59. Selalu ada Kita di Setiap Namaku

667 112 10
                                    

Suara langkah di luar rumah terdengar. Penantian Sekar menunggu Gajah Mada selesai, ia berdiri dan berlari membuka pintu.

Ada beberapa hal yang membuatnya tak sabar bertemu dengan Gajah Mada. Beberapa hal yang perlu ia tanyakan. Salah satu yang terpenting adalah dua kotak perhiasan yang ia dapat.

Ia ingin protes. Ia ingin membuat Gajah Mada sadar, kalau ia tidak membutuhkan semua itu secara berlebihan. Rumah nyaman ia miliki. Kasih sayang yang ia dapat. Semua itu cukup.

Tangan Sekar yang gatal sudah membuka pintu lebar dimana Gajah Mada berdiri. Senyumnya merekah merembet ke mata sabitnya.

"Kang Mas!" Ucapnya.

Tapi reaksi Gajah Mada tidak seperti yang ia bayangkan. Tidak seperti biasanya. Tenang, sayup mata yang memandangnya. Ada sedikit keengganan dan kerinduan di sana. Sekar merasa tidak nyaman jauh di lubuk hatinya.

"Kenapa menungguku? Ini sudah malam." Gajah Mada tersenyum lembut. Mengelus rambut halusnya dan melangkah masuk ke dalam.

"Aku hanya ingin tanya sesuatu." Sekar memegang tangan Gajah Mada dan menurunkannya. Pegangan tangannya tidak ia lepas, namun ia longgarkan sedikit untuk kemudian ia genggam dengan kedua tangan.

Tubuh Gajah Mada menegang sesaat. Ada jejak keterkejutan di dalamnya. Mungkin, jika Sekar bisa lebih memperhatikan, ia juga bisa melihat bibirnya yang bergetar.

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

Sekar diam sesaat. Dengan senyum paksaan yang ia berikan dengan setengah-setengah, ia berkata, "Ada apa denganmu Kang Mas? Aku hanya ingin bertanya kenapa kau memberikan perhiasan yang sebanyak itu padaku. Kau tahu kalau aku bukan orang seperti itu.." Ujarnya semakin melirih di ujung kalimat.

Gajah Mada tersenyum canggung. Lalu ia tersenyum hangat. Hangat sekali. Sampai rasanya hati Sekar meleleh karenanya.

Tangan yang di genggam kedua tangan Sekar bergerak. Melepaskan cengkraman, dan bertengger di pipi Sekar yang merah. Ia sekali lagi tersenyum.

"Aku adalah seorang suami. Bertahta di dalam rumah, namun tidak bisa duduk diatas dalam hubungan kita. Itu kau. Yang akan ku tenggerkan dalam puncak. Aku tidak peduli dengan apapun asal kau mendapat yang terbaik." Gajah Mada menatap Sekar dalam. Alisnya naik setara dengan dahi yang mengkerut ke atas.

"Tapi itu terlalu berlebihan. Sesuatu yang berlebihan, tidaklah baik."

"Kenapa?"

"Sekarang lihat! Aku hanya cukup menggunakan satu. Sedangkan yang lainya tersimpan tanpa tersentuh. Hanya di simpan pada kotak. Seolah bukan barang berharga."

Perhatian Gajah Mada jatuh pada kalung yang dipakai Sekar. Cantik. Itu adalah kalung yang ia pilih sendiri. Satu-satunya yang ia pilih. Dan Sekar secara tak sengaja memilih pilihannya.

Jika suatu bernama takdir memang ada, apa itu berwujud sama seperti Sekar dan dirinya? Karena takdirnya seolah berhimpitan dengan Sekar. Ia menyukai takdir ini jika memang begitu.

"Sangat cantik," Puji Gajah Mada.

Sekar menunduk. Merasakan jari-jari Gajah Mada yang hinggap pada dadanya, dimana kalung itu terpatri.

Sekar merinding ke sekujur tubuhnya hanya dengan sentuhan ringan tak berarti itu. Ia menangkap tangan Gajah Mada dan menatap matanya. "Aku memilih pilihan yang tepat?" Tanyanya.

Gajah Mada tersenyum dan mengangguk. "Sesuatu yang berharga akan membuat hal berharga lainya menjadi sampah jika disandingkan. Tapi kalung itu cocok untukmu, tidak menjadi sampai seperti yang lainya."

Ucapan Gajah Mada membuat Sekar merona. Seperti biasa, ia mahir dalam bualan asmara yang membuat hatinya berdebar kencang.

