51. keadilan.

689 113 12
                                    

Sekar dan Karti tidak pernah tahu kalau acara jalan-jalan mereka membawa mereka ke sebuah situasi yang tidak ingin mereka masuki.

Di sisi balik tembok yang tak sengaja mereka datangi, telinga yang memang di rancang untuk para kaum hawa yang menyukai gosip ini mendengar sesuatu.

Bukan urusan percintaan apalagi perselingkuhan. Tembok tipis ini membuat mereka penasaran dengan apa yang dibicarakan pejabat-pejabat di ruangan yang tidak semestinya.

Tujuh pria berusia sekitqr setengah abad. Jikapun ada salah seorang yang belum menginjak lima puluh, mungkin maaih bisa dikatakan paruh baya untuk disandingkan dengan jangka umur seorang pemuda.

Satu meja persegi panjang tidak berisi apapun. Kayu yang digunakannya pun kayu murahan yang tak kuat menahan beban atau bertahan sampai usia sekitar lima tahun. Rayap berumah sana-sini. Berlubang dan warnanya pudar. Mengenaskan.

Dari jarak satu orang ke orang lainya, mereka harus mengambil jarak satu jengkal antara pundak. Rambut mereka tidak tertutup. Riasan informal yang biasa.

Sekar awalnya tidak ingin mencampuri urusan itu. Tapi rasa penasaran dan keingintahuannya lebih kuat dari pada apapun. Dan juga, ia tidak bisa tutup mata atas pembicaraan yang penting ini. Walau ia tidak yakin kalau yang mereka bicarakan akan penting.

"Panjenenganipun sampun kedah pemikiran becik kang diakui Gusti Prabu. Menika enten ing situasi niki, seharusnya panjenengan saged ngaweh urun rembug kang bagus. Ngeten."

(Anda sudah memiliki pemikiran bijak yang diakui Gusti Prabu. Maka dalam situasi ini, seharusnya anda bisa memberikan pendapat yang bagus. Benar.)

"Memajukan suatu negara yang hancur tidak semudah membangun negara dari awal. Ini bahkan lebih susah dari mengambil sebuah negara dan menghancurkan sebuah negara." Suara jernih seseorang ini terdengar familliar bagi Sekar. Entah dimana ia pernah mendengar suara ini. Tapi ia yakin kalau ini adalah sebuah suara yang pernah di dengarnya.

Dari belakang, seseorang itu mengenakan pakaian yang terbilang rapi untuk pertemuan informal ini. Punggungnya terlihat sedikit mencolok walau ia tidak melihat wajahnya.

Dari atas sini, Sekar mengerutkan kening. Tampak akrab dengan seseorang itu, tapi siapakah yang bisa dia kenali dari orang-orang ini? Ia tidak pernah mengenal pejabat-pejabat.

"Jika kita ketahuan mencuri dengar, maka kit--"

"Hushhh!! Jangan berisik!" Sekar membentak dengan berbisik.

Jantung Karti berdebar kencang. Seumur hidup, ia tidak pernah melakukan hal ini. Jika pun ia berada dalam situasi ini, ia akan lebih baik memilih menghindar dari pada penasaran. Karena menjadi orang bodoh lebih mengasyikan dari pada menyimpan sebuah rahasia yang nantinya akan mempersulit diri.

"Tapi ini sanga--"

Sekar berdecak dan memotong perkataan Karti. "Jika kamu takut, maka pergilah!" Ucapnya.

Mungkin Karti akan lari saat ini jika ia sendirian, namun ia tidak bisa melakukan itu kala ia bersama dengan Sekar. Bagaimana bisa ia meninggalkan Sekar sendiri. Seburuk-buruknya pelayan ialah yang meninggalkan tuannya. Ia tidak ingin menjadi pelayan yang buruk, jadi ia tidak akan meninggalkan Sekar.

"Tida--"

"Maka diam!" Gemas Sekar.

"Perbaikan pemerintahan tidak mudah. Kita kekurangan pemikiran, kekurangan harta, dan kekurangan orang. Bagaimana pendapat kalian, apa yang harus kita selesaikan pertama kali?" Sebuah suara membuat Sekar kembali menolehkan kepalanya ke sekelompok orang ini.

"Kerajaan ini Kaya tanah dan pohon. Jika kita menebang beberapa pohon besar dan menjadikannya kerajinan untuk dijual, maka itu mungkin sedikit bisa menambah kekayaan negara. Juga, tanah yang kosong itu bisa di tanami sayur dan buah. Iklim negara ini cukup bagus. Lebih baik dari Taring dari segala sisi. Jika Taring mematok harga yang lumayan tinggi, bukankah hasil alam negara ini bisa lebih tinggi?"

GAJAH MADA ; Megat RosoWo Geschichten leben. Entdecke jetzt