93. Pavilliun Barat

553 66 17
                                    

Sesosok lelaki yang duduk di paviliun barat muncul dalam pandangan Sekar begitu dia tiba di sana.

Duduk membelakanginya, punggungnya begitu lebar berwarna kecoklatan. Bahunya lurus, tapi punya banyak tonjolan otot. Begitu dia menghela nafas, bahu itu turun dengan drastis.

Sekar menyuruh Karti dan Darmi yang ada di belakangnya pergi dengan diam-diam. Lalu ia berjalan mendekatinya.

Ia tak perlu memelankan langkahnya, ia tak perlu mengendap-endap. Karena Sekar tahu, Gajah Mada tahu walau dia tak bersuara.

Gajah Mada menoleh, lalu tersenyum. "Duduklah," Dia menepuk tempat di sebelahnya.

"Kurasa tempat ini sangat berkesan bagi kita." Gajah Mada berusaha membangkitkan memori Sekar ke saat pertama kali mereka bertemu.

Sekar mengangguk. Ia tersenyum memandang Gajah Mada.

"Aku tidak lupa." Katanya.

"Aku ingat, saat pertama kali melihat Kang Mas dalam rombongan," Ia menoleh ke arah Gajah Mada lagi, lalu tertawa kecil. "Kang Mas seperti manusia tanpa jiwa. Kosong. Walau begitu, Kang Maslah yang paling menarik perhatian semua orang." Ucapnya dengan pandangan mengenang.

Gajah Mada menyergit. "Saat rombonganku tiba?" Tanya Gajah Mada.

"Ya."

"Aku tidak melihatmu saat itu."

Sekar kembali tersenyum. "Karena aku tidak berada di pelataran pendopo keraton, aku ada di halaman bersama para warga." Jelasnya.

Gajah Mada mengangguk. Ia tersenyum kecil dan mencoba untuk menghentikan senyumnya saat ingin bicara, tetapi ia tidak bisa. Senyumnya susah untuk di hilangkan saat mengenang kenangannya dulu bersama Sekar.

Saat senyumnya sudah dapat sedikit ia kendalikan, barulah Gajah Mada dapat berbicara. "Aku bahkan tidak tahu kau seorang putri saat itu."

"Dan akhirnya Kang Mas mengetahuinya, bukan?"

"Ya." Gajah Mada mengangguk. "Tapi setelah beberapa hari setelah kita bertemu."

Gajah Mada kembali melanjutkan, "Awalnya itu hanyalah sebuah kebetulan. Tapi kebetulan apa yang terjadi terus-menerus? Itu takdir."

Sekar mengerutkan alisnya, "Kebetulan apa? Kang Mas yang selalu datang ke sini. Lagi pula, sejak kapan Kang Mas mempercayai takdir?"

Gajah Mada tersenyum malu, kemudian melambaikan tangannya mengisyaratkan abaikan saja itu.

"Tapi satu yang di tugu batu itu benar-benar kebetulan." Ucapnya meyakinkan Sekar.

"Baiklah, baiklah!"

Gajah Mada tersenyum senang akhirnya.

"Kang Mas tahu kalau tempat ini adalah tempatku biasa berdiam diri?" Tanya Sekar.

"Benarkah?" Tanggapnya.

"Yah. Karena itulah setiap kali Kang Mas datang ke sini, aku selalu ada di sini. Bukankah Kang Mas tidak pernah melihat orang lain datang ke sini? Karena ini tempatku."

Benar, setiap Gajah Mada datang ke paviliun ini, tidak ada orang lain yang akan datang. Sekali duakali, itu adalah pelayan Sekar yang tidak pernah Gajah Mada perhatikan.

Keraguan ada tentu saja, tapi Gajah Mada sudah gelap akan rasa ketertarikan pada seorang gadis muda yang memikatnya.

Orang yang saat itu membangun sebuah karakter hebat dalam matanya. Pada saat itu, Gajah Mada tidak memperhatikan ini.

"Tapi bukan itu yang ingin aku kenang bersamamu." Ucap Gajah Mada lembut.

Sekar tertawa senang. Ia menutupi mulutnya dengan kedua tangan dan menggoda. "Lalu apa?"

"Yah... Hal-hal seperti saat aku melihatmu pertama kalinya, saat aku melihat senyummu dari balik bibir tipis dan gigi miji timunmu, saat pemandangan ini tidak lagi menarik dari pada seseorang gadis yang melukis dengan sungguh-sungguh."

Gajah Mada tersenyum penuh dengan perasaan.

"Di sini adalah tempat pertama kita bertemu. Tempat yang sangat berarti. Tempat awal mula sebuah cinta dan iring-iringannya bersemi. Baik duka maupun suka. Hal buruk atau baik. Entah itu menyakitkan atau menyenangkan."

"Kang Mas benar. Aku hanya bercanda saja." Sekar menimpali.

Ia kemudian teringat sesuatu. Ia mengerutkan alisnya dan membuka mulutnya sedikit. Kepalanya meneleng ke sebelah kiri.

Ia bertanya, "Apa yang Kang Mas Bagas bicarakan kemarin?"

Gajah Mada menoleh. Ia berpikir sejenak sampai akhirnya membuka suara. "Surat yang kau tulis tidak sampai padanya. Ia hanya mendapatkan kain dan kabar bahwa kau baik-baik saja."

Sekar membolakan matanya. Mulutnya tertarik ke bawah dan otaknya tak bisa berjalan dengan dengan benar. Ia tak terlalu paham dengan apa yang Gajah Mada katakan. "Bagaimana mungkin?"

Ia menyentuh telinganya dengan jari, apakah dia salah dengar. Tapi Gajah Mada mengangguk. Ia tersenyum lembut kepada Sekar. "Aku akan mencari tahu."

"Itulah mengapa, kita tidak mendapat bala bantuan? Aku pikir itu karena Kang Mas menyetop mereka sebelum mereka datang. Aku pikir karena perang tidak terjadi, mereka tidak datang karena itu."

Gajah Mada menggenggam tangan Sekar. Kemudian, ia mengelusnya dengan sayang. Ia juga mengusap punggung Sekar berkata, "Sudah. Jangan dipikirkan. Kau tidak boleh memikirkan hal buruk. Ingat, kau tidak sendiri. Santailah, aku akan mencari tahu. Aku akan meminta Dwi Prapaja menyelidikinya saat kita pulang."

Kata pulang seakan menyentak Sekar kepada kenyataan. Benar, ini bukan lagi rumahnya. Rumahnya ada di Majapahit. Ia hanya berkunjung disini. Dan dalam sebuah kunjungan, ada saatnya dia harus pulang.

Ini bahkan baru dua hari, tapi Sekar sudah lupa akan apa yang ada di Majapahit.

Disini ia punya banyak orang yang akan berinteraksi dengannya. Punya orang tua yang menyayanginya, punya banyak teman bicara.

Tapi di Majapahit, ia hany bersama Karti saat Gajah Mada tidak ada. Ia tidak mempunyai siapa-siapa. Ia tidak butuh pelayan lain, tapi bukan berarti ia tidak ingin merasa hangat seperti saat ia ada di kerajaannya sendiri.

Di Majapahit, apalagi setelah kejadian itu. Ia merasa seakan orang-orang menganggapnya pengkhianat walau mereka hormat dan menunduk padanya.

"Ada apa?" Tanya Gajah Mada melihat raut wajah Sekar yang berbeda.

Sekar menggeleng. Ia tidak mau membuat Gajah Mada salah sangka atau berpikir dia tidak suka tinggal di Majapahit bersamanya, ia berkata, "Aku rasa Kang Mas benar. Aku harusnya tidak memikirkan hal buruk. Itu tidak baik untukku dan anak ini."

"Mari kita hanya fokus kepada anak ini, dan tidak memikirkan apapun yang akan membuat semuanya buruk." Kata Gajah Mada.

"Baiklah.. Tapi aku juga ingin, Kang Mas tidak pernah menyembunyikan apapun kepadaku. Apa yang Kang Mas pikirkan, katakanlah padaku. Biarkan aku tahu apa yang ada di dalam hatimu dan pikiranmu."

Ia melanjutkan, "Garwa iku sigaring nyawa. Balung rusuke bojo. Aku lebih suka mati bersamamu, dari pada hidup sendirian tanpamu."

(Garwa [istri]. Sigaring nyawa [belahan jiwa]. Tulang rusuk suami)

Gajah Mada tersenyum. Di balik rindangnya pohon yang ada di atas mereka, ada bayangan daun yang membuat wajah Sekar tidak terlihat halus. Tapi setiap ukiran wajah dan senyum itu terasa indah. Terasa memabukkan sampai taraf yang tertinggi. Bayangan daun yang terjiplak karena matahari membuatnya semakin indah.

***
2 Januari 2023.

Ga kerasa udah 2023 aja. Padahal nulis ini dari 2021.

GAJAH MADA ; Megat RosoOnde histórias criam vida. Descubra agora