48. Penggulingan Wironggo

740 122 14
                                    

Seruan keras pasukan di luar istana Adibaya menggema. Membuat orang-orang yang sedang memilah-milah makanan menghentikan kegiatan mereka. Kecuali mereka yang terlibat dalam konspirasi itu, semuanya terkejut bukan kepalang. Negara ini tidak mempunyai benteng. Dengan satu istana yang mereka punya, tentu sangat mudah mereka mengepung istana ini.

"Semuanya!" Hayam Wuruk berdiri. Aura agungnya menyebar. Wibawa tegas, kuat, dan apiknya menundukkan orang-orang yang mendengarnya.

Sebagian kecil prajurit Majapahit yang memang sudah berada sejak kedatangan pertama mulai bergerak cepat. Mengerebungi jamuan itu dengan belati dan keris yang mereka sembunyikan di balik pakaiannya.

Wajah Wironggo memerah. Jelas sekali bahwa ia sedang  menahan amarah. Namun ketakutannya akibat polemik yang tak disangka-sangka ini lebih besar dari amarahnya. Sehingga raut wajahnya tegang dan tidak bisa mengucapkan kata-kata.

Satu orang prajurit Bhayangkara yang berada di dalam istana itu membuka pintu gerbang. Dan kemudian, masuklah 600 bala tentara yang sudah berbekal senjata. Menodong mereka tepat di tengah kepala mereka.

Para prajurit yang baru saja masuk lebih mempersiapkan kesiapan mereka, sehingga senjata yang mereka miliki lebih mengerikan dari prajurit yang datang bersama Hayam Wuruk.

Tombak, pedang beracun, panah wisa, dan senjata berat yang membuat pasukan ini tampak sempurna untuk melengkapi penyergapan.

Mulanya, Adibaya masih punya harapan untuk melawan beberapa prajurit yang ada dalam istana. Tapi kemudian jumlah bertambah. Bukan hanya kuantitas saja, kualitas mereka bahkan satu banding sepuluh. Bisa apa Adibaya selain menyerah secara pasrah?

Tapi Wironggo nyatanya tidak begitu memikirkan akal sehat. Keras kepala dan gengsinya berlebihan. Jadi saat ini, ia berdiri walau ia harus kembali duduk setelah di tekan dua orang yang menggenggam bahunya.

"Pembohong! Kalian benar-benar licik!"

"Kalian semua pengecut! Apa kalian memang sangat licik? Oh.. Aku tahu! Itu memang ciri dasar Majapahit. Ha.. Ha.. Ha.." Diakhir tawanya yang sumbang, wironggo mendengus miris. Marah bahkan sudah tidak ada gunanya lagi hari ini.

Untuk beberapa saat, kericuhan berhenti sekejab. Mereka mulai menerka-nerka apakah mereka bisa menyerang balik atau hanya sekedar melarikan diri.

Sebenarnya para prajurit Adibaya yang terkenal 'kuat' dan besar itu tidak hadir dalam jamuan ini. Lain halnya dengan jamuan sebelumnya yang melibatkan seluruh orang.

Lalu mengapa Majapahit masih mempunyai cukup prajurit untuk mengepung mereka sebelum membuka pintu gerbang? Itu karena mereka adalah tamu.

Secara harfiah, Majapahitlah yang harusnya waspada akan hal-hal tentang jamuan tertutup semacam ini. Jadi, Wironggo mempersilakan mereka membawa serta prajurit. Sebagai bukti bahwa ia tidak berniat apapun. Tapi yang mereka tidak tahu, dengan itu mereka membawa masalah ke diri mereka sendiri.

Sedangkan prajurit Adibaya sendiri terkurung dalam area latihan yang mereka kunci. Tentu saja mereka tidak bisa bergerak cepat melindungi wironggo.

Jadi untuk sisi Adibaya, hanya pejabat dan abdi dalem yang menghadiri jamuan itu. Kecuali Wironggo sendiri.

"Wironggo. Bukankah kamu sudah tahu bahwa kami ini licik, lalu mengapa kamu terkejut?" Hayam Wuruk duduk di kursinya kembali.

Sebuah apel yang ada di depannya dipindahkan sehingga kini berada persis di sisinya. Senyuman melintas sesaat. Lalu matanya juga mengkerut, tapi tidak menunjukan senyuman tulus. Hayam Wuruk berbicara, "Kami adalah manusia. Semua yang kami lakukan selalu masuk ke catatan baik dan buruk, akhirnya."

Wironggo diam. Ia menahan setengah mati amarahnya dan menunggu Hayam Wuruk melanjutkan ucapannya yang seperti garam diatas lukanya.

"Aku memang menjebak kalian semua, tapi yang kulakukan bukan semata-mata pikiran dan nafsuku pada kekuasaan yang tidak bisa terbendung. Walau itu memang garis besarnya." Hayam Wuruk menjeda ucapannya. Lagi. Membuat orang-orang yang mendengarkannya penasaran dan menduga-duga apa yang akan dia katakan selanjutnya.

Hayam Wuruk melemparkan sisa apel yang di makannya. Melemparnya sembarang hingga mengenai sebagian wajah Wironggo. Terdengar kejam, tapi jika kamu berada di sana, kamu pasti akan menahan tawa karena kejadian ini sungguh lucu. Apalagi wajah Wironggo seakan tak luput dari kekonyolan. Wajah-wajah seorang penghibur. Sepertinya, si kuda jantan ini sudah menjadi kura-kura yang ditinggalkan cangkangnya.

Hayam Wuruk, "Tapi aku, Hayam Wuruk. Mempunyai sifat lahiriah untuk memimpin. Tentu aku akan sangat khawatir dengan caramu berkuasa yang menekan segala aspek. Kamu bukan penguasa Wironggo. Kamu perusak."

"Bajingan tengik!" Maki Wironggo. Ia meludahkan air liurnya yang menjijikan ke arah Hayam Wuruk. Sayang, jarak mereka terlalu jauh sehingga air liur itu tidak mengenai tubuh Hayam Wuruk. Melainkan jatuh pada seperempat jengkal di depan kakinya.

Hayam Wuruk menyergit. Ia menarik kakinya risih. Peka terhadap ketidaksukaan raja, prajurit yang paling dekat dengannya menutupi air liur itu dengan daun pisang yang menutupi makanan.

Marah dengan kelancangan Wironggo, dengan persetujuan Hayam Wuruk, senopati Wage yang saat ini memimpin pasukan mulai mengambil bambu.

Wironggo bahkan tidak siap saat punggungnya di tabrak sesuatu yang keras. Ia menjerit kencang. Rintihan kesakitan menyertainya. "Lancang!" Wage memperingati.

Hayam Wuruk yang melihat itu menghembuskan nafasnya merasa terganggu akibat teriakan yang jelek. Ia memutar wajahnya sembarang dan bertemu sepasang mata yang menatapnya. Seorang wanita disamping kirinya. Menatapnya dengan pandangan rumit. Jelas kalau ia terkejut dengan tatapan Hayam Wuruk, sehingga ia membulatkan matanya. Tanpa mengalihkan manik matanya dari Hayam Wuruk.

Hayam Wuruk mengalihkan perhatiannya dari sang permaisuri. Menatap Wironggo penuh amarah. "Kamu punya permohonan?" Tanya Hayam Wuruk.

"Ap-apa?" Wironggo mulai bergetar. Tangan yang mencengkram erat melonggar. Matanya turun dari kemarahan yang besar.

"Hadiah dariku. Permohan terakhir sebelum kepalamu menghilang." Ujar Hayam Wuruk.

Seketika sebuah palu bagai menghantam kepala belakang Wironggo. Ia hanya bisa membatu tanpa bisa bergerak.

Wironggo tersadar akan kelinglungannya. Ia maju dengan lututnya untuk meraih kaki Hayam Wuruk, namun tangannya ditahan sehingga ia hanya bisa menjerit memohon. "Aku tidak ingin mati! Aku tidak ingin! Tolong, aku bisa memberikan apa saja kecuali nyawaku."

"Benarkah?" Hayam Wuruk menarik senyum samping. Ia mengalihkan tatapannya ke orang-orang Adibaya.

"Bagaimana kalau aku meminta orang-orangmu? Aku butuh budak, dengan kekuatan mereka, maka, sempurna!"

Ucapan Hayam Wuruk membuat orang-orang yang cemas akan nasibnya memandang Hayam Wuruk dengan  ketakutan membara. Mereka langsung bersujud mengabaikan senjata yang ada di samping kepala mereka.

"Kami tidak ingin menjadi budak Sri Nata,"

"Ampuni kami,"

"Raja kami memang orang yang mengerikan, tapi kami tidak tahu apa-apa."

"Tolong ampuni kami."

"Raja bijak Sri Nata, ampuni kami."

"Kami hanya seorang bawahan yang tidak tahu apa-apa. Tolonglah ampuni kami."

"Ampuni kami."

Seruan orang-orang itu membuat Hayam Wuruk tertawa lebar. Tawa menggelora membuat orang-orang yang berbicara diam seketika.

*****
Sebenernya, Nama Raja dan gelar Raja itu ga bisa asal sebut atau di ucapkan orang-orang sih sebenernya. Tapi aku ngga mau ribet. Lagian kan cuma cerita fiksi. 

***
20 Juni 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now