37. Trah Tumerah

816 136 13
                                    

Gajah Mada pergi dari kamar meninggalkan Sekar. Ia punya sesuatu yang harus ia lakukan. Sesuatu yang perlu ia cari tahu. Jadi dengan tergesa-gesa, Gajah Mada mencari keberadaan Hayam Wuruk.

Wajahnya yang tampan penuh kharisma terpancar kuat di sekeliling. Membuatnya tampak seperti seorang dewa yang turun dari bumi.

Dari jauh, dua wanita yang memperhatikan Gajah Mada dari pertama kali ia meninggalkan kamar menganga. Terpesona dengan aura kuat yang dimiliki Gajah Mada.

Kerajaan mereka punya banyak laki-laki dengan postur bagus, namun tidak ada dari mereka yang punya wajah setampan ini. Benar-benar berkah surga yang mengagumkan.

"Dia sangat tampan, kuat, dan pandai dalam seni bela diri. Akan sangat baik jika aku bisa memiliki bayi dengannya. Dia adalah kandidat yang terbaik." Salah satunya berbicara.

Dengan pakaian lebih pendek dari perempuan-perempuan lainya, ia menonjolkan kesan seksi dan cantik pada satu daya tarik. Sekian banyak lekuk tubuhnya, tidak ada yang kurang atau berlebihan. Sangat pas dipandang mata. Kenikmatan dunia yang sesungguhnya.

"Windu! Kau terlalu percaya diri. Lebih baik untuk meyakinkan ayahmu untuk mengeluarkanmu dari harem Wironggo dari pada memikirkan anak yang akan membahayakan dirimu sendiri."

"Cih, itu bisa aku lakukan nanti, ini adalah yang terpenting sebelum dia meninggalkan negri ini. Atau kau mengincarnya dan takut kalau tidak bisa menang dariku? Bukankah aku benar Rashmi?" Windu tersenyum meremehkan.

"Rai gedheg!" Maki Rashmi. Kemudian ia pergi meninggalkan Windu yang masih saja mengintai Gajah Mada.

(Ngga tahu malu!)

Disisi lain, Gajah Mada berhenti tatkala seseorang memanggilnya.

"Kang!"

Gajah Mada menoleh. Mendapati Dwi Prapaja yang berdiri di persimpangan lorong yang tak jauh darinya. Berdiri sendirian dengan wajah merah padam.

Setiap kali Gajah Mada melihat Dwi, ia selalu terbayang bagaimana Sekar membelanya di depan semua orang malam itu. Ia tidak marah dengan orang lain yang menyalahkannya. Karena anggapan mereka tidak penting untuknya. Namun saat melihat bagaimana Sekar membelanya, ia malah bersyukur dengan orang-orang ini, termasuk Dwi Prapaja. Berkatnya, ia bisa melihat sisi lain Sekar yang ternyata peduli dengannya.

Dwi Prapaja mendekat. Dengan langkah lunglai, akhirnya ia berada tepat di depannya.

"Kemana panjenengan akan pergi? Kalau bisa, tidak usahlah berjalan sendirian kalau tidak ingin dirayu setan." Ucap Dwi Prapaja sembari mengusap wajahnya yang kuyu.

Gajah Mada menyergit mendengar itu. "Apa maksudmu?"

Dwi Prapaja menjawab dengan sedikit berkeluh kesah. "Saya baru saja di lecehkan seorang wanita! Kang Mas. Mereka hampir saja merenggut kesucian saya." Ucapnya nelangsa.

Dwi Prapaja masih teringat, bagaimana dua orang perempuan mencegatnya. Membawanya ke sebuah ruangan dengan tipu daya mereka dan menciumnya dengan paksa. Kalau saja ia bukan laki-laki yang pastinya lebih kuat dari mereka, entah apa yang akan terjadi padanya. Untung saja, ia laki-laki sehingga mudah baginya untuk kabur. Kalau tidak, pasti kesuciannya akan mereka ambil saat itu. Yah.. Walau kesucian seorang laki-laki tidak ada gunanya, tidak mungkin ia melepaskannya hanya untuk wanita seperti itu. Ia bukan tipe orang yang akan membiarkan dirinya menjadi pemuas nafsu orang lain.

Gajah Mada menaikkan alisnya. "Sungguh?" Tanyanya dengan geli.

Tidak ada sepanjang sejarah, seorang laki-laki menjadi korban pelecehan wanita. Iya, kalau si laki-laki masih berumur dini. Bukan seorang laki-laki matang seperti dia.

"Benar," Keluh Dwi Prapaja.

Di sela-sela percakapannya, Gajah Mada merasa kalau ada yang memperhatikan mereka. Sepasang mata yang selalu memperhatikan gerak-geriknya. Di duga, orang itu memperhatikannya dari jauh karena tidak mungkin ia tidak sadar jika orang yang memperhatikannya dalam jarak dekat.

Di tolehkannya kepala kanan dan kiri. Mengitari seluruh tempat yang sampai dijangkau mata. Tapi tidak ada. Auranya juga hilang. Sepertinya orang itu menghilang saat ia mulai menyadarinya.

"Kang Mas!" Panggilan Dwi Prapaja membuatnya sadar kembali dari lamunannya.

Tidak ingin menunda-nunda hal yang ingin ia cari tahu, Gajah Mada meninggalkan Dwi Prapaja tanpa sepatah katapun menuju ke tempat peristirahatan Hayan Wuruk.

"Ya! Biarkan aku sendiri disini menunggu serangan kenikmatan." Gumam Dwi Prapaja melihat Gajah Mada pergi dari hadapannya.

Gajah Mada berdiri di depan kamar Hayam Wuruk. Menimbang masuk atau tidak. Sebelum ia memutuskan untuk masuk, dua penjaga yang berjaga di depan kamar Hayam Wuruk memberitahu, "Pengapunten Mahapatih, kawula wicara. Prabu Hayam Wuruk mboten teng ndalem." Ujarnya.

(Mohon maaf Mahapatih, saya berbicara. Prabu Hayam Wuruk tidak ada di dalam.)

Hayam Wuruk tidak ada di dalam? Lalu dimana dia berada?

"Dimana beliau berada?" Tanya Gajah Mada.

"Menjawab, Prabu Hayam Wuruk sedang berada di pavilun depan."

Tanpa menjawab lagi, Gajah Mada meninggalkan tempat itu dan menuju ke paviliun depan yang mereka maksud.

Pada dasarnya, setiap kerajaan punya tata letak yang sama. Walau tidak benar-benar sama, sususan tempan kerajaan memang pada dasarnya satu.  Jadi dengan mudah Gajah Mada bisa menemukan tempat itu.

Disana, tidak ada orang lain kecuali Hayam Wuruk. Posisi Hayam Wuruk memunggungi Gajah Mada, sehingga ia tidak bisa melihat Gajah Mada yang mengamatinya.

Di bawah tatapan Gajah Mada, ia melihat bagaimana Hayam Wuruk menulis sesuatu di kertas. Kertas itu kecil, kemungkinan tidak banyak yang bisa di tulis dalam kertas itu. Tapi itu mencurigakan.

Setelah Hayam Wuruk menggulung kertas itu, ia mengikatnya dan mengikatnya lagi ke burung merpati yang ada di depannya. Ia menerbangkan merpati itu dengan satu tangan. Tangan lainya ia simpan di belakang badannya. Menggenggam kuas.

Merpati yang ia terbangkan terbang ke barat. Meninggalkan Hayam Wuruk yang mengangguk samar. Tidak bisa Gajah Mada lihat bagaimana ekspresi Hayam Wuruk karena ia membelakanginya.

Gajah Mada menyergit. Ia melangkahkan kakinya ke depan, namun setelah itu menariknya lagi. Ia berbalik dan melangkah ke arah sebaliknya.

Dalam langkahnya, ia masih memikirkan yang dilihatnya tadi. Apa yang ingin Hayam Wuruk lakukan sebenarnya.

Samar-samar ia bisa menebaknya, tapi ia tidak bisa membenarkan secara pasti. Karena selalu ada seribu argumen untuk satu rahasia. Ia hanya bisa menahannya dalam hati yang diam.

Senyuman kecut melintasi mulut Gajah Mada. Sejak dulu, Hayam Wuruk selalu percaya padanya. Menjadikannya tangan kanan yang selalu ia hargai.

Tapi melihat bagaimana Hayam Wuruk bahkan tidak berdiskusi atau meminta pendapatkannya kali ini, ia merasa sedikit kecewa. Setelah kejadian itu, Hayam Wuruk sama sekali tidak pernah memaafkannya.

Gajah Mada tidak menyalahkan Hayam Wuruk, tapi ia hanya merasa tidak berharga setiap kali Hayam Wuruk melakukan itu. Seakan-akan ia tidak ada lagi di kerajaan ini. Tugasnya sebagai Mahapatih menipis. Ia tidak mempunyai tempat lagi di kerajaannya.


****

Aku paling suka pas dipanggil Thor. Berasa kuat walau ngga punya palu.

***
20 Mei 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now