The Pandora

556 29 14
                                    


Cappucino, Coffee and Croissant ntah kenapa rasanya jadi se-palatable ini ketika berdansa dengan lidah tak bertulang dalam rongga mulutnya. Ada rasa enggan untuk mau berhenti mencicipinya; well, second place after his favorite lips absolutely. Rose's lips are always more delicate for him. Nothing can change it.

Tetapi Jeffrey tak menampik kalau appetite-nya di pagi ini nyatanya besar sekali. Mungkin ada beberapa hal yang mendalangi ini. Dan pastinya Jeffrey yakin kalau the bittersweet moment semalam jadi alasan paling besarnya. Kenapa Jeffrey menamakannya bittersweet moment? Karena layaknya makanan, last night was so sweet, which deplorably had a bitter aftertaste when they went to hospital.

Bahkan Jeffrey seperti tak sadar akan beberapa bola mata yang sekarang menatap perangai tak biasa dari dirinya. Ketika Jeffrey berniat ke sini untuk memeriksa keadaan dari buah hatinya, sayangnya dirinya malah ikut serta menghabiskan jatah sarapan mereka.

"Kenapa sih pada ngeliatin Papi mulu? Kan Papi udah pesenin lagi sarapannya. Masih banyak tuh, ngga Papi habisin kok"

"Why is your Papi being this dummy suddenly?"

Jeffrey sontak menatap Jevan dengan raut tak paham darinya "He just innocent" dan kian tak mengerti akan jawaban dari Jevon. Dimana dikala dirinya itu hendak menuangkan segala pemikirannya, Wonny lebih dulu menimpalinya.

"Mami mana? Kok Papi ke sini sendiri? Mami juga dari tadi ngga nyusul - nyusul. Terus Papi juga cuma pake piyama aja, Papi ngga ikut ke Vatican City?" Kekehan Jeffrey lantas terdengar, tangannya menjulur menuju paras ayu Wonny. Membersihkan remahan dari roti yang dengan beraninya menodai paras dari putrinya.

"Don't you know that you look so adorable by doing that, Princess?"

"PAPI!"

Tawa Jeffrey menguar, kalau Rose bisa melihat dirinya dari Jevon. Pun Jeffrey yang sebagian besar menemui diri Rose dalam gadis itu. Sosok gadis dengan rambut hitam pekat diurai panjangnya, tampak seperti gadis yang dulu membuatnya jatuh hati untuk pertama kalinya.

"Mami sakit, jadi—"

"Mami sakit???"

"Mami kenapa?"

"Sakit apa? Parah? Ngga dibawa ke rumah sakit?"

"Kenapa Papi baru bilang?"

"Kenapa ngga bilang Wonna?"

"Sekarang Mami dimana? Di kamar kan?"

"Je—"

"STOP!"

Keempat birai yang mulanya menjadi sumber bising tersebut mendadak bungkam karenanya. Tatapannya kini mendongak, menemukan setiap guratan khawatir dan cemas kali ini menghiasi rupa dari putra putrinya tersebut.

"Your Mami is just feeling under the weather. Nothing to worry about. Sekarang lagi Istirahat di kamar, dan Papi sama Mami ngga ikut kalian" Tanpa sadar Jeffrey menarik senyum ketika menangkap desahan lega dari keempatnya berbarengan.

"Yaelah, tau gini gue ngga usah mandi pagi"

Jeffrey mengernyit "Why tho? Kalian kalau mau pergi ya pergi aja" Ucapnya, yang tak mendapatkan respon positif dari berbagai pihak di sana "Y'all guys knows how's your Mami. Kalau kalian ngga pergi, Mami yang malah kepikiran dan tambah parah. Pergi aja gapapa. Biar Papi yang jagain Mami. As I said before, she's just under the weather. Don't worrying to much"

"She's really fine?"

Bibir Jeffrey tertarik "She's, Boy. Keep my line" Meski tak sepenuhnya membaik, tapi Jeffrey bisa merasakan Jevon agak terhibur karenanya "So? What y'all waiting for? Udah jam sembilan. Nanti keburu makin panas"

BlissWhere stories live. Discover now