86. Larangan

569 83 4
                                    

SEKAR POV

Suara gemuruh langit yang terlihat abu-abu terdengar begitu saja. Pada saat ini, mungkin hanya perlu menunggu hujan turun sampai langit benar-benar gelap sepenuhnya.

Ketika seorang prajurit berteriak maju menuju ke kereta kami, terdengar suara salam dan kaki yang terjatuh.

Gajah Mada tersenyum. Ia melonggarkan sabuk yang ia kenakan lalu menggosok rambutku dengan lembut.

Kebiasaan yang biasanya mendebarkan kini tidak semendebarkan itu lagi. Untuk waktu yang cukup, aku mulai terbiasa. Terbiasa dengan sikap Gajah Mada dan perlahan mulai merasa nyaman.

Sungguh, bukanya terlalu menyombongkan diri, tapi menurutku, sikap Gajah Mada padaku pantas membuatku merasa bahwa aku adalah ratu jagad.

Bagaimana mengatakannya? Aku hanya bisa merasakan. Tapi sangat sulit untuk mengatakan dengan lantang apa yang ku rasakan.

Kadang seperti bunga mekar, kadang seperti kupu-kupu yang berterbangan, atau kadang seperti badanmu terlindas sesuatu sampai kau tidak bisa merasakannya sama sekali. Kaku.

Bagaimana tidak? Favoritisme Gajah Mada yang berlebihan sangat cukup membuat dewa lengah. Apalagi manusia biasa sepertiku. Membuatku merasa bahwa akulah yang paling penting.

Seperti itulah. Hanya saja aku tidak bisa menjabarkannya dengan baik.

"Nduk, Cinta memang anugrah. Jangan menekannya, jangan pula terlalu mengabaikannya. Tetaplah pada prinsip moral yang jauh lebih kritis. Pencipta dan ciptaan, kamu harus tahu mana yang lebih penting."

Ayahanda pernah mengatakannya saat aku beranjak dewasa. Saat aku baru saja mendapatkan usia cukup untuk tahu apa itu cinta.

Loh, pancen. Prinsip itu yang selalu aku bawa kemana-mana. Mengabaikan apa yang orang lain pikirkan padaku.

Bagaikan Duk yang menggantikan rambut saat boneka di buat, nyatanya aku malah menggantikan prinsip lawas dengan sangat halus seolah-olah pergantian itu tidak ada.

Seseorang mungkin akan tahu apa yang aku maksud. Kalau setidaknya dia mempunyai seseorang yang ingin dia prioritaskan lebih dari dirinya.

Keluarga memang yang terpenting bagiku. Lantas? Gajah Mada juga keluargaku. Sepenting keluarga lainya, dia mungkin menjadi yang paling atas kini, dalam hatiku.

Bedanya, seperti tata krama dan beberapa unggah-ungguh yang aku terima sejak aku kecil, rasa hormatku pada orang tuaku masih lebih tinggi adanya.

Dalam hidup, mana yang lebih penting? Rasa hormat atau cinta?

Cinta itu dengan hati tulus. Nyata, tidak memiliki tekanan, dan berasal dari dalam hati yang terdalam.

Berbeda dengan rasa hormat, yang mementingkan kepatuhan, budhi pekerti, dan hal-hal masuk akal lainya.

Bukan berarti aku tidak menghormati Kang Mas Gajah Mada dan tidak mencintai orang tuaku.

Lebih jelas. Dalam rasa hormat, Orang tua berada di peringkat teratas. Lalu setelah itu Gajah Mada.

Pada tingkat cinta, Gajah Mada menjadi yang paling atas, kemudian disusul orang tuaku.

Itu saja. Tidak ada yang berarti.

"Pencipta dan ciptaan, kamu harus tahu mana yang lebih penting." 

Hanya saja, aku sudah tidak mengerti lagi apa arti ini.

Ada banyak pelanggaran yang telah aku langgar demi cintaku.

Kadang ada rasa sesal dalam benakku. Tapi ketika egoku menyerangnya, aku kembali merasa nyaman. Lalu lupa akan apa yang salah dalam diriku.

GAJAH MADA ; Megat RosoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang