99. Rumor

406 55 4
                                    

"Bagimana? Kau sudah melihat semuanya, bukan? Sekarang, mari kita pulang! Aku akan memijat kakimu." Kata Gajah Mada begitu sampai di hadapan Sekar.

Urat lehernya menonjol. Dengan kibaran angin yang menyapu rambutnya, buliran keringat di pelipis dan tepi rambut terlihat. Dada dan perutnya berkilauan keringat. Dengan senyum itu, Gajah Mada terlihat seperti seorang tiran yang sedang jatuh cinta.

Tempat itu ramai akan pelayan yang bersliweran kesana dan kemari. Ketika suara Gajah Mada sedikit bocor ke telinga mereka, mereka sama sekali tidak bisa untuk tidak memerah.

Tidak bisa dipungkiri, kata-kata Gajah Mada membuat orang yang mendengarnya akan malu. Bahkan jika itu tidak ditujukan untuk si pendengar.

Mereka juga terkejut dengan kelembutan dan cara Gajah Mada memperlakukan Sekar. Sebagian dari mereka iri tentu saja. Melirik dan membayangkan bagaimana mereka jika menjadi Sekar. Belasan cuping sawo matang di bawah sinar matahari memerah. Mereka tersipu.

Penasaran dengan jawaban dan respon Sekar, mereka memasang telinga baik-baik. Tak terkecuali Karti, yang berada di belakang Sekar tepat.

Sekar tak langsung menjawab. Dia melirik ke sekitarnya sebelum akhirnya dengan malu menjawab, "Ya."

'Ya', yang dia maksud bukan berarti dia setuju untuk dipijat. Dia tidak manja. Karena ia sama sekali tidak merasakan sakit ataupun pegal, tidak perlu sama sekali untuk di pijat. Dia hanya setuju untuk pulang bersama.

Tapi di pemahaman orang lain, dia setuju untuk kedua pertanyaan dan ajakan Gajah Mada. Mereka semakin iri dibuatnya, berpikir bahwa sesuatu romantis seperti ini pasti terjadi berkali-kali.

Gajah Mada menuntun Sekar dengan hati-hati. Sedangkan Sekar sendiri berjalan biasa tanpa terlihat risih atau terkekang.

Karti di belakang mengikuti dengan kepala menunduk. Tapi dia berjalan dalam jarak yang cukup jauh dari biasanya dia berjalan. Dia hanya tidak ingin menganggu.

Setelah mereka sampai dirumah mereka, Karti menunduk dan pamit undur diri. Walaupun Gajah Mada sama sekali tidak menanggapi, dia dengan sopan mundur pelan-pelan. Lalu pergi tanpa diketahui.

Sekar berkata dengan hati-hati, mencoba menjaga perasaan Gajah Mada agar dia tidak tersinggung. "Lain kali, tolong jangan katakan hal seperti itu di depan banyak orang." Ingat Sekar.

Gajah Mada menaikkan alisnya. Dia memeluk Sekar dan menariknya ke dadanya yang berkeringat. Tapi setelah dia menyadari mungkin Sekar tidak nyaman dengan keringat itu, Gajah Mada menarik dirinya, agar hanya lengannya saja yang merangkul Sekar.

"Kenapa?" Tanyanya.

Sekar menggosok pipinya dan mencari alasan yang tepat. "Banyak orang yang memperhatikan, dan itu tidak begitu baik." Ujarnya.

Setelah mendengar jawaban Sekar, Gajah Mad tahu kalau alasan Sekar tidak nyaman bukan karena alasan dalam dirinya, tapi karena ia takut menjadi pusat perhatian dan takut orang lain terganggu dengannya.

Gajah Mada menghela nafasnya. Tidak boleh seperti ini. Sekar bukan orang yang akan terus diam di rumah. Beberapa kali, pasti dia akan keluar entah kemanapun atau urusan apapun. Karena urusan kerajaan yabg rumit karena dirinya(GM), Sekar tidak mungkin diabaikan semua orang karena dia termasuk orang penting sekarang.

Jika Sekar tidak nyaman dengan hanya alasan macam ini, Gajah Mada takut dia akan tertindas oleh orang-orang yang condong membencinya.

Orang lain mungkin akan memanfaatkan situasi dan perasaan tidak enak Sekar sebagai sasaran empuk. Gajah Mada takut kalau dia malah di gencet orang lain.

Gajah Mada berkata dengan serius, "Apakah pandangan orang lain penting?" Tanyanya.

"Hah?" Sekar bingung.

Gajah Mada mengulangi. "Apa pandangan orang lain penting, sedangkan dalam kehidupan kita, kita yang merasakan bukan orang lain." Kata Gajah Mada.

Sekar menatap tatapan Gajah Mada yang serius. Tatkala lelaki ini serius saat berkata kepadanya, mata yang biasanya lembut tidak akan memancarkan kelembutan biasanya. Seperti ini, saat ini, bola mata itu menatapnya dengan tajam tapi tidak bengis. Pupil matanya menatap dalam ke dalam jiwanya. Jika itu adalah pisau, mungkin Sekar akan berdarah saat itu juga.

