Grind down

412 29 3
                                    


⚠️🔞🚫 

It's their married life, there would be some spicy content


March, 2021

Aroma khas alkohol menyambut Jeffrey sesaat tangan Jeffrey mendorong pintu kaca itu. Kalau bukan karena bersifat darurat, Jeffrey akan lebih memilih membuka obrolan di tempat lain. Pun tidak terlalu ramai, tetapi bagi introvert semacam Jeffrey enggan bersentuhan, atau bahkan menghindar datang ke tempat seperti ini Mendatangkan ide baik bagi pebisnis kayak Jeffrey ini.

Sayang, sepertinya Jeffrey harus menyingkirkan hal itu tuk sementara waktu. Ada hal penting yang membuat Jeffrey duduk di kursi pelapis kulit coklat tua ini lebih dahulu "Sorry for taking your time"

Lelaki itu hanya menoleh sekilas. Menyodorkan suatu sloki berisikan cairan keemasan yang sepertinya perlu ditolaknya "Yaelah, kek sama siapa aja. Harusnya gue yang nanya, tumben banget lo ngajak ketemuan gue di sini? Abraham ngga sibuk emang?"

"I need your advice"

Senyum miring itu menjadi hadiah dari betapa terus terang Jefrey yang tak berubah "Kenapa?"

Tapi bukan menjawab. Lelaki itu kini justru terdiam tuk sesaat "Sorry for saying this but.. gue mau bahas tentang keturunan.." diliriknya lelaki sisi kanannya itu hati - hati "Is that okay?" Pun wajah datarnya tak juga sirnah, tapi lewat kata serta tindaknya Jeffrey sedikit menyimpan kekhawatiran. That's why he took them here. Setidaknya satu teguk alkohol mengurangi suatu beban saat mulut sulit berucap.

"What did she do?" alis Jeffrey menukik. Tak secepat bibir Jeffrey terbuka. Nyatanya lelaki itu kembali kalah akan sosoknya "Gue tau lo ngga terlalu peduli soal ini kalau ngga karena Rose"

Ujung tubuh Jeff tertunduk, memungkinkan netranya berseberangan akan debit di tampungan kaca. Sontak menjadi fokusnya, bagaimana tenang keadaan Jeffrey berhasil iri dibuatnya "She's okay. Yet, akhir - akhir ini sering banget mempermasalahkan tentang anak. She felt guilty when I never thought about that. Sekali, dua kali, then it became suffocating for her and made me frustrated. I blame myself because I couldn't grant her wish"

"Udah ke dokter?"

"Rose nolak pas gue aja ke dokter"

"Why?"

Bahunya mengendik tanpa sadar "I ain't never know about that. I just believe there's something between her and the hospital. It can be slightly traumatizing, so I won't ask her for that"

"Then I can't say anything" Satu jawaban yang banyak Jeffrey dengar. Pun lelaki itu tau juga "Gue juga cuma orang awam tentang hal begini, gue ngga bisa berkata banyak karena sampek detik ini pun gue juga belom dikaruniai anak. Bahkan setelah ke dokter sekalipun, gue juga masih berusaha keras buat dapetin itu"

Hanya ada musik pelan, berapa pembicaraan di meja seberang yang terlalu keras. Pukulan itu tak hanya tuk Jeffrey. Entah sloki ke berapa yang Tirta habiskan saat Jeffrey sukses mengoyak lukanya. Lelaki itu tidak akan marah. Cukup mengasihani, bagaimana selama ini Ia mengasihani diri sendiri.

Walaupun Tirta rasa, Jeffrey tak akan mengalami yang lelaki itu dapat. Keluarga baik seperti Abraham bukan pemaksa seperti Ferdinand. Tampaknya lelaki itu juga baru bahagia kala Jingga ada di sebelahnya—yang saat ini juga akan dijauhkan darinya jika wanita itu tak segera mengandung anaknya.

"Should I check it?"

Suara itu mengaburkan segala isi kepalanya. Lelaki itu akui sudah sedikit pengar. Tapi setidaknya Tirta masih dapat mengetahui kemana arah pembicaraan mereka "Bukannya Rose nolak? Mau lo paksa? Yakin?"

BlissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang