58. Kadung

629 107 10
                                    

Bahkan setelah beberapa saat kemudian, mungkin sampai beberapa jangkrik sudah lelah bersuara. Sekar masih belum menutup mulutnya. Di ujung kesadarannya, ia berpikir tentang apa yang sedang terjadi.

"Apa ini?" Tanya Sekar retoris. Ia tahu apa ini. Perhiasan. Aksesoris. Atau yang sering di elu-elukan wanita pada masa itu. Emas. Tapi yang tidak ia mengerti, apa ini? Maksudnya, kenapa bisa sampai padanya. Apa tujuannya, siapa yang memberikannya, untuk siapa, dan kenapa sebanyak ini?

Karti tersenyum maklum. Ia menjawab, "Perhiasan. Tadi seseorang memberikan ini. Katanya Mahapatih meminta untuk mengirimkan ini kepada panjenengan."

"Kepadaku? Kenapa?" Tanya Sekar lagi. Entahlah! tak sopan atau tidak, Sekar hanya ingin tahu kenapa. Bukannya ia tidak bersyukur. Ia hanya ingin tahu kenapa dan apa alasannya. Sekali lagi, untuk apa ini?

"Apa panjenengan tidak suka?" Karti bertanya dengan hati-hati. Apakah ada orang yang diberi hadiah lalu dia malah tanya kenapa? Ada, itu Sekar. Dan Karti malah bingung. Bukannya harusnya Sekar senang?

Bukannya tidak suka. Sekar hanya tidak tahu mengapa Gajah Mada tiba-tiba mengirimkan ini. Pertama, ia tidak pernah memintanya. Kedua, ia tidak terlalu suka dengan perhiasan. Jika pun menginginkannya, bukankah ini terlalu banyak? Untuk apa? Yang ia pakai juga tidak akan sebanyak ini. Pemborosan yang tidak akan termaklumi.

Jangan katakan Sekar sebagai orang rumit yang pandangannya pendek tapi tidak tahu bagaimana berterimakasih. Terlalu bertele-tele atau bergelut dalam suatu hal yang menyebalkan.

Sebenarnya, Sekar tidak butuh ini. Ia tidak butuh perhiasan seperti ini. Mungkin kalian lupa, Sekar tidak kekurangan apapun, dulu. Bahkan jika itu dulu, ia masih tidak begitu menyukai hal semacam ini. Apalagi sekarang.

"Hanya saja ini terlalu berlebihan." Ucapnya.

Karti dalam hati mengiyakan. Ini memang terlalu berlebihan. Tapi jika itu menurut standar dirinya. Untuk standar Mahapatih Gajah Mada, tentu ini bukan apa-apa. Jangankan perhiasan ini. Arca emas candi marmer saja pasti ia mampu membuatnya. Pun dengan tanah loh nya.

Karti mengambil sesuatu yang menarik matanya. Sebuah kalung dengan batu berwarna biru awan. Hah.. Mungkin Karti harus menjadi bangsawan ningrat dulu untuk mengetahui batu apa ini. Karena selain cantik, Karti tidak bisa mendiskripsikan batu itu lagi. Orang-orang seperti dirinya hanya tau masak, bersih-bersih, menikah, dan mengasuh. Untuk alasan apa bangsa dirinya tahu hal seperti ini? Bahkan jika itu berharga satu lusin lembu, bagaimana ia tahu?

"Yang ini sangat cantik." Karti menyerahkannya kepada Sekar. Matanya menyipit menurun ke bibirnya dan membentuk senyum kecil. Pandangan kagum masih terpatri ke kalung itu sampai kakung itu berada di tangan Sekar. "Pasti sangat cocok untuk kulit dan leher panjenengan." Lanjutnya setelah beberapa saat.

Sekar menilik kalung yang ada di tangannya. Coraknya sederhana. Bahkan bisa dibilang terlalu sederhana. Tapi titik pusatnya agak berat. Baru berwarna biru itu sungguh cantik. Biru awan dengan besar sebesar kuku jari manisnya. Berbentuk segi empat miring yang empat sudutnya lebih dan kurang (belah ketupat). Sederhana namun paling mewah. Sekar setuju kalau ini sangat cantik.

Sekar membawa kalung itu ke dadanya, lalu menariknya ke leher dan menyatukannya dengan warna kulit. Karti tidak melebih-lebihkannya. Itu memang cocok untuk dirinya sendiri. Seolah ini memang di buat untuknya. Sehingga setiap sudut menyatu dengannya.

Ini pertama kalinya Sekar menyukai dengan begitu sangat terhadap perhiasan. Sekar tersenyum. Ia memakainya dan menutupnya dengan kain yang ia kenakan. Walau tidak menutupi semuanya, Sekar lebih merasa aman seperti ini. Ia tidak mau kalungnya sampai lepas dan jatuh.

Karti sendiri ikut tersenyum. Memandang Sekar yang tambah cantik dengan kalung itu. Ia kemudian memindahkan fokusnya pada perhiasan lain yang berada di kotak. "Lalu apa lagi yang akan panjenengan pakai?" Tanya Karti melihat masih banyak perhiasan lainya yang terabaikan.

Sekar memandang dua kotak dengan mata memicing. Ia berpikir sejenak sebelum kembali berbicara, "Simpan saja." Ucapnya.

Karti sedikit terkejut. Ia pikir, sangat sayang bukan semua perhiasan ini dibiarkan tergeletak tanpa pemakai? Tapi apa boleh buat, Sekar sudah mengatakannya, ia hanya bisa menuruti.

Karti menumpuk dua kotak menjadi satu. Lalu membawanya ke kamar Sekar untuk disimpan. Tapi sebelum melangkah ke kamarnya, ia ingat. Ini bukan saja kamar Sekar, tapi kamar Mahapatih juga. Begitu ia memikirkan ini, keberaniannya menciut. Ia membeku di ambang pintu. Sebelumnya ia tidak pernah masuk ke dalam kamar Sekar ngomong-ngomong.

Pintu sudah ia buka, sebagian ujung jarinya yang terbungkus sendal sudah masuk, namun ia tidak berani. Tidak.. Kalau saja itu kamar ibunya, ia mungkin akan melawan batas sopan dengan menyelinap. Jika itu kamar ayahnya, ia akan mengendap-endap supaya ia tidak dipukul. Itupun jika si bajingan masih hidup. Jika itu kamar Sekar, ia akan masuk dengan sopan dan meletakkannya di lemari dan pergi. Tapi jika kamar itu juga milik Gajah Mada... Maka ia lebih baik tidak masuk.

Dengan itu, Karti memutar arahnya menuju ke tempat Sekar. Berdiri di sebelahnya dengan tetap memegang kotak. "Ndoro.." Ucapnya pelan.

"Hmm?"

"Sudah kau letakkan?"

Tanya Sekar tanpa menoleh. Ia sibuk dengan kalung yang ia pakai. Meniliknya, menyentuhnya, dan merabanya lembut. Ini bukan pelecehan, karena batu bukan manusia. Jika batu punya jiwa, juga tidak bisa dibilang pelecehan karena ia tidak mungkin berakal sama dengan manusia.

"Tidak.." Jawab Karti.

"Hm?"

"Belum," Karti melirik ke arah Sekar.

Ini memang bertele-tele. Seperti drama pematok rating di televisi jaman now. Yang jika ratingnya tinggi, pasti episodenya tidak akan puas hanya dengan ratusan. Yang jika ratingnya tinggi, pemainnya bakal tambah banyak. Yang jika ratingnya tinggi, plotnya bakal tambah ruwet dan tidak masuk akal.

Sekar menyergit. Ia bertanya, "Belum?" Kepalanya menoleh dan miring ke arah Karti. Melihat bagaimana Karti berdiri dengan masih memegang kotak itu.

"Saya tidak berani. Bagaimana saya bisa? Masuk ke kamar panjenengan dan Mahapatih Gajah Mada.." Ucapnya yang semakin melirih di akhir kalimatnya. Mungkin Sekar juga tidak akan mendengarnya jika ia tidak berada di jarak sedekat ini dengan Karti.

Sekar mengangguk. Walau ia masih tidak paham betul apa yang Karti ucapkan, tapi ia tahu kalau maksud Karti pasti ia rikuh masuk ke kamarnya.

"Tidak apa-apa. Bukankah kamu pelayanku? Tidak masalah masuk ke kamarku kalau aku sudah mengizinkan." Ucap Sekar tersenyum tipis. Seolah ia sedang memberi izin kepada Karti.

Karti menggeleng. Bukan itu yang dia maksud. Izin Sekar, sudah pasti. Ibarat membeli kucing dalam karung, ia tidak akan tahu bagaimana tanggapannya. Ucapkanlah Karti terlalu banyak berpikir. Tapi siapa yang berani masuk ke kamar sang Mahapatih?

"Saya tidak takut masuk ke kamar panjenengan Ndoro... Tapi saya takut masuk ke kamar Mahapatih." Ucapnya.

Barulah Sekar tersadar, kalau ia tidak tinggal sendiri. Kamarnya, juga kamar Gajah Mada.

***
29 Juli 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now