Tapi yang namanya Gajah Mada, selalu ada perlakuan khusus baginya untuk Sekar. Bagi Sekar itu mungkin tatapan tajam yang menakutkan. Tapi itu sama sekali berbeda dengan tatapan tajamnya saat marah atau mengintimidasi. Dia hanya ingin Sekar tahu, kalau ia tidak berbicara omong kosong. Yang dia katakan adalah benar.

"Kadang, pandangan orang lain perlu kita anggap penting untuk membuat kita lebih introspeksi diri." Jawab Sekar mencari jawaban teraman agar Gajah Mada tidak bertanya dengan cara yang menakutkan lagi.

Gajah Mada menggeleng. "Tidak. Yang kau pertimbangkan itu bukan kritik yang mendorong, tapi bualan orang lain yang tidak berarti." Ucapnya.

"Aku ingin, kau lebih percaya diri dan tidak mudah terpengaruh ucapan dan pandangan orang lain. Selama kau menyukainya, lakukan saja. Jangan biarkan orang semakin menindasmu. Mereka akan senang jika ucapan mereka mempengaruhimu, Sekar." Tambahnya.

Sekar tidak terlalu paham dengan topik dan perkataan Gajah Mada. Menurutnya, apa yang Gajah Mada katakan ini terlalu jauh dari apa yang bicarakan sebelumnya. Tapi karena dia tidak mau berdebat dengan masalah sepele, dia mengangguk dan tersenyum. "Aku mengerti." Katanya.

Gajah Mada juga tersenyum. Dia mengelus surai rambut Sekar dan menciumnya cepat. "Apa yang kamu mengerti?" Tanyanya.

Sekar mengarahkan jari telunjuknya ke bawah dagunya yang ramping. Tangan yang halus itu mengetuk ringan. Bibirnya mengerucut lembut. "Hm... Seperti Kang Mas yang tidak menghiraukan rumor yang berkembang di luar sana. Selama itu tidak benar, itu tidak akan menganggu Kang Mas." Ujarnya.

Gajah Mada mengangguk. Tapi kemudian dia bertanya walau dia tahu rumor apa itu. Sudah menjadi rahasia umum kalau Gajah Mada terkenal dingin, kejam, dan sombong. Tanpa orang lain katakan pun, dia sudah tahu.

"Rumor apa?"

"Rumor bahwa Kang Mas menolak gagasan pernikahan mendiang Raja Hayam Wuruk karena Kang Mas juga mencintai Dyah Pitaloka." Sekar menjawab dengan halus dan jelas seolah-olah itu hanyalah kata-kata tak berarti.

Setelah mendengar ini, Gajah Mada tidak bisa tidak melebarkan matanya. Apa katanya tadi? Dia tidak menyetujui Hayam Wuruk menikahi Pitaloka karena dia menyukai Pitaloka juga?

Yang benar saja!

Dia tidak tahu kalau ada rumor seperti itu di kalangan orang-orang. Siapa yang menyebarkan omong kosong ini?

Dia memang tak menyetujui pernikahan itu. Tapi bukan karena dia juga menyukai Pitaloka.

Sejujurnya, karena kerja keras yang telah dia lakukan, Gajah Mada takut kalau apa yang dia lakukan akan dihancurkan dengan hal-hal seperti pengkhianatan. Dia tidak tahu apakah Pitaloka datang karena dia benar-benar ingin menikahi Hayam Wuruk atau karena persekongkolan kerajaan sunda untuk memecah Majapahit.

Hayam Wuruk yang telah jatuh cinta tida memikirkan ini. Jadi dia, dengan lantang tidak menyetujuinya karena mungkin saja Hayam Wuruk akan terpedaya.

"Omong kosong macam apa itu! Tidak benar sama sekali. Tidak mungkin aku menyukai Dyah Pitaloka. Bukankah semua orang tahu kala itu aku tengah menjalankan sumpah?" Kata Gajah Mada dengan masih melebarkan matanya. Tak terima dengan rumor itu. Apalagi, dia mendengarnya dari mulut Sekar. Dia tidak ingin Sekar menganggapnya buruk.

"Aku tahu itu tidak benar sekarang. Hanya saja dulu aku berpikir itu nyata saat aku mendengarnya." Sekar tersenyum menenangkan Gajah Mada.

Gajah Mada menggeleng. Menegaskan kalau itu tidaklah benar. Dia juga dengan wajah setengah marahnya bertanya, "Siapa yang mengatakan hal omong kosong itu? Akan aku hajar mereka agar tidak mengatakan hal konyol seperti ini denganmu."

Sekar menjawab, "Ibundaku."

***

GAJAH MADA ; Megat RosoWhere stories live. Discover now