95. Bagas

432 59 19
                                    

Setelah acara makan selesai, mereka pergi masing-masing ke urusannya sendiri.

Bagas pergi menyelesaikan pekerjaannya, Sundra pergi ke acara pemberkatan jiwa, dan Sekar sendiri akhirnya di tarik oleh sang ibu ke taman pribadinya.

Di temani cangkir teh dan kue kering dari ubi, mereka saling mengobrol di bawah payung matahari yang cerah.

Pepohonan rindang namun tidak membuat sumpek apalagi seram.

Dua kolam berjajar di pinggir pendopo sangat cantik. Selain paviliun barat, tempat ini adalah tempat favoritnya yang lain. Biasanya, dia akan datang ke sini untuk sekedar mengobrol dengan sang ibu atau menunggu sang ibu dari urusan-urusannya.

Mata sang ibu melirik sudut bibir Sekar yang terangkat kencang. "Masih menyukai tempat ini?" Tanyanya.

"Bagaimana aku tidak suka, ibu? Ini selalu menjadi tempat favoritku." Jawab Sekar melirik dan tersenyum.

"Aih? Bukankah Majapahit punya lebih banyak tempat indah di bandingkan ini?" Sang ibu berusaha mengorek informasi.

"Mm, Mm!" Sekar menggeleng dan menggoyangkan jari telunjuknya. Dia kemudian berkata dengan tulus, "Tidak akan pernah menggantikan tempat ini dan Paviliun baratku. Kenangan yang tersimpan lebih berarti dari pada keindahan emas lainya."

Sang ibu tersenyum dan mengangguk membenarkan ucapan Sekar. "Benar. Kenangan dan keindahan adalah dua hal yang berbeda."

"Ya, jangan pernah membandingkan apel dengan jeruk." Sekar menjawabnya.

Mereka saling tertawa dan tertawa. Sang ibu yang melihat senyum Sekar membuat senyum bahagia lainya. Sedangkan Sekar yang melihat senyum ibunya, mau tidak mau hatinya menghangat dan membuat senyumnya lebih tulus lagi.

Sekar menjeda suara tawanya. Ia kemudian teringat hal yang mereka bicarakan saat makan.

"Oh ya, ibu. Kang Mas Bagas akan menikah dengan anak dari Ganjar Praowojo? Bagaimana mungkin? Apa mereka sudah saling kenal sebelumnya? Kenapa aku tidak tahu kalau mereka dekat?" Tanya Sekar membombardir sang ibu dengan pertanyaan.

Sang ibu menunduk. Helaan nafasnya sirat akan kekecewaan yang tak berarti. Ia kemudian menatap Sekar dengan pandangan putus asa.

"Sebenarnya ibu tidak tahu, Sekar. Ibu sendiri tidak pernah melihat anak Ganjar Prawojo datang ke keraton, tapi sebuah kejadian..." Sang ibu memotong kalimatnya.

Sekar mengerutkan alisnya dalam-dalam. Dia kemudian semakin penasaran dan bertanya dengan mendesak sang ibu. "Kejadian? Kejadian apa ibu?"

Seakan mengatakan hal yang seharusnya tidak dikatakan, sang ibu menunduk. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Bukan apa-apa." Katanya.

Tapi Sekar tidak percaya. Lagi pula, siapa yang akan percaya dengan kebohongan yang mencolok itu?

Dia menggenggam tangan ibundanya, lalu dengan lembut membujuknya agar mengatakannya. "Ibunda.. Tolong katakan padaku, apa yang terjadi?" Ia mengelus tangan yang di genggamnya.

"Itu..." Terbujuk sikap lembut Sekar, akhirnya sang ibu mau berbicara. "Beberapa hari lalu seorang dayang mengatakan kepadaku bahwa Ganjar Prawojo datang untuk secara pribadi menemui Bagas. Biasanya kau tahu bukan, kalaupun dia datang ke istana pasti hanya untuk urusan dagang dan tidak pernah terlalu ribut seperti itu. Tapi saat itu, dia benar-benar membuat keributan. Tanpa tata krama, dia menemui Bagas dengan lancang. Di hadapan semua orang yang ada di sana, dia berkoar-koar bahwa Bagas telah menghamili anaknya." Sang ibu berhenti disini.

Tangan yang di genggam Sekar terlepas. Dia menaruh kedua telapak tangannya di wajahnya untuk menutupi merahnya bola mata dan genangan air yang bergetar.

Sekar mencengkram erat kain jariknya. Apa dia tidak salah dengar? Apa hanya dia yang mendengarnya? Bahwa Kang Masnya, Bagas Trisuseno, telah menghamili seorang gadis?

Ini tidak bisa di percaya!

Dari sekian ketidakmungkinan asumsi, ini adalah yang terparah yang tidak akan pernah Sekar percayai.

Bayangkan saja! Bagas, seorang Resi dalam selimut pemuda gigih, menodai seorang perempuan tanpa adanya perkawinan?

Tidak.. Tidak.. Sekar rasa ada kesalahpahaman disini.

Seakan ini hanya skenario yang di buat orang tanpa melihat fakta.

"Tidak mungkin! Aku tahu bagaimana Kang Mas Bagas.  Tidak mungkin dia melakukan hal bejat seperti itu. Ibu.. Janganlah mempercayai hal yang orang lain katakan secara semerta-merta. Dari pada orang lain, kita telah mengenal Kang Mas jauh dari padanya. Kita tahu bagaimana karakternya!" Sekar berkata.

Sang ibu tidak bisa menahan air matanya..

"Aku memang tidak mempercayainya. Anakku tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti itu. Tapi apa ada? Setelah di rendahkan dan dituduh dengan hal yang begitu menjijikan, Bagas tidak pernah menampiknya dengan benar. Sama sekali tidak menyangkalnya, dia hanya diam. Saat aku menanyainya, dia hanya diam dan meminta maaf. Lalu jika seperti itu, bukankah dia secara tak langsung menyetujui apa yang orang tuduhkan padanya? Jika dia memang tidak melakukannya, kenapa dia tidak menyangkal?" Tanya sang ibu putus asa.

Sekar kembali mengingat kenangan-kenangannya bersama Agas dahulu. Saat mereka masih bermain bersama hingga akhirnya Sekar pergi dari sini dengan menyandang status istri.

Dari saat dulu ataupun sekarang, Bagas jelas-jelas bukan seseorang seperti itu. Bagaimana hal ini bisa terjadi.

Kalaupun memang benar Bagas dan anak Ganjar Prawojo itu menjalin hubungan, kenapa tidak ada yang tahu? Bagas bukan orang yang gemar menyembunyikan hal yang sudah mantap. Ketimbang diam-diam menjalin hubungan hanya membuat beberapa anggapan tak mengenakkan, dia lebih suka dengan hubungan normal dan jalinan pengikat seperti pertunangan.

Dan jikapun pemikiranya salah sampai tahap ini, Bagas yang dia kenal harusnya langsung secara berani bertanggung jawab sedini mungkin. Bukannya mempermalukannya dengan sampai membuat seorang yang notebenenya rakyat melabraknya.

Untuk saat ini, Sekar jadi penasaran dengan sosok seperti apa Puspa Ratih itu?

"Ibu.. Jangan menangis. Aku yakin Kang Mas punya satu hal yang tidak kita ketahui. Jika dia tidak mengatakannya, bukan berarti itu hal buruk. Jika dia memilih untuk bungkam, pasti ada sesuatu. Aku yakin dengannya, dan aku harap, kalian tidak menyalahkannya. Paling tidak sebelum semuanya jelas."

Sekar menarik dan memeluk sang ibu dengan mulut yang tak henti-henti menenangkannya.

"Jika ini hanya fitnah semata, semuanya sudah terlambat. Mereka akan menikah sebentar lagi. Aku bukannya mengatur dengan siapa Bagas akan menikah. Aku tidak pernah punya masalah dengan siapapun. Tapi yang membuatku merasa sungguh keberatan dengan semuanya, kenapa harga diri dan martabat anakku sama sekali tidak berarti? Mereka mempermalukan anakku." Katanya.

Bagas dalam keluarga ini bukan hanya sekedar 'anak angkat', 'sepupu', 'keponakan'. Tidak ada lagi kata-kata seperti itu. Dalam keluarga ini, Bagas adalah Bagas. Seorang anak dan seorang kakak.

Mereka, orang tuanya, menyayangi Bagas seperti mereka menyayangi Sekar sendiri.

***
24 Januari 2023

GAJAH MADA ; Megat RosoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang