20. Penindasan

864 158 6
                                    

Buat yang udah baca Chapter 19 bisa dibaca lagi karena ada yang dirubah. Dikit sih, tapi kali aja bisa lebih ramah dimata buat dibaca.

Maaf ya, soalnya kemaren buru-buru. Jadi, sat set sat set langsung publish.

****

"Omah iku papan sing aji tumprap wong-wong. Ora mung papan,  nanging uga perlambangan ajaran thrihita karana, yaiku kang merang jagad  dadi telu. Jagad pelamahan, pawongan, lan parahyangan...."

(Rumah itu papan yang berharga bagi orang-orang. Tidak cuma papan, tapi juga perlambangan ajaran trihita karana, yaitu memecah dunia menjadi tiga. Jagad palemahan, pawongan, dan parahyangan....)

"Mulane kue yu Ning, yu Sar, yu Kar... Omah dudu panggonan sing ora digatekake. Mestine, Omah kudu sing lengkap, bersih, lan ana isine. Ya oraha gede, kudu ana isine... Ya ora yu?"

(Itulah sebabnya yu Ning, yu Sar, yu Kar [maksudnya Sekar]... Rumah bukan tempat yang tidak di perhatikan. Mestinya, rumah haruslah yang lengkap, bersih, dan ada isinya. Kalo ngga besar, minimal ada isinya lah... Iya tidak mba?)

Sekar memandang Karti disebelahnya dan memutar matanya malas. Tahu betul apa maksud orang ini berkata demikian. Sindirannya sangat terasa dengan mata mereka yang melirik-lirik sudut-sudut rumahnya. Maksudnya itu, rumah Sekar tidak besar dan tidak ada barang-barang berharga didalamnya.

Memang benar. Rumah yang dasarnya milik Gajah Mada ini tidaklah lengkap seperti rumah-rumah orang besar lainya.

Rumah ini hanya mempunyai tiga bagian. Pendopo, pringitan, dan bagian dalam. Sangat simpel namun nyaman.

Sekar tahu betul maksud Gajah Mada membuat rumah sesederhana ini.

Sebagai seorang yang tidak ingin menikmati hal-hal duniawi, rumah bersih dan nyaman sudah cukup untuknya. Pun Sekar yang berpikir demikian.

Tadi pagi setelah Karti datang dan membantunya memasak, orang-orang ini datang mengetuk pintunya dengan membawa perhiasan tak lazim di tangan, leher, telinga, dan rambut. Begitu besar sampai leher mereka terlalu sulit untuk digerakkan.

Bibir mereka sama sekali tidak lelah mengatakan hal-hal seperti tadi hanya untuk menyindirnya.

Sekar bahkan tidak tahu siapa mereka. Datang tak diundang, mereka pikir rumah Sekar taman bermain? Yang dengan seenaknya bisa mereka datangi dan cemooh sesukanya.

Tentu saja mereka semua pengecut. Lihatlah, mereka hanya berani datang tatkala Gajah Mada tidak berada di rumah. Bermaksud menindas Sekar?

Karti disebelahnya mendekat. Merapatkan tubuh mereka dan berbisik. "Dia Marsih, istri dari senopati Wage." Ucapnya.

Sekar tersenyum. Sebuah nama yang asing untuknya, itu berarti dia hanya segelintir pejabat yang ada di sini. Setelah mengetahui ini, ia tidak perlu lagi sungkan untuk mempermalukan mereka.

"Mbak yu Sekar.. Sampeyan terlalu sederhana. Dimana perhiasan sampeyan? Apakah Mahapatih kurang peduli kepadamu, sehingga hanya ada kain di tubuhmu?" Seorang disamping istri senopati mulai mengeluarkan mulut busuknya. Menilai darinya yang paling penurut di antara mereka bertiga, sudah jelas kalau dia adalah yang paling rendah disini.

Jika bukan mereka yang memulainya, Sekar tidak akan memandang seberapa tinggi mereka dibanding dengannya.

Sebuah kasta saja sudah cukup. Tidak perlu lagi piramida jabatan juga membagi mereka menjadi orang yang sewenang-wenang.

Tapi Sekar tidak bodoh. Bagaimana bisa ia diperlakukan dengan rendah saat ia tahu, si penindas adalah orang yang harusnya ditindas.

Yang berbicara terakhir kali menghela nafasnya simpatik. Berusaha menahan air mata palsunya yang menjijikan.

"Aduh.. Aduh.. Oalah mbakyu.. Malang  sekali nasibmu. Sudahlah engkau menemukan suami yang tidak peduli padamu, kamu juga tidak punya siapa-siapa untuk mengadu..." Ucapnya dengan kesedihan palsu yang sangat kentara.

"Lha kata siapa tidak punya siapa-siapa untuk mengadu. Sampeyan punya kita kok yang bisa diajak bercerita. Bener nggih yu Mar?" Tanyanya kepada si yang paling berkuasa diantara mereka berdua.

Marsih, yang katanya adalah istri dari senopati Wage itu mengangguk. Ia melemparkan pandangan kepada Sekar dan berkata, "Betul."

Mereka lebih tua dari Sekar, jadi Sekar tidak terlalu suka dipanggil 'yu' oleh mereka. Harusnya dialah yang memanggil mereka seperti itu. 'Si tua yang tidak ingin dituakan' bukankah mereka?

Sekar tersenyum sebagai jawaban.

Tak tahan dengan kemunafikan mereka, sebuah kalimat terlontar dari mulutnya tanpa ia duga. "Entah suamiku peduli atau tidak, siapa yang tahu selain aku dan suamiku. Kalian terlalu gegabah menilai rumah tangga orang lain. Rumah kami memang sederhana. Kami juga tidak menggunakan banyak aksesoris. Karena kami tahu, harta tidak perlu dipamerkan untuk melihat isinya. Hanya nama disebut, semua orang akan tahu mana yang berpunya dan mana yang tidak."

Semua orang yang ada disitu bungkam. Tidak berani mengeluarkan kata-kata apapun.

Secara garis besar, nama Gajah Mada sudah menjadi Harta yang paling berharga. Tidak perlu ditunjukan, semua orang tahu apa saja yang dimiliki Gajah Mada.

Untuk Sekar sendiri, sebuah julukan Putri sudah bisa menggambarkan bagaimana kehidupan dan kekayaan berlimpahnya dibandingkan dengan orang-orang pemuja perhiasaan ini.

Untuk menangani kesunyian, Karti tersenyum dan berkata. "Ndoro Sekar dan Mahapatih adalah orang yang sederhana. Mereka rukun dan tidak menyukai kemewahan. Perhatian Mahapatih menjadi bukti kental kepeduliannya kepada Ndoro Sekar. Mohon kepada para Ndoro-ndoro sekalian untuk tidak berkata seperti tadi," Ucapnya kembali menampar wajah orang-orang itu.

Mereka saling melempar pandangan dan hanya bisa tersenyum kecut. Saling menyenggol satu sama lain untuk memaksa mencairkan suasana.

Orang yang di Panggil 'yu Sar' oleh Marsih kembali bicara berusaha membuat Sekar terlihat salah.

"Bukankah sampeyan sudah tahu tentang pertemuan istri? Bahkan permaisuri yang membawa sampeyan sendiri ke pertemuan itu. Kenapa mbakyu tidak datang ke pertenuan itu? Apakah sampeyan hanya mau datang saat Yang mulia permaisuri mengundang sampeyan?"

Sekar sebenarnya tidak tahu kalau selain pertemuan yang ia hadiri saat Permaisuri datang membawanya, bukanlah satu-satunya pertemuan.

Ia yang sedang bingung harus menjawab apa terkejut dengan jawaban yang Karti katakan atasnya.

Ia berkata, "Nyuwun sewu Ndoro. Pertemuan itu tidaklah wajib di datangi. Apalagi jika Permaisuri tidak datang. Banyak kesibukan yang Permaisuri punya sehingga dia tidak bisa datang setiap hari. Jadi saat Yang mulia Permaisuri tidak datang, itu sebenarnya hanyalah pertemuan untuk menghilangkan rasa bosan dan tidak lebih. Disisi lain, ada hal-hal yang lebih penting sebagai istri untuk dilakukan Ndoro Sekar. Ia juga tidak tahu kalau pertemuan itu diadakan setiap hari, karena saya tidak memberitahukannya. Maka dari itu, saya mewakili Ndoro saya meminta maaf kepada Njenengan." Ucapnya panjang lebar.

Orang-orang itu melotot tidak percaya dengan apa yang Karti katakan. Seorang pelayan, dengan berani mengatakan hal ini di hadapan mereka.

Secara tidak langsung, ia mengatakan kalau mereka bukanlah istri yang baik karena lebih mementingkan pertemuan tak berguna dibanding kewajiban sebagai istri.

Sekar tersenyum puas. Karti memang penuh semangat dan kelucuan yang ada di dalam dirinya setiap saat. Namun, dalam hal genting seperti ini, ia mampu mengalahkan dengan telak orang-orang semacam ini. Ia baru lima belas tahun, dan dia sudah sedewasa ini. sekar bangga kepadanya. Ia senang karena mempunyai satu pelayan yang lebih dari beberapa pelayan yang orang lain punya.

Marsih tergagap sebelum, ia menjawab, "K-kamu hanya seorang pelayan, beraninya berkata seperti itu!"

Sekar yang tersenyum samar akhirnya berbicara saat si tua ini malah memarahi pelayannya.

"Maafkan aku, tapi sepertinya aku tidak enak badan hari ini. Sekali lagi maafkan aku. Padahal, sampeyan sudah jauh-jauh datang ke rumah kami yang sederhana ini."

Mereka semakin marah dan mendidih. Sekar yang mengusir mereka secara tidak langsung sangat memalukan bagi mereka. Tanpa basa-basi lagi, mereka keluar dari rumah yang menurut mereka kumuh itu.

***

12 Maret 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now