107. Sebuah Kebetulan

337 38 27
                                    

Kelompok kuda menyapu semua jalan dalam kebisingan kakinya. Debu-debu terbang menjadi semacam pusaran angin pasir yang acak. Ini kemarau, debu dimana-mana.

Tidak sekalipun Gajah Mada mengendurkan kecepatan kudanya, karena dia pikir  semakin cepat dia membawa sang tabib, semakin cepat pula Sekar sembuh.

"Ke arah kiri!" Teriak Dwi Prapaja.

Gajah Mada di depan sana. Terlalu cepat untuk bisa di susul.

Padahal, Dwi prapaja adalah orang yang harusnya memandu perjalanan ini. Tapi karena Gajah Mada tidak mau mengendurkan kecepatannya sama sekali, Dwi Prapaja hanya bisa berteriak memberitahukan jalan yang benar setiap kali ada persimpangan.

Dalam jarak yang lumayan jauh untuk di tempuh secepat itu, susahnya jalan yang dilewati, membuat semua orang yang mengikuti Gajah Mada di belakangnya ambruk saat mereka sampai di sebuah pondok kecil yang diyakini sebagai pondok sang tabib yang dicari.

Gajah Mada tanpa basa-basi masuk ke dalam. Menggumamkan kata permisi yang lirih membuat orang mengira kalau dia tengah menggrebek sebuah rumah dari pada bertamu.

Dwi Prapaja menggeleng sekilas. Tak paham dengan sikap tak sabaran Gajah Mada. Namun dia tetap mengikutinya masuk.

Sudah lama tidak bertemu, bahkan mereka tidak bisa di bilang akrab. Kini, dia (Dwi Prapaja) mencari Arya dengan tidak sopan begini?

Arya adalah seorang yang paling dikaguminya dari dulu. Gurunya pernah berkata, jika seandainya dia(Arya) lahir di masa depan, apakah dia akan tetap menjadi seorang ahli racun? Ataukah dia akan menjadi seorang tabib bertangan dewa?

Pertanyaan itu seolah menegaskan bahwa bakat Arya dalam hal obat-obatan sangat diakui gurunya. Dan itu membuat nama seorang Arya menjadi berkualitas tinggi.

Untuk itulah, Dwi Prapaja hendak meminta maaf atas kelancangan dirinya membawa seseorang saat dirinya tengah menikmati masa tuanya.

Namun begitu ia sampai di dalam pondok itu, hanya ada Gajah Mada yang berdiri dengan linglung.

Dimana paman Arya berada?

"Tidak ada orang?" Kata Gajah Mada.

Dwi Prapaja mengangguk, "Akan ku cari."

"Carilah!" Gajah Mada menjawab.

Sebelum Dwi Prapaja bahkan memutar badannya untuk keluar dan mencari Arya, suara berat datang dari belakang.

"Apa yang kalian lakukan di rumahku?" Katanya sambil bergetar seolah menahan emosi yang akan meledak.

Mereka berdua, Gajah Mada dan Dwi Prapaja berbalik dan sontak tersenyum.

"Paman, saya Dwi Prapaja. Apakah paman Arya masih mengenalku?" Tanya Dwi Prapaja berjalan ke arah Arya dengan raut muka meyakinkan.

"Dwi Prapaja. Dwi Prapaja, siapa kamu?" Alih-alih mengingat, Arya Galuh yang berada di depannya mengelus jenggotnya dan bertanya.

"Paman tidak mengingatku?" Dwi Prapaja panik. Arya Galuh adalah orang yang paling keras kepala. Dia tidak akan mau kembali mengobati orang yang dia kenal, apalagi mau kembali praktik saat yang memintanya adalah orang yang tak dikenalnya.

Tapi Arya dan gurunya adalah teman baik. Dwi Prapaja agak percaya diri dengan kenyataan bahwa dia adalah muridnya. Tapi saat ini Arya sama sekali tidak mengenalnya. Dwi Prapaja takut, dia tidak akan mau untuk mengobati Sekar.

"Dwi Prapaja siapa yang kau maksud?" Tanya Arya masih tidak mengingat.

"Saya adalah murid Karso Gringin!" Ucap Dwi Prapaja meyakinkannya lagi.

"Oh kau! Kau.. Si lembu Kaliandra?" Arya terkejut.

"Yah..." Dwi Prapaja mengangguk. Dulu, dia yang memelihara lembu gurunya. Setiap hari, dia selalu membawa si lembu untuk mencari makan. Atau saat dia ditugaskan untuk mencari daun herbal, dia selalu membawa daun kaliandra di punggungnya sebagai makanan si lembu.