"Kang Mas tahu apa yang aku maksud." Sekar mencoba berdiskusi lurus. Mengabaikan rayuan tingkat dewa Gajah Mada. Tetap bertahan dengan topik obrolannya.

"Aku tahu apa yang kamu katakan, tapi tidak tahu dengan jalan pikiranmu. Apa yang membuatmu merasa itu berlebihan? Kecuali doa yang ku panjatkan atasmu, tidak ada yang berlebihan di dunia ini." Gajah Mada berbicara.

Sekali lagi, itu membuat hati Sekar berdebar kencang. Kenapa ia selalu lemah terhadap kebohongan Gajah Mada?

"Jangan berbohong!" Sekar menunjuk Gajah Mada secara tidak sadar. Tapi ia lupa kalau perlakuannya saat ini tidaklah pantas untuk ia lakukan pada suaminya sendiri. Jadi dengan pandangan turun, Sekar juga menurunkan jarinya dari wajah Gajah Mada. Terlalu kaku untuk minta maaf, suara Gajah Mada mengalihkan perhatiannya.

"Kebohongan macam apa yang terbukti nyata?" Gajah Mada bertanya.

Sekar merangkai banyak kata dalam pikirannya. Menuangkannya melalui mulut sebentar lagi. Tapi yang keluar dari mulut itu hanya satu senyuman manis yang mendamba. Gajah Mada tidak bisa bergerak. Ia menikmati pemandangan itu.

Sekar tersadar dari senyuman lubuk hatinya. Ia lupa, kalau mereka masih berada di depan pintu.

Seperti biasa, Sekar bergegas ke kamar untuk mengambilkan celana Gajah Mada. Dan seperti biasa juga, Gajah Mada masuk ke kamar mengikutinya.

Namun kali ini, ia berjalan menuju ke lemari nakas di samping tempat tidur. Dimana sumpah dan cincinnya ia simpan.

Sekar melambatkan pergerakan tangannya mengambil celana. Ia memperhatikan Gajah Mada dengan raut penasaran. Melihat bagaimana Gajah Mada meletakkan sebuah kertas yang lebih mirip sebuah surat ke dalamnya.

Gajah Mada menatapnya lama tanpa bergerak. Tapi beberapa saat kemudian, ia menutup laci dengan tegas. Berbalik dan terkejut saat melihat Sekar yang mengawasinya.

Di tatap dengan pandangan seperti itu oleh Gajah Mada, Sekar canggung dan merasa seperti pencuri yang ketahuan mencuri. Ia tersenyum canggung.

Apa memangnya yang ada di dalamnya? Gajah Mada tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ada apa dengan kertas itu? Pentingkah itu sampai Gajah Mada memberikan tatapan itu kepada Sekar?

"Aku hanya sedang mengambilkan celana untuk Kang Mas. Aku tidak melihat apapun." Sekar mencoba menjelaskan kapada Gajah Masa.

Di depannya, Gajah Mada terlihat bingung sesaat dan menggeleng. Tapi ia mengembalikan kembali rautnya dan tersenyum kecil. Ia berkata, "Kau tahu bukan, kalau laci ini tidak boleh kau sentuh?" Tanya Gajah Mada.

Sekar mengangguk dan terbata saat mengatakan, "Y-ya." Ucapnya. Seakan ia adalah tahanan yang akan dieksekusi dalam beberapa detik lagi.

Ia memang sudah tidak pernah berani menyentuh laci itu, tapi Gajah Mada tidak pernah melarangnya untuk menyentuhnya. Ia hanya mengingatkan kalau Sekar dilarang menyentuh barang-barang yang secara gaib 'berisi'. Sedangkan untuk membatasi Sekar seperti ini, Gajah Mada tidak pernah.

Dan apabila Sekar ingin menyentuh barang-barang Gajah Mada, ia juga memperbolehkannya asal itu bersamanya.

Mengagumkan bahwa seseorang bisa berubah dan merubah perkataan dalam jangka waktu dekat.

Tapi Sekar tidak sempat berpikiran buruk. Ia kembali terlena dan menjadi dewi saat Gajah Mada mengeluarkan rayuan dan perhatian ekstra padanya. Saat ini, Gajah Mada sudah memeluknya dalam-dalam. Mengubur kepadanya dalam dada yang keras.

Ia berkata, "Selama nafasku masih ada, selalu ada kata kita di setiap namaku."

***
30 Juli 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now