65. Membujuk

592 100 8
                                    

Dwi Prapaja pulang pada sore hari. Ia datang dengan kuda dan dua orang lain yang juga menunggang kuda. Melihat Sekar menunggunya, Ia menyergit. Menyuruh dua orang lainya pergi setelah meletakkan barang bawaan mereka di tanah.

Dwi Prapaja berjalan ke teras rumahnya sendiri menghampiri Sekar. Ingin bertanya apa yang Sekar lakukan di depan rumahnya. Tapi sebelum itu, Sekar yang berlari ke arahnya berteriak dan menunjuk wajahnya. "Dimana Kang Mas?!" Tanyanya.

Dwi Prapaja terkejut dengan sikap Sekar. Pertanyaan yang sudah ia tebak tidak semengejutkan tindakan Sekar yang jauh dari kata sopan. Sekar datang ke sini, menunggunya hanya untuk menanyakan hal yang sama untuk kedua kalinya?

Bukankah Sekar pasti tahu kalau itu hanya sia-sia dan tidak ada gunanya? Jika Sekar menanyakan hal ini kepada dirinya satu kali, dua kali, atau bahkan puluhan kali, Jawabannya tidak akan berubah. "Mbakyu tidak perlu tahu." Jawabnya.

Sekar naik pitam. Alih-alih mengatakan yang sebenarnya, Dwi Parapaja malah menutupinya seolah Sekar mudah di bodohi.

Ia berteriak, "Jangan berani-beraninya kau menutupi apapun padaku! Aku sudah tahu! Aku sudah tahu semuanya." Ucap Sekar menunjukan telunjuknya ke wajahnya lagi.

Dwi Prapaja geram. Apa yang Sekar tahu? Sampai mana dia tahu? Dia memang istri dari kakaknya, tapi melihat bagaimana ia memperlakukannya seperti ini, Dwi Prapaja hampir marah dan tidak bisa menahan emosinya.

Lagi pula, jika Sekar tahu semuanya, ia tidak akan berlaku seperti ini. Jadi, dengan kekuatan yang sekuat tenaga ia tahan, tangannya menampik tangan Sekar yang menunjuknya dan berkata, "Mbakyu, ingat! Tidak semua orang ada untuk kau perintah. Kau adalah orang baru bagiku. Jika bukan karena Kang Mas Gajah Mada, kita bahkan tidak akan saling kenal. Jadi, jangan melewati batas!" Ucapnya dengan redaman suara akibat menahan kedua giginya agar tidak terbuka lebar.

Sekar tersadar. Binar emosi yang tadinya membara membuat matanya merah, kini redup. Ia menatap tanah dan mengingat perlakuannya yang tidak sopan. Sulit untuk meminta maaf, namun ia berusaha mengucapkannya. "Maaf." Ujar Sekar.

Setelah melewati semua emosi yang rumit dan menguras tenaga, semakin mudah seseorang untuk menjadi pemarah dan sensitif. Sekar tahu itu bukan alasan yang layak untuk di jadikan alasan. Ia hanya sedang menghibur diri. Menghibur kalau ia tidak salah sepenuhnya. Karena dalam hatinya, ia tahu itu salahnya.

Dwi Prapaja mengangguk. Sudah biasa bagi dia diteriaki karena ia hanya seorang bawahan. Itu pekerjaannya. Tapi ia tidak terima di perlakukan seperti anjing oleh Sekar. Dia adalah orang baru. Dan dia juga seorang perempuan. Dimana harga diri seorang lelaki untuk di perlakukan seperti itu oleh perempuan. Terlebih lagi, karena ia adalah istri dari kakaknya, ia sudah memperlakukannya seperti orang dekat. Tapi tampaknya, Sekar tidak berpikir demikian dan tidak menghargainya. Apa dia pikir Dwi Prapaja hanyalah orang rendahan?

"Aku hanya sedang marah. Bagaimana semua orang menyembunyikan hal yang seharusnya ku tahu. Aku sudah tahu kalau Ayahku datang saat aku pergi ke Adibaya. Tapi alih-alih memberitahuku, Kang Mas malah pergi tanpa pernah mengabariku. Dan kau, memilih menyembunyikan Kang Mas dengan rapat...." Sekar menjeda ucapnnya. Melihat ke atas dimana Dwi Prapaja menatapnya.

"Kau tahu aku tidak bermaksud begitu." Ucapnya.

Dwi Prapaja menghela nafas kasar. Kesimpulanya, bukankah dia hanya sebuah pelampiasan? Apa dia benda?

"Aku minta maaf dengan perlakuan kasarku tadi." Sekar kembali mengulangi permintaan maafnya.

Dwi Prapaja diam sesaat. "Ini mungkin akan memicu kemarahan Kang Mas." Ucap Dwi Prapaja.

Sekar menggeleng brutal. Menggerakkan tangannya kanan dan kiri. "Itu adalah urusanku. Aku yang akan menanggung kemarahannya. Hanya beritahu aku dimana dia berada." Sekar mencoba meyakinkan.

Dwi Prapaja memandang tanah. Lalu, setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia mengangguk. "Baiklah." Jawabnya.

Ia naik ke atas kuda dan memandang Sekar. Tapi matanya menangkap seseorang yang masih berada di latar terasnya. Dwi tahu siapa dia. Dia adalah pelayan Sekar. Karena tidak mungkin membawa dua orang dan kemungkinan bahaya kebocoran rencana, ia berkata, "Lebih baik dia kembali. Aku tidak bisa membawa dua orang. Lagipula, jangan biarkan rumah Kang Mas kosong. Orang-orang akan curiga nanti." Dwi Prapaja berujar.

Saat Sekar melirik ke belakang, Karti tengah memandangnya dengan raut penasaran dan gigih menunggu. Sekar mengangguk. Menuruti kata-kata Dwi Prapaja.

"Karti, kemarilah!" Ucapnya kepada Karti.

Karti berlari menuju ke Sekar. Melangkahkan kakinya dan berhenti di depan Sekar. "Ada apa ndoro?"

"Kembalilah sendiri. Langit masih cerah, tidak bisa menjamin apakah langit akan tetap cerah, jadi lebih baik untukmu kembali sekarang. Oh, ya. Apakah kamu bisa tinggal di rumahku untuk satu malam ini?"

Karti berpikir. "Kakakku akan menjaga ibu. Jadi, aku bisa. Tapi kemana ndoro akan pergi?" Tanyanya.

Sekar melemparkan pandangannya ke sembarang arah. "Ehm.. Suatu tempat." Jawabnya.

Karti mengergi. Ia mengangguk. "Lalu aku akan kembali sekarang." Ucapnya. Setelah Sekar mengangguk, ia pergi dari tempat itu.

Melihat belakang Karti yang menjauh, Sekar melihat ke arah Dwi Prapaja. Siap untuk pergi ke tempat Gajah Mada.

"Apakah tidak apa-apa?" Tanya Sekar setelah Dwi Prapaja mengulurkan tangannya ke pada Sekar mengisyaratkan Sekar untuk naik.

"Tidak. Ini lebih daripada aku harus menanggung amarah Kang Mas Gajah Mada saat ia tahu aku membiarkan istrinya berjalan jauh. Jangan khawatir. Lingkungan ini sepi. Tidak ada yang tahu dirimu, mbakyu." Ucap Dwi Prapaja meyakinkan. Ia lebih memilih untuk menerima kemarahan Gajah Mada karena kecemburuan dari pada karena ia tidak memperlakukan istrinya secara tidak baik. Setidaknya, ia tahu itu tidak benar.

Sekar mengangguk. Walau bukan itu yang dia maksud, ia hanya bisa mengangguk dan tidak lagi berdebat dengan satu-satunya orang yang bisa membawanya kepada Gajah Mada. Jika Dwi Prapaja tersinggung dengan ucapannya, ia tidak akan bisa bertemu Gajah Mada dan menanyakan masalah ini. Ia hanya memastikan apa kuda itu kuat untuk menahan bobot dua orang. Bukannya memikirkan hal seperti yang dikatakan Dwi Prapaja. Karena di banding kuda milik Gajah Mada, itu terlalu kecil untuk disandingkan.

Sekar naik atas bantuan Dwi Prapaja dan mendarat di punggung kuda dengan baik di belakang punggung Dwi Prapaja.

Kuda melaju cukup cepat, tapi masih tidak terlalu cepat di banding kuda milik Gajah Mada.

Kali ini, angin tidak terlalu langsung mengenai wajahnya karena wajahnya terhalang punggung Dwi Prapaja. Ternyata posisi ini cukup baik. Lain kali, ia akan berkendara dengan posisi ini dengan Gajah Mada.

Ternyata memang tempat yang dituju sangat jauh. Bahkan hampir keluar dari wilayah pedesaan paling ujung.

Di sepanjang jalan, Sekar disuguhi pemandangan sawah yang sedang di bajak dengan Kerbau dan Gajah saat melalui pedesaan. Saat keluar dari pedesaan, ia di suguhi pemandangan pohon-pohon tinggi.

***
13 Agustus 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang