68. Gingsir

638 110 7
                                    

Saat ini, Sekar tengah menemani Gajah Mada makan. Terlihat dari wajah kuyu dan kusamnya, Sekar tahu kalau Gajah Mada benar-benar kacau. Hanya beberapa hari ini, badannya sudah menyusut walau masih bisa di bilang raksasa.

Sekar mengambil satu centong nasi yang masih ada di dandang. Menumpahkannya ke piring Gajah Mada.

Mendapat makanan saat ia sendiri sudah makan banyak, Gajah Mada hanya bisa diam memandang Sekar dengan pandangan nelangsa. Dari tadi, ia di paksa makan saat ia tidak ingin makan. Jangankan makan, minum saja ia tidak nafsu.

"Makan banyak tidak akan membuatmu mati." Ucap Sekar saat melihat pandangan yang Gajah Mada lontarkan kepadanya.

"Tapi makan terlalu banyak hanya akan menimbun lemak." Jawab Gajah Mada sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Sedikit lemak bagus untuk badan Kang Mas yang kurus."

Mendengar kata kurus yang di tujukan Kepada Gajah Mada, dua orang yang lelaki yang memang  bertugas membuat makanan hampir saja tertawa. Kurus bagaimana? Jika yang seperti itu kurus, apa mereka dianggap tulang berjalan? Tapi mereka ingat bagaimana caranya bertahan hidup, jadi mereka meredam tawa di balik hati mereka sendiri.

Gajah Mada hanya tersenyum. Jika Sekar sudah ngotot seperti itu, mana bisa ia menolak. Sia-sia saja.

"Kau juga makanlah! Aku tidak ingin makan sendiri."

Sekar mengangguk, tapi tidak mengikuti apa yang di perintahkan Gajah Mada. Ia malah menonton wajah Gajah Mada sampai matanya sakit saat berkedip.

Kekhawatirannya kepada Gajah Mada sirna sudah. Kini hanya ada rasa khawatir kepada keluarga dan kerajaan Taring. Ah, tidak, tidak. Gajah Mada juga tidak lepas dari rasa khawatirnya. Bagaimanapun, orang yang berkhianat akan lebih dekat dengan sarang kematian. Nyawa Gajah Mada sedang di undi, jadi ia tidak bisa menghilangkan rasa khawatirnya kepada Gajah Mada.

"Kenapa?" Gajah Mada bertanya dengan ringan. Ia masih memakan makanannya, tapi menaikkan sudut mulutnya ke atas mengetahui Sekar sedang menatapnya.

"Aku hanya merasa bingung dengan apa yang telah aku lakukan di masa lalu sehingga aku mendapatkan seseorang seperti dirimu, Kang Mas." Ucap Sekar tanpa mengalihkan pandangannya dari Gajah Mada.

Mendengar sesuatu yang manis terlontar dari mulut Sekar tanpa ia duga, merah langsung mengarungi sudut cuping telinga Gajah Mada. Merembet ke pangkal telinganya, lalu ia menunduk.

Sebelumnya, ia tidak pernah tahu kalau Sekar bisa mengatakan hal manis seperti itu. Apa Sekar sedang menggodanya? Jika ya, itu sangat berhasil!

Sekar tersenyum kecil. "Ada apa, Kang Mas? Engkau malu? Bukankah biasanya kau sangat rajin menggodaku, kenapa kau malu saat aku menggodamu balik?" Tanyanya.

"Tidak.. Aku hanya tidak bisa berkata-kata mendengarmu merayuku."

"Sebenarnya, itu bukan rayuan."

"Oh?"

Sekar lagi-lagi tertawa. Wajah konyol Gajah Mada sangat menarik. Apakah seperti ini rasanya saat Gajah Mada merayunya? Tidak heran Gajah Mada sangat kecanduan dengan ini. Rasanya luar biasa.

Makanan Gajah Mada masih ada setengah. Dalam piring bundar, sisa makanan terbelah di ujung sisi. Sedangkan sisi lainya tidak ada noda sama sekali. Seakan memang sejak awal, sisi itu tidak di isi sama sekali.

Mungkin karena sudah tidak kuat makan lebih banyak lagi, Gajah Mada meletakkan piringnya di sebelah kakinya dengan lembut.

