116. Dharma Abi pungkasing cerita

345 28 8
                                    

Di ruangan yang cukup besar dengan aksen kental konglomerat, kedua orang yang saling berhadapan menatap dalam-dalam. Tidak ada yang mengalah, pun dengan mengatakan kata-kata untuk memecah keheningan.

Perempuan yang lebih tua meneliti. Tidak ingin disalahkan, dia menatap dengan tajam membabi buta. Gelang emas dua rangkapnya gemerincing. Pola jarik dan kain penutup dadanya cukup biasa, namun terkesan glamor dengan banyak corak dan pernak-pernik yang menonjol. Satu ikat rambut di sisi kanan yang lebih menonjol tanpa disanggul.

Dia memiringkan alisnya dan berkata tidak senang, ”Apa aku perlu ijin untuk menyakitinya, anakku?” tanyanya.

Dharma menggeleng. Ia putus asa dengan penghakiman yang semena-mena. Walaupun dirinya juga sembrono, dia tidak akan melakukan hal seperti bunuh diri tanpa tujuan.

“Ibu, bagaimana bisa kau melakukan ini tanpa memberitahuku?”

“Aku hanya bermain-main. Aku hanya ingin memberinya sedikit pelajaran, tapi siapa sangka…”

Dharma menyipitkan matanya. “Bermain-main? Kau membuat masalah ini semakin besar dan besar. Semua prajurit dikerahkan untuk menyelidiki ini. dan kau bilang bermain-main? Bagaimana hal semacam ini kau anggap permainan?” tanyanya tegas dan marah.

Dengan Dharma yang marah dan menaikkan nada biacranya, sang ibu juga semakin tersulut emosi. Tidak pantas seorang anak membentak ibunya. Lagi pula, bisa apa seorang anak tanpa ibu?

“Lalu harus bagaimana? Menikmati pesta empat bulanan dengan meriah dan tertawa terbahak-bahak? Dimana otakmu! Bagaimana ibu bisa!” katanya membentak dengan lebih kencang. Matanya melotot menyeruakkan ketidaksenangannya pada ketidaksopanan Dharma.

Kata-kata Dharma tak ubahnya seperti orang yang menganggapnya tidak berguna dan penuh momok. Dan di pandang dengan pandangan itu juga membawa emosi yang terpendam. Ini seperti penghinaan.

“Ayolah ibu! Aku tidak melarangmu menyakitinya, tapi jangan ceroboh! Tolong bersabar… kau tahu aku sedang menyusun rencana. Kau menyakiti Sekar, bukannya Gajah Mada. Kematian Sekar tidak berpengaruh untuk kita, tapi kematian Gajah Mada berpengaruh! Dengan menyakiti Sekar, kau malah membangunkan singa yang sedang tertidur di bawah gemerlap kekuasaan. Ibu! Menyakiti lawan seperti itu butuh kehati-hatian. Tapi karena ulah ibu ini, mungkin nasib kita hanya sampai disini. Hanya butuh beberapa hari untuk kau mungkin ditangkap. Dan aku, aku juga akan ditangkap jika kau ditangkap. Kesabaran kita selama ini sia-sia hanya karena rencana kecilmu ini.” Dharma berkata dengan panjang lebar dan berusaha membuat sang ibu mengerti. Dia sudah memelankan suara dan berkata dengan hati-hati, namun nada jengkel dan marahnya tidak dapat disembunyikan dengan mudah.

“Lagi, apa yang sebenarnya kau lakukan pada Sekar?” tanyanya skeptis.

“Aku tidak melalukan apapun. Target utamaku adalah Gajah Mada, tapi entah mengapa itu berubah menjadi Sekar. Awalnya, aku hanya ingin menjahili Gajah Mada.” Dia akhirnya luluh. Walaupun dengan penuh penghinaan, dia sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan dengan ceroboh. Sedikit rasa bersalah menghinggapi hatinya.

Mengingat apa yang dia dengar sebelumnya, bahwa Sekar telah diracun, dia lalu berspekulasi. “Menggunakan racun untuk menaklukkan Gajah Mada? Ibu, kau lupa bahwa dia tidak mempan racun?”

Si wanita menyipitkan mata dan meringkukkan alisnya ke bawah. Dia tersadar akan sesuatu sebelum berkata. “Itu bahkan bukan racun, ya tuhan! Dan ya, aku melupakannya. Bagaimana aku bisa ingat, kalau dia berbeda dari orang lain?” tanyanya.

