75. Candi

624 94 6
                                    

Kedua pasangan yang tengah dirundung nestapa kini kembali ke rumah mereka. Dengan hati masam penuh rasa sakit hati, mereka duduk dan saling menatap.

Kepala mereka tertunduk. Air mata ketakutan, sedih, kekecewaan, dan rasa bersalah bercampur.

Gajah Mada memeluk tubuh kecil Sekar seakan tubuh halus itu adalah tiang pegangan yang tidak akan membuatnya jatuh. Sekar mengusap wajah Gajah Mada. "Kang Mas," Ucapnya, lalu menyeka air matanya sendiri.

Gajah Mada menunduk menatap mata Sekar. Sekar mendongak untuk merespon Gajah Mada. Dua mata yang saling menatap mampu menyuarakan hati lebih dari ungkapan sebuah kata. Mereka terlena. Menambal luka dengan kekuatan masing-masing.

"Maaf," Ucap Sekar mengulangi kata yang ia ucapkan terakhir kali.

Sedangkan Gajah Mada masih tidak mengerti apa yang membuat kata maaf selalu terlontar dari bibir manis itu. Ia menyergit, bibirnya hampir mengucapkan sebuah kata tapi ketukan pintu menggagalkannya.

"Tok.. Tok.. Tok.."

Kedua mata memandang ke arah pintu. Meredam keraguan dan rasa penasaran Sekar, Gajah Mada mengusap surai halus milik Sekar, dan berkata, "Tetaplah disini."

Gajah Mada berdiri dan berjalan menuju pintu. Wajahnya ia normalkan kembali. Lantas membuka membuka pintu dengan raut tak puas yang kentara.

"Oh, kau rupanya." Ucap Gajah Mada seadanya.

Dwi Prapaja mengangguk. Lalu bertanya, "Apa yang harus kita lakukan dengan jasad Prabu Hayam Wuruk dan permaisuri?" Katanya.

Penyebutan jasad yang mengiringi dua nama besar pada masa hidupnya merundukan penyesalan sampai ke titik yang terdalam. Gajah Mada tidak menjawab, matanya diam sesaat tanpa pergerakan apapun. Ia sedang melamun.

Tidak mendapat jawaban, Dwi Prapaja kembali bertanya, "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Kang Mas sampai melakukan hal sejauh ini. Pembunuhan, itu tidak ada dalam rencana."

Setelah dibawa kembali ke alam kesadarannya, Gajah Mada menyingkir dari pintu. Membuka jalan bagi Dwi Prapaja masuk.

Dia melihat ke kanan dan ke kiri sebelum mempersilakan. "Masuklah!" Ucap Gajah Mada.

Dwi Prapaja masuk ke dalam rumah. Matanya menangkap sosok Sekar yang duduk dengan pandangan hampa. Matanya penuh bekas air mata, namun sepertinya sudah ia bersihkan.

Sekar tersenyum kecil saat melihatnya masuk. Lalu berdiri dan pergi ke dalam. Meninggalkan Gajah Mada dan dirinya di ruangan itu.

"Sudah kalian urus mayatnya?" Tanya Gajah Mada.

Dwi Prapaja mengangguk. Menjelaskan, "Kami belum tahu apa yang harus di lakukan. Mungkin setelah ini, jika Kang Mas menyetujuinya, kami akan membakar jasadnya hari ini juga. Dan untuk pemakamannya, Kang Mas yang akan memutuskan."

Gajah Mada mengangguk. Ia menatap Dwi Prapaja dengan alis yang merajut. "Ada guci untuk menyimpan abu di tempat pribadi Hayam Wuruk. Jumlahnya ada enam guci, pilihlah dua guci dengan corak yang sama untuk menyimpan abu mereka." Ucap Gajah Mada.

Gajah Mada ingat betul, Hayam Wuruk adalah orang yang suka mengoleksi keramik. Ia menyimpannya dalam rak dan sesekali akan ia pajang pada meja di sudut ruangan.

Gucci kesayangannya adalah gucci kembar dengan motif yang sama. Warna gambarnya berbeda, tapi tidak terlalu kentara.

Dulu, seorang wanita mongol menghadiahkannya kepada Hayam Wuruk sebagai tanda terimakasih karena ia menolaknya sebagai upeti.

Mungkin terbiasa dengan lelaki kuda jantan yang selalu ia temui, wanita itu memandang Hayam Wuruk sebagai orang yang bijak, sehingga dia menghadiahkan dua gucci yang berharga sebagai wujud rasa hormat dan kagumnya.

Karena itulah, Gajah Mada ingin abu Hayam Wuruk disimpan di guci itu. Setidaknya, tempat peristirahatan Hayam Wuruk haruslah sesuatu yang ia sukai.

"Kang Mas?" Dwi Prapaja kembali memanggil.

Gajah Mada tersadar dari lamunannya. Ia menatap Dwi Prapaja, kemudian menunduk. Ia tertawa menyadari kalau ia jadi sering melamun.

