94. Percakapan Emosional

466 62 10
                                    

Setiap kali suapan yang Sekar masukan ke dalam mulutnya, ada tiga kali pandangan yang ia edarkan ke sekelilingnya.

Ia sadar betul, ada beberapa pandangan yang terang-terangan memandangnya tatkala ia tidak melihat itu. Tapi untuk menangkapnya, Sekar tidak bisa. Mereka seakan tahu kapan Sekar akan melirik dan menunduk untuk menyuap makanan.

Kursi di sampingnya kosong. Kursi yang di khususkan untuk Gajah Mada. Posisi di samping kanannya, berada di di depan Bagas yang di halangi meja makan. Harusnya ada Gajah Mada disitu, tapi kali ini tidak.

Yah, itu bukan masalah serius. Gajah Mada hanya sedang puasa kali ini. Sekar tidak tahu puasa apa yang ia jalani, tapi yang pasti itu bukan suatu masalah besar.

Tenggorokannya susah untuk menelan makanan ini. Sudah ia bilang kalau ia juga bisa untuk tidak makan, namun sebagai orang nomor satu tingkat dewa yang menyayanginya, ia melarang. Mengatakan kalau janin baru harus punya banyak nutrisi yang masuk.

Tapi bagaimana bisa ia makan dengan layak mengisi purut kosongnya sedangkan suaminya sendiri kelaparan disana.

Tersenyum lembut memilin rambut panjangnya yang basah, Gajah Mada berkata, "Tidak apa-apa. Bukan masalah besar. Akan jadi masalah besar jika aku tidak bisa mengendalikanmu, itu salah." Katanya saat itu.

Apapun itu, Sekar hanya harus makan saat ini.

"Sekar, apakah harimu di Majapahit berjalan lancar?" Akhirnya sebuah suara memecahkan kecanggungan saling lirik yang menyebalkan itu.

Sekar mengangkat wajahnya. Tidak lagi, melihat pandangan orang lain yang menghindarinya, ia tersenyum lama mengusahakan kebahagiaan meluap, "Kami hidup dengan bahagia dan baik. Kami tidak menikah dengan baik dulu, tapi kami akhirnya menemukan pernikahan yang terbaik." Sekar menjawab.

"Kami bukannya meragukan perkataanmu, tapi kami juga berhak tahu apa yang kamu rasakan, bagaimana kehidupanmu. Jika pernikahan tidak berjalan lancar, kami tidak akan memaksamu dan berusaha semaksimal mungkin." Kata sang Ayah.

Mereka berdua menatap sayang kepada Sekar. Memunculkan kerinduan anak-anak yang masih dia rasakan hingga saat ini. Ketika ingatan masa kecil terlintas, sudah saatnya ia menjurus ke emosionalnya yang dalam. Tapi itu tidak membuat gentar.

Semuanya memang tidak berjalan lancar dan baik, tapi pernikahannya dengan Gajah Mada benar-benar berjalan baik. Kecuali situasi dan suasana, Ia sungguh tidak merasa ada masalah dengan hidupnya.

Sekar menghela nafas dan menjawab dengan tenang setulus hati, "Aku sungguh bahagia Ibu, Ayah.. Tidak ada yang aku inginkan saat ini, selain daripada Kang Mas Gajah Mada yang aku cintai. Aku tidak pernah mencintai seseorang, sampai aku bertemu dengannya. Dan aku tidak ingin, kalian juga meragukan cintaku, Kang Mas Gajah Mada. Karena bagaimanapun, pernikahan bukan hanya dari sisi bahagiaku, tapi juga dari sisi Kang Mas Gajah Mada."

Kedua pasang suami istri itu saling memandang. Mereka kemudian menghela nafas dan tersenyum. "Baguslah kalau begitu. Kami hanya menghawatirkanmu, kamu tahu bagaimana itu. Seorang anak selalu menjadi yang terbaik di hati orang tua mereka, dan ingin yang terbaik bagi mereka. Kami hanya menghawatirkamu." Sang ibu berkilah.

Sekar tersenyum. Ia menunduk dan mengedipkan kedua matanya. "Aku tahu.. Terimakasih." Ujarnya menahan air mata.

Ia sangat senang dengan perhatian ayah dan ibunya, tapi ia tida ingin ada yang meremehkan Gajah Mada, bahkan jika itu orang tuanya.

Mereka yang berpikir apakah Gajah Mada bisa membuatnya bahagia, apakah Gajah Mada tidak akan membuatnya sedih.. Mereka harusnya juga berpikir, Apakah Sekar bisa membuat Gajah Mada bahagia?

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now