Dharma menyipitkan alisnya dan maju mengecilkan suaranya. “Bukan racun?”

Sang ibu mengangguk melambaikan tangannya untuk mengabaikan itu dan mengangkat cangkir dibawah mata elang Dharma.

*****

Gajah Mada merenung di pendopo seorang diri. Dia mengangkat satu kakinya, menumpu tangan pada kaki yang terangkat, dan membiarkan kakinya yang lain menggantung.

Tidak jarang melihat Gajah terlihat malas seperti ini.

Dari belakang, dia tampak seperti seorang menyair yang mencari inspirasi. Apalagi di depannya terpampang pemandangan yang indah menggugah mata.

Tapi jika kalian melihatnya bukan dari belakang, melainkan dari depan, maka kalian akan melihat hal yang lebih aneh.

Gajah Mada, yang biasanya membawa karakter tegas dan dingin tengah melamun dan menurunkan pandangannya lesu. Orang-orang pikir mungkin dia sedang berkhayal, hanya saja wajahnya terlalu sedih. Walau wajahnya datar-datar saja, matanya yang turun dan kosong membawa banyak presepsi kesedihan yang mendalam.

Hal itu berlangsung lama samapai akhirnya seorang prajurit membawa seseorang yang di undang Gajah Mada sendiri dengan hormat. Karena ia merasa tak tenang jika harus meninggalkan Sekar jauh, maka ia terpaksa mengundang orang itu alih-alih mencarinya.

Gajah Mada berbalik dan berlutut. “Sujud sembah kulo dening Guru!” Ucapnya mengepalkan tangannya.

Yah, Gajah Mada pernah mengatakan bahwa hanya kepada dua orang dia tunduk. Hayam Wuruk dan Sekar. Tapi masih ada satu orang lagi yang belum dia sebutkan...

Dia adalah ‘Abinaya’.

Gajah Mada bukan dari kalangan atas yang lahir langsung dari orang-orang besar diatas tahta. Dia bukan dari keturunan Patih, dia tidak mendapatkan gelar patih karena warisan.

Dulu, saat umurnya masih remaja, orang yang paling berjasa dan membentuknya hingga sekarang ini adalah Abinaya. Seorang resi yang luhur dan agung.

Mengikuti Abinaya, mereka sering mengasingkan diri mengolah ilmu batin dengan kehidupan sederhana.

Abinaya tersenyum dan menepuk kepala Gajah Mada. Lalu, Gajah Mada mendongak dan berdiri.

****

Dwi Prapaja tengah dirundung perasaan tak nyaman. Terusik hingga dia sangat cemas.

Orang-orangnya telah menemukan tabib palsu yang membawa kabur bukti.

Dia adalah seorang pandai besi yang hidup di pinggiran kota. Karena rumahnya yang terpencil dan jauh, butuh waktu lama untuk mencarinya. Apalagi, dia bukan tabib seperti yang mereka ketahui.

Alasan apa dan bagaimana dia bisa sampai masuk ke lingkup tabib saat kejadian Sekar terkena racun,itu belum diketahui.

Saat dia tertangkap, dia sama sekali tidak mau bicara apapun.

Dari awal, Dwi Prapaja sudah berpikir kalau ini tidak akan berhasil. Bukti yang hilang adalah air. Dan sangat mudah untuk dihilangkan.

Dan untuk membuat satu orang lagi membuka mulut, agaknya sangat susah. Mengingat orang-orang yang mereka tangkap juga belum membuka mulut sampai sekarang. Padahal, jarak mereka dengan kematian hanya tinggi beberapa nafas lagi.

Tapi takdir berkata lain. Saat dia menangkap tabib palsu, mereka menemukan gelas yang digunakan saat upacara beserta air sisa yang ada di dalamnya. Terbungkus dengan kain yang diikat di bibir gelas, mereka menemukannya di lemari pakaian orang itu.

Dia bergegas membawa gelas itu ke Arya. Memerintah orang-orangnya untuk memenjarakan tabib palsu bersama tahanan lainya.

Dia sama sekali tidak membuang waktu. Dalam waktu sekejap, gelas itu berhasil sampai ditangan Arya dengan mulus.

Tapi, setelah mengolah-alih dan mengotak-atik air itu, Arya mengerutkan alisnya dengan bingung.

"Apakah kamu yakin air ini tidak ditukar?"

Bersamaan dengan itu, seorang prajurit masuk dan berlutut.

***
Besok up lagi, soalnya belum dipindah, masih di laptop tapi akun di hp.

***
27 September 2023

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now