"Kenapa Mada? Jika kau menyesal dengan apa yang telah kau lakukan, itu tidak ada gunanya." Batinnya.

Gajah Mada menggeleng untuk mengenyahkan semua rasa gundah dan kekacauan dalam pikirannya.

"Buatlah candi kembar yang menghadap ke gunung Willis. Dua jaraknya tidak lebih dari sepuluh jengkal. Jangan buat terlalu kecil. Kau bisa mengukur ruang pribadi Hayam Wuruk, sebesar itulah kira-kiranya. Tidak perlu menambahkan arca. Cukup buat seperti yang ku minta." Gajah Mada menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menempatkan siku diatas kaki.

"Ingatlah untuk meletakkan abu Hayam Wuruk di sebelah kanan. Jangan terbalik." Gajah Mada menambahkan.

"Lalu dimana kita akan menyimpan abu mendiang Prabu Hayam Wuruk dan permaisuri sementara waktu sebelum candi dibangun?" Tanya Dwi Prapaja.

Matanya menatap Gajah Mada yang terlihat kacau. Matanya kosong tapi kadang terlihat mengembun menahan tangis. Tangannya tidak kurang tegas seperti hari-hari biasanya. Tapi jika kau melihatnya lebih jelas, tangan itu akan sedikit bergetar. Dwi Prapaja menghela nafasnya.

Gajah Mada yakin kalau ia tidak akan bisa mengendalikan diri jika ia melihat abu Hayam Wuruk. Kenangan pun pasti akan selalu menyakitinya. Jadi lebih baik, abu itu di taruh dimana ia tidak bisa melihatnya.

Ia menjawab. "Dimanapun selama aku tidak bisa melihatnya."

"Baik." Dwi Prapaja menghela nafas kembali.

Karena perbincangan sudah selesai, Dwi Prapaja mengingat-ingat hal yang perlu ia tanyakan. Tapi tidak ada hal lain yang perlu ia tanyakan. Jadi ia pamit pergi kepada Gajah Mada.

"Kalau begitu, aku tidak akan menganggu istirahatmu, Kang Mas." Ucap Dwi Prapaja. Lalu ia pergi dan hendak beranjak.

Gajah Mada menengadah. Ia melihat ke dalam seakan ia bisa melihat Sekar yang terhalang tembok. Ia berdiri. Menggenggam lengan Gajah Mada dan membawanya ke sudut ruangan.

Gajah Mada merendahkan suaranya, "Apa mereka sudah tahu?" Tanya Gajah Mada.

Dwi Prapaja tahu siapa yang dimaksud Gajah Mada. Ia mengangguk dan menurunkan pandangan.

Gajah Mada tahu kalau berita pasti sudah menyebar. Ia tahu, tidak akan ada waktu baginya untuk bisa hidup tenang.

Sekar pun akan tersudut dan bahaya pasti mengintainya. Tidak ada yang tahu seberapa besar kekuatan dendam seseorang. Dendam selalu bisa melenyapkan apapun. Termasuk nyawa seperti yang Hayam Wuruk lakukan.

Dia pun tidak akan membiarkan orang lain menempati tahta Majapahit selama Sekar masih hidup. Jika mereka bertahta, mereka bisa saja menghancurkan dan menyakiti Sekar dengan sewenang-wenang.

Lebih baik Gajah Mada memindahkan mereka sebelum mereka bisa melakukan apapun.

"Kirim mereka semua ke Adibaya. Tapi jangan kirim Kusuma dan Aji. Biarkan mereka tinggal disini. Rinjani akan merawat mereka. Awasi juga anak Nertaja. Kelak, ia akan menjadi suami Kusuma. Itu adalah wasiat Hayam Wuruk." Ucap Gajah Mada dengan pelan. Tidak ingin Sekar mendengar apa yang dibicarakan.

"Bagaimana kita akan mengirim mereka?" Dwi Prapaja tak habis pikir dengan perintah Gajah Mada.

"Semua orang adalah orangku. Penghianat selalu punya orang yang mendukung. Mereka tidak akan melawanku." Gajah Mada tersenyum sinis dan mengejek.

Walau senyum itu ia berikan ke Dwi Prapaja, bukan kepadanyalah Gajah Mada mengejek. Melainkan pada dirinya sendiri.

Dwi Prapaja mengangguk. Ia tahu kalau setelah matinya Hayam Wuruk, mereka akan lebih memilih Gajah Mada di banding keluarga kerajaan. Lagi pula, bisa dibilang kerajaan ini maju karena Gajah Mada. Kerajaan ini lebih membutuhkan Gajah Mada lebih dari keluarga kerajaan.

Dwi Prapaja menunduk sebagai salam pamitnya. Ia berjalan ke pintu. Tangannya mencengkram gagang pintu sampai suara Gajah Mada menghentikannya.

"Keluarkan mereka dengan layak." Perintahnya.

***
22 September 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang