Nothing change

357 18 1
                                    


2018


⚠️ harsh word

Hilang fokus bukanlah hal baru bagi Rose. Menginjak nyaris di tahun ketiga Rose jadi Mahasiswi di sini, Rose masih ngga bisa menghilangkan tabiat buruknya yang satu itu. Bahkan cowoknya aja ngga heran lagi, sering kali berkata begini "Badan kamu emang disini, tapi ga sama nyawa kamu yang ngga tahu dimana" Rose juga kalau lagi sekelas sama cowoknya, bolak balik terkena teguran.

Tetapi bagaimana lagi, Rose memang gampang untuk teralihkan. Contohnya hari ini, sedari tadi gadis itu tak sedikitpun bisa menangkap yang dicecarkan oleh pria si pusat perhatian seisi kelas. Rose justru berpaling ke sisi kanannya. Beruntung Jeffrey tidak sedang sekelas dengannya, kalau iya Rose yakin mereka berdua akan terlibat cekcok dan jadi berantem; pun hanya sehari aja. Pelajaran yang Rose petik ketika keduanya nyaris tak lagi dapat bersama. Pertengkaran berlarut - larut malah membuat mereka capek sendiri dan ngga ada gunanya.

Keyakinan yang Rose akan bagikan pada gadis tengah berpura - pura mendengarkan padahal nyatanya sama saja. Rose perlu bersyukur menjalin hubungan dengan Jeffrey bertahun - tahun sehingga membuatnya tidak lagi terbodohi akan sikap gadis polos satu ini. Kendati sebenarnya tak seluruhnya dapat Mina pendam yang gadis itu rasa. Rose juga wanita yang tanpa gadis itu perlu berkata, Rose mengerti ada yang salah.

Belum sempat Rose berucap, gadis itu keburu beralih darinya "Mau kemana, Min??"

Gadis itu sedikit tersentak, tak mengetahui jikalau ada yang memperhatikannya "Mau ke kamar mandi, Rose" Mina lantas melenggang, secepat Mina yang berubah mimik ekspresi dengan senyum tipis  berharap akan Rose dapat tertipu muslihatnya. Tetapi yang Rose dapat, gadis itu justru kian memprihatinkan.

"Si Mina kenapa ya?"

Kepala Rose beralih. Terpusat pada lelaki yang tingkah lakunya tak jauh berbeda. Memang Jeffrey tak dapat menyalahkan dirinya sepenuhnya. Rose ngga semudah itu bisa berubah terlebih dapat dukungan dari faktor sekelilingnya

"Kenapa apanya?"

Rose berdecak. Bukan karena Edgar yang masih tidak acuh terhadapnya, memonopoli perhatian pada layar ponsel menampilkan aplikasi game yang sering Jeffrey mainkan, namun lebih terhadap Edgar yang kurang membuka mata sehingga tak dapat melihat luka yang menjerat teman baiknya "Lo gak liat dari kemarin dia ngelamun mulu kerjaannya? Kayak lagi ada masalah gitu. Ngga biasanya dia begini"

"Palingan cekcok sama Mike. Namanya juga pacaran. Pasti ngga selalu bisa bucin tiap harinya. Lo juga gitu sama Jeffrey kan, baru balikan aja, makanya masih anget - anget tai ayam"

Sikap remeh Edgar memaksa Rose berdiri dengan dua kakinya sendiri. Pada dasarnya, Rose emang tak boleh berharap lebih dari lawan jenis. Pun juga sama Jeffrey. Dibanding terlanjur sakit hati, mending Rose beranjak pergi "Kebanyakan bergaul sama Jeffrey lo, jadi makin ngga peka"

Menjajaki kehidupan mengingatkan gadis itu terhadap marmer putih yang setia berketukan dengan sepasan loafers melilit punggung kakinya. Sewaktu marmer itu terpasang, sinarnya menyilaukan mata, mengalahkan mentari di jam tiga sore yang menyorotnya. Mengambil seluruh perhatian khalayak hanya tuk mengaguminya. Sama hal bagaimana manusia pertama dilahirkan, tak sekalipun mengira jika dibalik kebahagiaan, sambutan tersebut cenderung tiada artinya.

Bergulirnya waktu mengikis kemolekannya, yang dulu enggan menyentuh justru tanpa peduli meninggalkan luka. Goresan - goresan kecil yang mulai perlahan kini menunjuk hadirnya berkat triliunan pasang alas kaki berlomba lomba tetap keep in touch merasakan figur darinya. Persis dari garis takdir Tuhan yang berpegang pada kulit, sampai tak menyadari meninggalkan suatu gores luka tanpa mau bertanggung jawab.

BlissOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz