108. Prinsip atau Cinta?

396 45 18
                                    

"Kenapa?" Gajah Mada bertanya. Tidak ada amarah, untuk pertama kalinya, dia bingung. Lalu perasaan panik mulai merayap ke dadanya. Sesak dan pengap. Gajah Mada membenci ini.

Kenapa? Arya diam. Dia tidak ingin mengenang kembali memori lama yang buruk. Apalagi mengingatkan orang lain bahwa dulu, dia hanyalah pecundang yang tidak punya kesempatan untuk masuk ke dalam lingkup yang lebih baik.

Dia tidak ingin orang lain mengetahuinya, bukan berarti dendamnya akan hilang juga. Dia tidak tahu kenapa kebetulan ini sangat tepat.

Tapi apapun itu, dia percaya kalau dunia pastilah berputar. Tuhan pun tahu, betapa tidak terpujinya seseorang itu, sampai pembalasan pun ia dapatkan dengan cara yang tidak terduga. Seperti kebetulan ini.

Gajah Mada maju dan berteriak di depan wajah Arya. "Kenapa kau tidak mau menyembuhkan istriku!"

"Tetap tenang, Kang Mas!" Dwi Prapaja memanggil lirih. Takut kalau dua orang ini saling menyinggung dan akhirnya sesuatu yang buruk terjadi.

Arya masih saja diam. Ketika matanya bertemu dengan Gajah Mada dan menatapnya tajam seperti ingin mengulitinya, ia menunduk. Seolah dia sedikit takut, tapi menggenggam erat prinsipnya.

"Apa kau pikir kau punya pilihan?" Tanya Gajah Mada.

Arya Galuh menatapnya. Yah. Beginilah si Gajah Mada yang tersohor itu. Yang dipuja bagai pahlawan pada masanya. Dia.. Sangat rendah.

Apakah ada satu orangpun yang akan memaksa saat meminta bantuan? Tidak! Tapi dia, iya.

Dari mana datangnya orang tak tahu malu ini? Arya tidak terkejut, dia sudah menduga watak si bengis yang satu ini.

Maka itu, "Kau pikir aku takut? Ingatlah, saat ini kau yang membutuhkanku. Aku yang memutuskan aku mau atau tidak. Karena kau memaksaku, kau pikir aku akan takut? Kalaupun kau membunuhku, siapa yang akan menyembuhkan istrimu selain aku? Lalu, kau berani mengatakan ini padaku?"

Gajah Mada meremas tangannya. Orang seperti ini, yang tidak mempunyai seorangpun disisinya, bagaimana dia akan takut akan kematian? Dan dia benar. Gajah Mada tidak akan membunuhnya. Karena dia membutuhkannya dalam keadaan hidup bukan mayat yang tidak bisa apapun.

"Apa yang membuatmu tidak mau melakukannya? Aku bisa memberikan apapun. Katakanlah!" Gajah Mada memohon.

Arya terkekeh. "Aku tidak membutuhkan apapun! Dalam masa tuaku, aku hanya akan menikmatinya dengan kesederhanaan. Kau tidak perlu menawarkan apapun. Jawabanku akan tetap sama."

Gajah Mada mendesah putus asa. Dia pikir ada jalan, dia pikir ini adalah masa akhir dari penderitaannya. Tapi kenapa semuanya masih sama saja?

Semua orang tahu betapa Gajah Mada putus asa tapi dia sama sekali tidak mengeluarkan air mata sama sekali walau matanya merah dan basah. Amarah membuatnya lebih mengerikan berkali-kali lipat saat dia menangis.

Arya menjauh dari kedua orang itu. Tidak ingin melihat wajah putus asa dari orang lain yang membuat suasana hatinya kacau.

"Pulanglah! Tidak ada yang akan kalian dapatkan disini." Katanya dengan memasuki kamarnya.

Gajah Mada kembali menggenggam tangannya menahan amarah yang memuncak. Derit giginya terdengar ngilu menambah kesan bahwa dia sedang marah namun berusaha menahannya sekuat tenaga.

Tapi Gajah Mada gagal. Tidak bisa menahan amarahnya, dia membalik meja yang ada diruangan itu. Raungan keputusasaan menggelegar.   Barang-barang diatas meja berterbangan kemana-mana. Ruangan itu sangat berantakan.

Arya mendengarnya, tapi dia tidak peduli. Memang itu watak Gajah Mada. Selalu sombong dan seenaknya sendiri.

