18. Saya tidak menyesal kehilangannya

1K 162 12
                                    

Mempersiapkan hal-hal yang ditinggalkannya selama ia bertapa, Mahapatih pergi lebih pagi dari biasanya.

Ia bangun sebelum ayam berkokok, mandi, dan pergi tanpa sarapan.

Sekar tahu kalau Gajah Mada hari ini pergi begitu pagi, jadi ia tidak terburu-buru memasak dan bersantai di atas ranjangnya.

Ini adalah pertama kalinya ia bangun tanpa langsung mandi. Biasanya, setelah ia bangun, ia akan langsung mandi dan memasak. Tapi kali ini tidak ada yang membuatnya harus memasak tepat waktu, jadi ia tetap duduk di ranjangnya sampai ia tidak terlalu malas untuk bangun.

Sekar sadar, gaya hidup seorang wanita disini memang sedikit berbeda dengan di kerajaannya. Apalagi ia adalah seorang putri sebelumnya.

Ia tidak bisa dikatakan malas, namun juga tidak bisa dikatakan rajin dalam kelas seorang perempuan Majapahit.

Dari yang dia tahu, wanita-wanita Majapahit sangatlah rajin dan disiplin. Mereka lembut dan sangat sopan kepada para lelaki.

Ini memang tentang kasta. Namun yang lebih dari itu, interaksi semacam ini sebenarnya yang membuat seorang wanita menjadi halus dan mencerminkan sikap seorang perempuan.

Sekar sungguh kagum dengan wanita-wanita yang ia temui saat ia berjalan-jalan. Mereka lembut, bahkan kepada anak mereka sendiri. Menasehati dengan lembut saat anaknya melakukan kesalahan. Itu sangat luar biasa.

Wanita di kerajaannya juga lembut. Tapi kelembutan mereka berbeda. Ada satu yang membuat wanita Majapahit terlihat lemah dan rapuh sehingga orang-orang ingin melindungi atau bahkan menindas mereka saking lemahnya.

Sekar tidak tahu, itu sebuah kelemahan atau kekurangan. Tapi itu luar biasa untuknya, yang tidak pernah bisa untuk menjadi selembut itu.

Saat Sekar bangun, mandi dan akan bersiap memasak, pintu rumahnya diketuk. Itu jelas Karti, jadi Sekar membuka tanpa berpikir terlebih dahulu.

Setelah pintu dibuka, wajah penuh senyum Karti yang lucu memenuhi pandangannya. Ia kemudian menyapa Sekar, "Sugeng enjing," Ucapnya.

Sekar mengangguk "Enjing." Jawabnya.

Sekar mempersilahkan Karti masuk dann langsung ke dapur tanpa basa-basi.

"Njenengan belum masak?" Tanya Karti.

Sekar menggeleng. Ia mengambil beberapa kayu kering. "Kang Mas Gajah Mada berangkat sangat pagi, aku tidak buru-buru masak. Lagi pula, aku belum lapar." Ucapnya.

Karti mengangguk. Senyum lebar terpatri diwajahnya tanpa suara. Ia kemudian membantu Sekar menata kayu ke dalam tungku.

Sekar kembali berbicara dan bertanya. "Karti, apa kamu punya keluarga?" Tanyanya.

Mengerutkan dahi dan sedikit menggigit bibir, ia menjawab. "Saya punya. Seorang ibu, seorang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan."

Sekar menoleh. Apa karti tidak mempunyai Ayah? Tapi Sekar tentu tidak bodoh untuk langsung menanyakan hal seperti ini. Ia menanggapi, "Apa mereka juga bekerja?" Tanyanya.

Tanpa bertanya lanjut dan menyinggung Karti, pertanyaan Sekar tadi ternyata mampu mengusir rasa penasarannya tentang Ayahnya.

Karti menjawab, "Benar. Ayah saya meninggal saat saya masih kecil. Jadi untuk menghidupi keluarga kami, kakak laki-laki saya yang bekerja. Tapi kini kakak perempuan dan saya juga sudah mempunyai umur, jadi kami juga bekerja untuk membantu keluarga."

Jawabannya membuat Sekar merasa beruntung untuk saat ini. Setidaknya, walaupun ia terpisah dengan ayahnya, ia masih bisa bertemu dengannya.

Bagas juga tidak punya ayah. Ia juga tidak punya ibu. Tapi bedanya, Bagas tidak kekurangan uang seperti Karti yang harus bekerja diusia dini.

Usia ini cukup untuk bekerja, namun menurut Sekar, ini masih belum bisa dikatakan layak.

"Tidak apa. Kamu akan menjalani hidup dengan baik dan lebih baik lagi saat kamu bekerja dengan bersungguh-sungguh." Ucap Sekar menghibur Karti.

Karti menjawab. "Saya tidak sedih. Ketika saya sudah mulai dewasa, saya akhirnya tahu kalau ayah saya bukan orang yang bisa di sebut ayah dengan rasa bangga. Setidaknya, saya tidak terlalu menyesal untuk kehilangannya."

Ucapan Karti membuat Sekar terkejut bukan main. Seperti apapun seorang ayah, ia tetap seorang ayah. Selalu ada kasih sayang untuk anak mereka, dan hubungan darah yang kental. Bagaimana bisa Karti mengatakan itu?

Sekar jadi memikirkan ayahnya sendiri. Kadang memang ayahnya membuat keputusan yang salah dan memberatkannya, tapi saat Sekar dengan hati-hati menjelaskan kepadanya, ia tidak akan memberatkan Sekar lagi.

Ayahnya adalah ayah terhebat yang ia tahu. Kasih sayang yang ayahnya berikan untuknya sangat besar. Nyawa pun akan ia relakan untuk Sekar.

Ia masih ingat saat ia kecil. Saat ayahnya dengan menggenggam tangannya, menangis tersedu-sedu dan berkata kalau ia akan menggantikan sakitnya. Saat itu, selama enam hari Sekar demam tinggi, ayahnya sangat khawatir sampai ia bahkan tidur di kursi disamping tempat tidurnya. Ranjang kecilnya yang seukuran anak berumur sembilan tahu tidak muat untuk tiga orang karena ibunya juga tidur sambil memeluk dirinya.

Sekar merasa hangat hanya dengan mengenang masa-masa itu. Jadi, alasan apa yang Karti punya sampai ia bahkan dendam dengan seorang yang sudah tidak ada lagi di dunia ini?

"Seburuk apapun ayahmu, kamu tidak boleh mengatakan hal seperti itu," Sekar menasehati.

Karti menoleh. Ada pancaran tidak terima dimatanya. Ia menjawab, "kulo niki anak bontot, mboten ngertos apa-apa kecuali mangan lan turu. Tapi kulo ngertos, apa yang terjadi di setiap malam saat ayah saya pulang..." Ujarnya.

(Saya ini anak bungsu, tidak tahu apa-apa kecuali makan dan tidur. Tapi saya tahu, apa yang terjadi di setiap malam saat ayah saya pulang..)

Sekar tidak mengharapkan lanjutan dari Karti karena ia menghargai pribadi masing-masih orang. Jika memang ada alasan kuat kenapa ia membenci ayahnya, maka ia tidak akan ikut campur apalagi mencoba menasehati saat dia tidak mengerti apa yang Karti rasakan.

".. Ayah saya kejam. Ia selesai bekerja saat fajar belum sampai di atas kepala, tapi ia pulang saat fajar sudah lewat. Ketika ia pulang, selalu ada tangis yang ditahan ibu saya. Kekasarannya membuat ibu saya selalu mempunyai luka disekujur tubuhnya. Ia tidak pernah memberikan semua hasil kerjanya kepada ibu saya. Itulah mengapa kami sangat sengsara saat itu. Ibu saya ingin bekerja, tapi saya masih kecil. Kakak laki-laki saya juga masih kecil, ia hanya bisa mengandalkan upah dari menyapu halaman orang lain yang tidak seberapa itu. Itu sebabnya, walaupun kami harus sengsara di bawah kungkungan ayah saya, ibu saya hanya bisa menerima demi mendapatkan sedikit uang dari ayah saya."

Sekar diam. Tidak berani memotong ucapan Karti yang menurutnya sangat  menguras emosi. Itu sebabnya saat Karti sudah besar, ia membenci mendiang ayahnya?

"Itu sebabnya kamu membenci ayahmu, bahkan setelah ia mati?" Tanya Sekar.

Karti mengangguk. "Dulu saya tidak terlalu mengerti, tapi setelah saya dewasa dan mengerti tindakan ayah saya benar-benar kejam, saya mulai membencinya. Saat dia meninggal, Kakak laki-laki saya sudah besar, dan dia bisa menghidupi kami. Ekonomi keluarga kami membaik setelah ayah saya meninggal. Ini mungkin menjadi sesuatu yang menyedihkan bagi orang lain, tapi saya bahkan tidak menyesal telah kehilangannya."

Sekar menggeleng. Ia tidak percaya cerita ini ia dengar dari mulut Karti. Seorang anak berusia lima belas tahun.

Berapa banyak cerita yang mengejutkan di dunia ini? Selain ramalannya dan cerita dari Karti ini, tidak mungkin ada cerita yang membuat dirinya terkejutkan?

Ngomong-ngomong soal ramalan, ia masih memikirkan hal itu. Sebaik apapun ia bilang kalau ia tidak percaya, selalu ada keraguan di dalam hatinya. Rasa takut membuatnya kadang ingin mengubur dirinya hidup-hidup.

Sedangkan Sekar berpikir, Karti di depannya sudah kembali seperti biasa. Tidak ada jejak kesal, sedih, atau marah pada wajahnya. Ia kini sibuk dengan api yang sedang yang ia buat.

"Ini aneh. Kenapa membuat api dirumah ini sangat mudah? Kemarin juga. Padahal sangat sulit untukku membuat api, baik dirumah maupun di dapur kerajaan saat aku masih bekerja disana." Batin Karti menaikkan alisnya tinggi.

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now