Untuk itulah, mungkin Arya tidak tahu namanya, tapi ingat seorang anak yang selalu membawa daun kaliandra di punggungnya ketika keluar hutan.

"Dulu kau masih anak kecil," Katanya melihat Dwi Prapaja dari atas sampai bawah.

"Remaja tepatnya." Dwi Prapaja membenarkan.

"Paman, maafkan kami karena menerobos rumahmu seperti ini. Aku tahu engkau ingin menyendiri dan menikmati masa tuamu, tapi kami ingin minta tolong," Kata Dwi Prapaja menjelaskan maksud kedatangan mereka. Ia tahu kalau Gajah Mada ingin secepat mungkin, jadi ia tidak akan berbasa-basi lama.

"Mengobati seseorang?" Kata Arya menebak dengan benar.

"Iya.." Jawab Dwi Prapaja.

"Siapa?"

"Istriku!" Jawab Gajah Mada maju kesamping Dwi Prapaja.

Wajahnya menggebu seolah memaksa, tapi ia tidak berani mengatakan apa-apa pada pria tua ini. Jika ia kasar, ia takut orang ini malah tidak mau. Jika dia terlalu memaksa, bukankah itu menggangu?

Tapi Gajah Mada benar-benar tidak sabar untuk hal-hal ramah lainya. Jika dia bisa, jika itu adalah seorang tabib lain seperti tabib kerajaan, pasti ia akan mengangkat orang ini ke kudanya dan membawanya ke hadapan Sekar untuk memeriksanya.

"Kau--" Arya mengkerut memperhatikan orang di depannya dengan seksama. Tidak jelas dimana, tapi ia yakin pernah melihatnya di suatu tempat.

"Gajah Mada!" Potong Dwi Prapaja.

Ah... Pantas sekali Arya merasa familiar dengan orang ini. Gajah Mada. Seorang Mahapatih yang sombong.

Satu yang paling tidak bisa di lupakan Arya soal orang ini, dia adalah orang yang pernah menghinanya di masa lalu.

Arya tersenyum sinis, "Istrimu?" Tanyanya.

Sebagai seorang pemuda yang masih belum banyak pengalaman, ilmu, dan  jati diri, pastilah ia kalah telak dibandingkan dengan sosok panglima yang gagah dan kuat seperti Gajah Mada.

Dia memang belum menjadi Mahapatih saat itu, tapi dari pada dirinya yang hanya gelandangan pengembara, itu lebih besar. Terlebih lagi, dia memang sombong sejak dahulu.

"Istriku. Aku akan memberikan apapun yang kau mau, asalkan kau mau mengobati istriku." Gajah Mada menjawab dengan penekanan.

Sebagai seorang penggiat herbal, perkembangan pengetahuannya akan berkembang jika dia mempunyai kesempatan untuk menganalisis.

Kesempatan saat dia seharusnya bisa masuk ke pusat obat di Majapahit. Semua orang mempersilakannya. Secara bakat, ia berbakat sehingga ia bisa masuk.

Tapi satu orang menggagalkan semuanya. Karena dia bukan dari keluarga tabib, latar belakangnya tidak terlalu baik untuk bisa masuk ke sana. Karena alasan itu, ia tidak bisa masuk ke sana.

Pada akhirnya dia kembali mengembara dan meneliti herbal di hutan sendirian.

Jika dia butuh tanaman langka, maka dia harus mencarinya sendiri, bukannya tinggal memetiknya di taman kerajaan. Atau bahkan dia tidak mempunyai buku tentang obat sama sekali.

Tidak ada yang mengajarinya dan memberitahukannya mana herbal yang beracun dan tidak. Semuanya dia cari tahu sendiri.

Tapi karena itu, berkeliling di alam liar membuatnya lebih kenal dengan berbagai macam tanaman dari pada mereka yang hanya belajar dan belajar dari buku.

Jadi saat Dwi Prapaja mengatakan bahwa orang ini adalah Gajah Mada, orang yang dulu menghinanya, yang sekarang mencari keberadaannya untuk menyembuhkan istrinya, jawabannya adalah, "Tidak!"

***
Sorry lama update huhu :(
Lagi mikirin mau sad ending apa happy ending.
Aku mau belok ke happy ending tapi dari awal udah nulis alur yang sad ending.
Jadi kacau deh..
Ini lagi mikir alurnya gimana biar bisa nyambung. Makanya lama bngt. Soalnya ganti haluan.
Gimana nih menurut kalian mau sad ending aja atau happy ending?

***
14 Mei 2023

GAJAH MADA ; Megat RosoDonde viven las historias. Descúbrelo ahora