Dwi Prapaja yang di belakangnya maju dan akan menenangkannya, tapi Gajah Mada sudah mendahuluinya dengan pergi ke luar. Pada akhirnya, Dwi Prapaja mengikuti keluar tanpa berpamitan pada Arya.

"Sial!" Teriak Gajah Mada begitu ia sampai di luar.

Tangannya menarik tali kemudi kuda dengan kasar, si kuda hitam meringik dan terkejut. Dia sontak membawa Gajah Mada dengan cepat meninggalkan tempat itu.

Prajurit yang ada di belakang bingung. Apa yang terjadi? Apakah si tabib itu tidak mau? Padahal Gajah Mada sudah berlari kesini sejauh ini. Apakah usahanya sia-sia?

Tatapan mereka jatuh pada Dwi Prapaja. Ingin bertanya namun sungkan, tidak bertanya namun mereka sangat penasaran.

Aagaknya tahu apa yang orang-orang ini pikirkan, Dwi Prapaja menatap mereka kembali dengan wajah buruk. mengisyaratkan mereka untuk tidak mengatakan sepatah katapun.
Kemudian, menerima perintah macam ini, mereka tidak lagi berani bertanya-tanya apa yang terjadi bahkan dalam hati. Mereka hanya lebih mempercepat kuda mereka agar tidak terlalu jauh di belakang Gajah Mada.

Kecepatan kuda yang berlari sedikit membawa perasaan indah pada suasana hari Gajah mada yang buruk. sapuan angin mengingatkannya kepada Sekar yang saat ini berada jauh disana tengah berjuang.

Gajah Mada kembali merasa putus asa. Sesuatu yang indah tidak datang dua kali. Kesempatan tidak selalu datang dua kali. Keindahan akan layu, tapi tidak secepat ini.

Apakah, dia dan Sekar sama sekali tidak mempunyai hak untuk bahagia?

Bahagia? Kata impian macam apa itu. Gajah Mada tidak pernah mendengarnya apalagi mengalami.

Satu-satu bahagianya telah direnggut kembali. Lalu?

Sapuan angin sekali lagi membuat pikirannya melayang. Dia berpikir, apakah sesuatu di dunia ini memang sudah dipastikan? Misalnya seperti, dia jatuh cinta kepada Sekar. atau, Sekar yang jatuh cinta kepadanya.

Apakah sesuatu itu adalah sesuatu yang bisa dirubah atau memang itu sudah mutlak?

Tapi Gajah Mada tahu. Tidak ada didunia ini yang terlahir mulus. Bahkan putaran dunia sekalipun.

Alasan mengapa gerhana terjadi, itu juga karena tidak ada yang satupun yang tidak bersinggungan bukan?

Tapi gerhana tidak terjadi dalam waktu yang lama dan tidak terjadi setiap waktu. Itu karena, bumi berputar dengan terus menerus. Jika bumi berhenti berputar saat gerhana tejadi, bukankah  selamanya gerhana akan terjadi?

Gajah mada mengelus kudanya dengan lembut. Kuda yang agresif mulai memelankan kakinya dan mendengus.

Lalu para prajurit dan Dwi prapaja yang ada di belakang melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana Gajah Mada memutar balik kudanya dan berlari dengan kencang.

****

Suara gaduh memenuhi lorong istana saat Gajah Mada dengan garang memasuki kerajaan dengan dua orang di belakangnya dan prajurit yang mengikutinya layaknya bebek.

Satu orang diantara dua orang itu adalah Dwi Parapaja. Tapi mereka tidak tahu yang satunya lagi. Tampak tua dan lembut, dia terlihat bijak. Mungkin dialah orang yang katanya tengah Gajah Mada cari, batin mereka.

“Buka!” perintah Gajah mada pada beberapa orang penjaga pintu kamar Sekar.

Setelah pintu di buka, Gajah Mada dapata melihat tubuh diatas ranjang yang tidak berpindah sama sekali sejak dia pergi.

****
Kalian mungkin ngira cerita ini terlalu panjang. Tapi percaya deh, gw tuh suka baca yang satu cerita sampe 200chapter sedangkan isi chapter biasanya lebih dari 1000 kata.🤣

Jadi ya menurut gw ini biasa aja walau pasti kalian mikir ini kepanjangan😂

***
21 Mei 2023




GAJAH MADA ; Megat RosoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang