bebas keluar masuk.

Kala penyiksaan sedang dilangsungkan, biasanya para prajurit yang menyiksa adalah prajurit yang tidak sedang mempunyai bayi di bawah empat tiga tahun dan istri yang sedang hamil.

Itu tidak ada ada dalam peraturan, namun seringkali memang orang-orang itu peka terhadap kondisi dan saling bergantian.

Gajah Mada tidak ada disana untuk menyaksikan. Hanya orang-orang kepercayaannya yang nantinya akan merup informasi saja sudah cukup.

Untuk apa Gajah Mada membuang waktu untuk mereka, sedangkan Sekar sendiri sedang tidak dalam keadaan baik.

Gajah Mada tidak pernah memikirkan tentang kematian, juga tidak sedikitpun menginginkannya, namun dia hanya takut jikalau dia akan menyesal meninggalkan Sekar terlalu lama dan tidak ada disisinya di saat yang genting.

Tapi mungkin jika dipikirkan lagi, jika saja Sekar benar-benar mati, itu mungkin bukan akhir dari semuanya, karena detik itu juga dia akan mengakhiri hidupnya, dan mungkin saat itulah akhir dari semuanya yang sebenarnya terjadi.

Maka dari itu, saat ini Gajah Mada berada di kamar menemani Sekar yang berkeringat deras. Membawa handuk hangat untuk mengelap dahi dan wajah Sekar yang mulai basah.

“Berapa lama lagi waktu yang kau perlukan?” Gajah Mada bertanya. Menggenggam tangan Sekar sedang kedua tangan, jari-jarinya mengurut pangkal ibu jari Sekar, sedangkan matanya menatap pilu ke wajah pucat dingin itu.

Arya menjawab, “Jika saja semuanya lancar, aku mungkin sudah keluar dari keraton ini. situasinya begitu kacau, bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikannya begitu cepat?” gerutunya.

Gajah Mada menoleh dan bertanya bingung, “Apa maksudmu?” Gajah Mada benar-benar tidak tahu apa yang maksud jelas ucapan Arya.

“Tidak ada.” Arya menjawab datar dan acuh.

Gajah Mada tak menghiraukan itu, matanya kembali beralih kepada Sekar dan bertanya, “Bisakah dia duduk dipelukanku? Dia mungkin kedinginan.” Gajah Mada bicara.
Arya menoleh lalu menjawab, “Kau tak lihat dia berkeringat? Dingin seperti apa yang membuatnya berkeringat seperti itu? dia bahkan tidak demam ataupun menggigil.”

Tak mendengarkan cibiran Arya yang menjengkelkan, Gajah Mada berbisik, “Tapi kulitnya dingin.” Ujarnya, lalu menurunkan bola matanya baru kemudian bergerak merangkul Sekar untuk duduk dan memposisikan badannya di belakang Sekar sebagai tumpuan dan memeluknya.

"Cih!" Arya berdecih melihat pemandangan romantis yang membuat gejolak mudanya tak terima.

Gajah Mada tidak menghiraukannya. Dagunya tertumpu di bahu Sekar yang kecil.

Rasa nyaman yang melingkupi Gajah Mada membuat dirinya menghela nafas ringan. Seluruh tubuhnya seakan memakan obat yang membuatnya bugar.

Rambut Sekar yang terurai menutupi bayangan bulu matanya yang terkulai.

Gajah Mada semakin menenggelamkan hidungnya di leher Sekar. Menyerap memori yang dirasanya tengah berhenti ini.

Tubuh Sekar memang semakin kurus, namun kulitnya masih lembut dan lembab.

Rambutnya yang sudah beberapa hari tidak dicuci sedikit berminyak, namun masih saja wangi dan lembut.

Setiap kali Gajah Mada menghirup aroma itu, dia semakin merindukan saat-saat dimana dia bisa bercanda dan menggoda Sekar.

GAJAH MADA ; Megat RosoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang