Ride or die

324 27 6
                                    


2018


Jeffrey baru saja mendapatkan tidur malamnya. Tetapi kemudian suara dering telepon membangunkan lelaki itu. Seolah terbiasa, Jeffrey lantas mengangkatnya tak peduli ketika jam dinding kamarnya menunjuk angka dua tepat dini hari.

"She's hangover again"

Jeffrey telah menduganya. Tak menunggu panggilan itu selesai, Jeffrey melangkahkan kaki lepas menyambar bingkai tipis yang dibiarkan menggantung pada hidungnya. Lelaki itu nyaris melayang saking tidak sabarnya untuk dapat berada di apartemen sebelahnya.

Tatapan mata nyalang Jeffrey berpusat pada ruangan dikala perasaan tak enaknya menjadi nyata. Di dalam sana ada pemuda pemudi yang Jeffrey kenali sangat. Namun begitu, pusat perhatian Jeffrey seutuhnya ada pada gadis yang terbaring tak sadarkan diri bersama penampilan yang acak - acakan.

"Dia sempet muntah"

"Kenapa ga lo gantiin langsung? She could catch a cold"

"And you'll regret it"

Bukan Jeffrey tak paham. Tetapi Jeffrey lebih memilih tak peduli, pikiran Jeffrey hanya terisikan bagaimana agar gadis itu tak terserang penyakit "Ganti baju" Kaos hitam yang dilemparkannya, ditangkap dengan baik Edgar.

"Gue ganti di luar"

Tak ada jawaban dari Jeffrey. Karena dari awal Jeffrey hanya pedulikan adalah sosok itu. Bagaimana ekspresi Jeffrey yang berubah seketika menjelaskan gadis itu berpengaruh besar pada hidupnya. Jeffrey tidak akan menolaknya, karena Jeffrey sedari dulu menyadarinya dan Jeffrey memutuskan hanyut di dalamnya.

Kesunyian seolah menyemarakan Jeffrey pada lekang menyaksikan tontonan manik matanya. Sesak di dada, selalu berbarengan dengan nafas berat terhela pada dirinya. Pucat pasi paras ayu di sana menjemput rasa prihatinnya. Mengusik kenyamanannya, sampai suatu titik Jeffrey menjerit mempertanyakan kepada Tuhan, mengapa tak Jeffrey saja yang menanggungnya?

Sukarela jika Jeffrey menggantikan posisinya. Asalkan lelaki itu tidak akan mendapati gadis itu berada pada kondisi seperti ini kembali. Dihapusnya air mata tepat sebelum mengenai gadis itu "Maaf" dengan perlahan, Jeffrey bantu Rose mengganti pakaiannya.

Mungkin benar sematan kata gentlemen yang gadis itu berikan padanya. Tanpa ada nafsu—justru Jeffrey kian prihatin dengan kondisi gadisnya—Jeffrey begitu telaten memasangkan piyama pink kesukaan gadisnya itu. Ketika terpasang rapih, Jeffrey tersenyum sedikit melihatnya. Namun hal itu tentu tak dapat bertahan lama.

Telapak tangannya menggenggam erat milik gadisnya. Jeffrey tak kuasa melihat perubahan signifikan bentuk badan Rose, lemak di bawah kulit Rose seakan habis tak tersisa menggantikan energi yang gadis itu sedang butuhkan. Di pikirnya timbul tanya, berapa kali gadis itu melewatkan makannya? Apakah nafsu makan gadis itu telah hilang sepenuhnya? Apa tidak ada makanan lain yang mampu membangkitkan seleranya? Apakah gadis itu harus tersiksa kemudian rupa?

Jeffrey haturkan itu semua dengan cara berbeda. Kini Jeffrey merendah, cukup mengikis keterpautan jarak di antara mereka. Tanpa mengacuhkan aroma alkohol yang berperang dengan wangi vanila, Jeffrey memberi jejak bibir pada kening kekasihnya, selagi begitu susah payah agar peluhnya tidak mengotori paras gadisnya.

Tanpa Rose menuturkan, Jeffrey paham betul cara ini digunakan agar setidaknya Rose bertahan hidup. Gadis itu bergantung pada sifat khamr pada alkohol dampak yang dihasilkan senyawa itu badan tubuh, bagaimana dratisnya kesadaran Rose menurun dan gadis itu bisa dengan mudah mendapatkan tidur tenangnya. Etanol adalah pelarian terbaik yang Rose cari.

BlissOnde histórias criam vida. Descubra agora