Tepat saat Gajah Mada meletakkan piringnya, ia berbicara, "lalu apa itu, jika bukan rayuan?"

"Pujian." Ucap Sekar.

"Baiklah, baiklah.. Itu pujian." Gajah Mada mengangguk.

***

"Berdiri!" Ucap Dwi Prapaja. Tangan kanannya menggenggam sebuah surat sedangkan tangan kirinya melambai mengusir seorang prajurit.

Prajurit itu berdiri. Setelah dua langkah yang ia punya, ia berbalik. Kembali bersujud, dan mengatakan sesuatu yang terlupakan olehnya.

"Ada satu lagi yang belum saya laporkan. Ternyata pihak Taring yang datang ke Majapahit bukanlah raja Sudra, tapi Raja Sriwedata, Bagas Trisuseno. Setelah beberapa minggu Raden Ayu Sekar Ayu pergi dari Taring, Bagas Trisuseno diangkat menjadi Raja menggantikan Raja Sudra, Tuanku." Ucapnya dengan menunduk dan menunggu perintah pergi.

Dwi Prapaja yang sedang mengutak-atik surat yang di tangannya menyergit mendengar itu. Ia mengatupkan dua bibirnya dan berpikir.

Ini bisa jadi hal yang penting atau tidak penting. Jadi, ia mengangguk dan menyuruh prajurit itu pergi.

Prajurit itu pergi. Tidak lagi berbalik dan menjauh dari pandangannya. Tapi mata Dwi Prapaja yang mengikuti kemana sang prajurit pergi bertemu dengan sosok berkuda yang menghampiri dirinya.

Sosok itu turun dari kudanya tepat dihadapan Dwi Prapaja. Suara sandal kulit binatangnya bersuara saat menghantam tanah. Ia melihat-lihat ke sekeliling.

"Persembunyian yang bagus." Ucapnya.

Dwi Prapaja mengangguk, tapi ia tidak ingin berbasa-basi. Jadi, dengan langsung ia meminta sesuatu yang telah dijanjikan. "Berikan padaku!" Pinta Dwi Prapaja.

Sosok itu terkekeh. "Tidak sabaran." Ejeknya, tapi tetap memberikan barang yang di minta Dwi Prapaja. Melemparkannya ke genggamannya. Sambil berkata, "Kalian harus membayarku mahal."

Dwi Prapaja tersenyum sinis, "Bayaran mahal untuk sang pengkhianat."

"Maling teriak maling" Jawab sosok itu menepuk sebelah bahu Dwi Prapaja.

Sosok itu adalah Candra Giring. Tangan kanan Tribuana Tungga dewi. Dia juga mantan petinggi di jajaran pasukan Bhayangkara, orang-orang kepercayaan Gajah Mada yang akhirnya mengundurkan diri dan ditarik menjadi tangan kanan Tribuana Tungga Dewi.

Setelah berada di samping sang Ratu sekian lama, nampaknya tidak menjamin seseorang akan setia kepada majikannya. Terbukti, Candra Giring menjadi pengkhianat.

"Dimana Mahapatih?" Candra bertanya. Ia tidak melihat Gajah Mada sejak ia datang.

Dwi Prapaja melirik ke pondok Gajah Mada. Pintu pondok tertutup. Gajah Mada tidak keluar sejak tadi kecuali untuk makan. Ia juga tahu Gajah Mada tidak ingin di ganggu.

"Aku ingin bertemu dengannya," Candra mendesak.

Dwi Prapaja menoleh ke arahnya. Ia menjawab, "Kang Mas sedang tidak ingin diganggu." Ujarnya.

"Aku hanya ingin bertemu dengannya." Ngotot Candra.

"Tidak bisa."

"Kenapa?"

"Dia.. Kang Mas.. Sedang tidak ingin di ganggu. Kau pergi saja!"

Candra akhirnya mengangguk. "Aku akan pergi." Ucapnya dengan sedikit dongkol. Ia menaiki kudanya. Mengelusnya sebentar dan bersiap pergi.

"Jangan biarkan orang-orang curiga kepadamu. Hati-hatilah, jangan sampai ada yang mengikutimu."

"Jangan cemas. Aku tidak sebodoh itu. Aku tahu apa yang harus ku lakukan."

***
2 September 2022

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now