80. Sudut pandang

455 79 7
                                    

Seperti yang telah direncanakan Sekar, hari ini adalah hari seharusnya ia berkunjung ke pondok Sarah. Jalanan masih sangat petang di pagi buta, Sekar harus menunggu sedikit lebih siang untuk pergi ke sana.

“Kau akan pergi?” tanya Gajah Mada melihat Sekar yang bersiap di pagi buta. Dirinya yang terbiasa melihat sekar masih di ranjang saat ia bangun merasa terganggu saat dilihatnya Sekar yang tengah bersiap entah akan kemana.

“Tadinya hanya kunjungan seorang kenalan. Tapi rasanya masih terlalu petang untuk pergi. Aku akan menunggu sebentar lagi.” Jawabnya.

Gajah Mada mendengus. “Siapa yang kau maksud kenalan?” tanyanya.

Sekar tertawa kecil. Ia menatap mata Gajah Mada sekian detik, lalu ia mengalihkan perhatiannya ke lain arah. “Hanya kenalan. Bukan sesuatu yang penting, Kang Mas. Aku tidak akan melakukan apapun.” katanya.

Memang tidak akan pernah. Sekar tidak akan melakukan apapun di belakang Gajah Mada karena seberapun jarak yang ia tempuh, entah melakukan sesuatu baik atau buruk, hanya sepele atau penting pun, Gajah Mada pasti tahu. Bukannya merasa curiga atau bagaimana, Sekar hanya merasa Gajah Mada tahu semua yang ia lakukan.

Orang bilang, namanya kebatinan. Ilmu kebatinan yang mungkin tidak ada. Atau mungkin ada. Tergantung siapa yang ingin mempercayainya. Tapi Sekar memilih untuk mempercainya. Bagaimanapun, semua yang ia rasakan bukan hanya ilusi saja. lebih dari itu, ia tahu sesuatu memang ada yang semu dan nyata.

Pernahkah kalian merasakan suatu perasaan seperti Sekar? sulit untuk mengatakannya, tapi perasaan seperti…

“Seperti….”

“Hmm, Seperti apa?” tanya Gajah Mada membuat Sekar terbangun dari lamunannya.

Karena terlalu dalam berpikir, Sekar tidak tahu kalau ia mengucapkannya. Wajah penasaran Gajah Mada rasanya membuat Sekar bingung sesaaat, sebelum ia tersenyum dan mengatakan, “Tidak apa-apa.” katanya.

“Apa kau sedang memikirkan sesuatu?” tanya Gajah Mada memicingkan matanya.

Sekar menyergit. Ia memiringkan kepala ke samping menjadi setengah seperempat. “Apa yang sedang aku pikirkan?” tanyanya kembali. Berusaha mengonfirmasi kalau ia tidak memikirkan apapun.

“Sudahlah. Kemari!” perintah Gajah Mada mengisyaratkan tangannya kepada Sekar. memintanya datang. Senyum mengembang diantara kedua bibirnya. Sudut mata yang tertarik tidak membenamkan mata itu, tapi membuat gumpalan kecil yang membuatnya lebih ramah.

Sekar melangkahkan kakinya ke arah Gajah Mada seperti yang dia perintahkan. Kaki kecil yang terlihat jenjang itu berhenti tepat di depan Gajah Mada yang masih duduk di ranjangnya. "Hm?"

Satu tarikan pada tangannya menghempaskan tubuhnya yang tidak bisa di katakan kecil terjerembab ke pelukan Gajah Mada. Sebuah kesengajaan yang membuat Sekar merona.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Sekar.

Duduk dipangkuan Gajah Mada ternyata tidak sekasar duduk diatas batu. Tubuhnya memang keras, tapi panas tubuhnya membawa kenyamanan yang tidak bisa ditukarkan oleh apapun itu. Bukannya keras dan dingin seperti batu.

"Kau mau menghindar huh?" Tanya Gajah Mada mengecup pipi Sekar ringan. Kecup kupu-kupu yang cepat. Tapi mampu membuat hati Sekar tergelitik.

Sekar terkekeh. Ia membenarkan rambutnya yang diusak berlebihan oleh Gajah Mada. "Aku pergi mengunjungi teman.." Katanya.

Gajah Mada memberikan kecupan cepat untuk terakhir kalinya, dan mengelus pipi Sekar. "Baiklah, jangan terlalu lama." Katanya. "Sebaiknya aku mandi sekarang.." Lanjutnya.

Sekar mengangguk. Ia berdiri dari pangkuan Gajah Mada dan mempersilakannya untuk mandi. Sementara itu, ia menyiapkan sarapan dan menunggu matahari lebih tinggi.

Saat matahari sudah terlihat, Sekar yang sudah mantap untuk pergi pun langsung memulai perjalanannya. Ia menggunakan kerudung berwarna coklat. Saat melihat Karti yang menunggu di depan pintu, ia tersenyum, "Kau jaga rumah ini. Tidak usah mengikutiku." Ucapnya.

"Tapi.."

"Aku berangkat. Jika Kang Mas pulang lebih awal dariku, kau boleh langsung pulang." Sambarnya cepat.

Karti tidak lagi berusaha mengajak Sekar negosiasi tentang menemaninya lagi. Dengan pasrah, ia mengangguk. Membiarkan Sekar meninggalkannya yang masih melihatinya dari di depan pintu.

Sekar terus berjalan tanpa melihat ke belakang lagi. Terakhir kali, karena ia pergi bersama Karti, suasana perjalanan cukup menyenangkan. Tapi saat sendirian, rasanya terlalu sepi.

Bunyi burung yang masih berkicau segar ditambah dengan tetesan air yang menetes dari daun ke daun sampai ke tanah.

Eh? Sekar rasa kemarin malam tidaklah hujan. Tapi mengapa disini basah?

"Gethuk, cah ayu?" Seorang pria paruh baya melambaikan tangannya saat ia melewatinya. Sekar hanya bisa menggeleng dan menolaknya dengan ramah. Tak lupa menutup sebagian wajahnya.

Walau mungkin orang-orang ini tidak akan mengenalinya, Sekar tidak seyakin itu, jadi ia harus waspada.

Untunglah, pasar itu tidak terlalu ramai. Jarak pondok Sarah dari pasar juga tidak jauh. Saat matanya sudah melihat pondok, senyum langsung mengembang di mulutnya. Akhirnya sampai juga.

"Hah, kau?" Tanya Sarah saat melihat seseorang berdiri di depan pondoknya tanpa memanggilnya ataupun masuk ke dalam pondoknya.

"Apa aku menganggu?" Tanya Sekar ringan. Lalu duduk di anyaman bambu di pelataran pondok.

"Kau bertanya tapi kau bertingkah seolah kau tidak menyesal." Balas Sarah.

Sekar tertawa. Ia menjawab, "Aku memang tidak menyesal."

Sarah mengikuti Sekar duduk. Ia menaikkan satu kakinya dengan nyaman dan bertanya mengejek, "Apa ini? Seorang permaisuri datang ke gubukku?"

"Aku bukan permaisuri!" Jawab Sekar tegas.

Sarah tertawa. Ia menepuk kakinya dengan gelak tawa yang semakin renyah.

"Siapa yang kau bodohi! Walau aku duduk diam di dalam sini pun, aku tahu kalau kau sudah menggeser tahta. Ternyata kau bukan hanya pintar, tapi licik, huh?" Katanya.

Sekar terdiam. Tidak menjawab atau menggeleng. Ia terus menatap kosong ke arah mata Sarah. Membuat Sarah salah tingkah dan menyadari kesalahan yang ia buat.

"Aku tidak bermaksud begitu.." Katanya.

Sekar masih diam. Tapi ia membuang wajahnya jauh ke pemandangan di depannya.

"Hei.. Aku sedang memujimu. Bukan hal yang buruk menggeser tahta." Ujarnya kembali mencoba membuat Sekar merasa terhibur.

"Aku kira, kau tidak akan menyalahkanku karena kau bukan bagian dari sini. Tapi rupanya kau sama saja." Jawab Sekar.

Sarah menyergit. "Apa maksudmu sama saja. Aku tidak menyalahkanmu. Apa yang kau lakukan tidak ada hubungannya denganku."

Sekar kembali diam.

"Entah raja berganti, pemerintahan hancur, atau penyerangan, nasibku tidak berubah. Apa yang harus aku salahkan? Kau mungkin melakukan sesuatu yang bisa dianggap salah. Tapi kesalahan tergantung sebab dan proses. Kalau aku boleh jujur, jika itu kau, bukankah lebih baik untukku karena aku mengenalmu." Katanya tersenyum. "Itupun jika kau menganggapku." Ucapnya lagi.

Sekar tertawa. "Jika kau bersikap baik padaku, aku akan memikirkannya lagi." Candanya membuat kedua orang itu tertawa.

Benar bukan, sudut pandang yang berbeda selalu membuat rasa yang berbeda. Dan perbedaan itu menyenangkan.

"Ngomong-ngomong, dimana bocah itu?" Tanya Sarah.

***
13 Oktober 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now