82. Satu Harimau Dalam Satu Gunung

574 79 6
                                    

Banyak typo. Maklumin ya.

***

Suara gaduh, cemoohan, teriakkan, dan berbagai kebrutalan lainya masuk ke telinga Sekar seakan hanya ada suara itu yang bisa ia dengar.

Setiap kali tamparan atau pukulan, mata Sekar selalu saja terpejam sendirinya. Entah itu pukulan atau tendangan, Sekar tidak tahu. Semua bunyinya sama saja. Kecuali tamparan yang lebih nyaring dan ringan.

Getaran yang ia rasakan saat melihat seorang penjaga tertangkap dan di bunuh kembali lagi. Sekar berusaha menahannya sekuat tenaga.

Karti yang melihat bahwa tangan dan gigi Sekar bergetar juga menggigit bibirnya. Ia pikir, Sekar kesakitan untuk menahan perih ketika lukanya sedang diobati.

Ia berkata, "Tolong, lebih lembut." Katanya.

"Ini adalah usaha terlembut saya. Ini adalah yang paling pelan yang saya bisa." Jawab seorang tabib.

Tangan tuanya memang sangat lembut saat menerapkan obatnya ke tangan Sekar. Sesekali melihat ekspresi Sekar apakah ia kesakitan atau tidak. Walau begitu, ia tidak bisa lebih lembut dari ini. Jadi saat Sekar terlihat kesakitan, ia harus tetap melanjutkannya.

Sekar tidak merasakan sakit di lukanya. Alih-alih, hatinya yang terasa sakit. Tapi dua orang ini salah paham rupanya.

Tapi biarlah mereka salah paham. Lebih baik dari pada mereka tahu apa yabg ia rasakan. Simpati tidak berguna. Apa yang ia rasakan, tidak mengubah nasib orang-orang yang tiada karena dirinya.

"Lanjutkan." Ucap Sekar melengos.

Lengan Sekar hanya tergores. Sisi lengannya sobek akibat panah yang terlalu tajam. Untungnya, panah yang mengenainya tidak menusuknya. Jika iya, maka pasti panah itu akan bisa menembus tulang.

Ada sedikit racun di panah, tapi bukan jenis racun mematikan. Efeknya juga ringan seperti demam dan menggigil. Tapi jika racun itu menusuk langsung ke pembuluh darah, tabib berkata itu akan sedikit mematikan.

Setelah tidak ada suara lagi di luar, pintu rumah di buka dengan pelan. Gajah Mada masuk dengan sedikit amarah yang teredam.

Melihat bahwa luka Sekar telah diobati, ia menghembuskan nafasnya. Bersyukur dan merasa lega.

"Lukanya sudah saya obati. Tapi bisa saja nanti malam akan demam dan menggigil, itu wajar. Jika Ndoro Garwa Sekar memakan obatnya tepat waktu, ia akan baik-baik saja, Mahapatih." Ujarnya kemudian menunduk.

Karena ucapan tabib, Sekar baru tersadar kalau tangannya telah di selesai di obati. Kain yang membungkus lukanya cukup ketat. Tapi masih nyaman untuk dirasakan.

Gajah Mada mengangguk. Lalu ia maju dengan membiarkan pintu tetap terbuka. Melangkah menuju ke Sekar.

Tabib dan Karti yang melihat pintu terbuka, mereka langsung pamit undur diri meninggalkan Gajah Mada dan Sekar di ruangan itu.

"Apa kau merasa ada yang tidak nyaman?" Tanya Gajah Mada duduk di samping Sekar.

Tangannya menggenggam kedua lengan Sekar dan memapahnya berdiri. Membawanya ke kamar agar ia bisa istirahat dengan baik.

"Aku baik-baik saja." Ucap Sekar saat Gajah Mada menata bantal sebagai sandaran dan menyelimutinya.

"Aku harap memang begitu." Jawab Gajah Mada mengecup kepala Sekar.

Sekar melihat wajah Gajah Mada. Di sana, senyum manis terpatri dengan indahnya dan cantik. Sangat memukau membuatnya terperangah. Dia seperti malaikat.

"Apa yang Kang Mas lakukan kepada penjaga itu?" Tanya Sekar tiba-tiba.

Gajah Mada menoleh. Kakinya yang panjang baru saja akan mengambil makanan di dapur untuk Sekar berhenti.

Ia mengelus rambut Sekar sayang. "Tidak ada yang ku lakukan." Jawabnya.

Sekar menggeleng. Ia menyingkirkan tangan Gajah Mada yang mengelus rambutnya dan membawanya ke atas pahanya. "Aku tahu Kang Mas baru saja memukulinya." Ucapnya.

Gajah Mada tidak marah. Ia tersenyum kembali dan menjawab, "Itu bukan apa-apa."

"Bagaimana itu bukan apa-apa? Mereka telah melindungiku. Satu penjaga mati di serang demi meloloskanku. Satu penjaga lainya malah Kang Mas siksa?" Tanya Sekar heran. Ia geram dengan Gajah Mada yang seakan tidak menghargai orang-orangnya. "Jika bukan karena mereka, aku yang akan mati sekarang." Kata Sekar.

Gajah Mada mulai menurunkan alisnya. Dahinya berkerut dan ia mengelak. "Itu tugas mereka. Tapi mereka tidak melakukannya dengan benar."

"Apa yang Kang Mas lakukan padanya?" Tanya Sekar tidak menggubris jawabannya. Ia memicingkan matanya kepada Gajah Mada.

Gajah Mada memalingkan wajahnya. Tangan kanannya melambai dan menarik selimut lebih erat. "Tidurlah." Perintahnya.

"Kang Mas tidak menyiksanya bukan?" Tanya Sekar.

Gajah Mada diam seribu bahasa.

"Ah.. Bukannya menyiksa. Kang Mas tidak membunuhnya bukan?" Sekar mengganti pertanyaannya.

Gajah Mada tetap diam. Ia menatap Sekar dengan datar. Seolah ia tidak pernah melakukan kesalahan apapun.

Karena reaksi itu, Sekar membelalakkan matanya. Dan berkata dengan hati ketakutan, "Kang Mas membunuhnya."

Kata itu bukanlah pertanyaan, namun pernyataan. Sekar tahu Gajah Mada membunuhnya.

"Bagaimana bisa Kang Mas membunuhnya?" Tanya Sekar tidak percaya dengan apa yang Gajah Mada lakukan.

Gajah Mada menghela nafas. Ia duduk di sisi ranjang samping Sekar kemudian menutupi kakinya dengan selimut.

Sekar geram dengan Gajah Mada yang tak menanggapi kata-katanya. Nyawa bukan lelucon. Satu nyawa tidak sebanding dengan harta manapun. Harta masih bisa kita cari, masih bisa kita kembalikan. Tapi nyawa? Tidak ada yang bisa mengembalikan nyawa. Dan Gajah Mada menyepelekan itu.

"Ini bukan Kang Mas yang aku kenal. Kang Mas tidak seperti ini.. Kau bukan orang kejam seperti ini." Ucap Sekar menggeleng kecewa.

Mendengar kata-kata Sekar, kepala Gajah Mada mendongak sedikit. Matanya menatap Sekar dengan pandangan heran. Ia lalu berkata, "Tidak, Ayu. Kau salah." Jawabnya.

Sekar menaikkan alisnya tinggi. Gajah Mada memenggal kata dengan begitu pendek. Apa yang ia maksudkan sangat sulit di tangkap. Apalagi hanya dengan beberapa kata.

"Apa karena aku memperlakukanmu dengan baik maka kau berpikir aku adalah orang baik? Jika benar, maka kau salah." Ucap Gajah Mada telak.

Sebelum Sekar bisa menjawab dan beraksi, Gajah Mada berkata lagi, "Selama hidupku, aku hanya mengakui dua orang. Pertama adalah Hayam Wuruk. Dia adalah seorang raja dimana aku bersumpah. Dia adalah satu-satu orang yang bisa memerintahku, walau akhirnya tidak lagi. Dan yang kedua, itu kau Sekar. Karena engkau adalah orang yang aku cintai. Orang yang lebih penting di banding diriku sendiri."

"Tapi hanya ada satu harimau dalam satu gunung. Hanya satu raja dalam satu kerajaan. Dan dalam hidupku, aku telah memilih, kau adalah pilihan yang seharusnya." Bisik Gajah Mada.

Tangannya membelai pipi Sekar lembut. Senyum obsesinya mengembang pasti. Kemudian, matanya memandang Sekar puja seperti seorang bajingan.

Untuk pertama kalinya, Sekar merasa takut akan kelembutan yang ia rasakan. Kelembutan yang menakutkan. Sekar tidak pernah merasa takut sampai tulang punggungnya bergetar. Bahkan saat ramalan hidupnya ia dengar. Tapi kali ini, ia benar-benar takut.

***
Selasa, 18 Oktober 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now