Babad Diponegoro

18 0 0
                                    

Nilai Religius dan Budaya dalam ‘Diri’ Pangeran Dipånegårå dan Perwujudannya dalam Perang Jawa dalam jiwa Nasionalisme yang kuat

Oleh Roni Sadewo (Keturunan dari Pangeran Diponegoro)

Bendara Raden Mas (BRM) Mustahar lahir di Keraton Yogyakarta pada Jumat‘ Wage tanggal 11 November 1785 saat sahur pada bulan puasa (Babad Dipånegårå II.45), putra dari — ahli sejarah Jawa kuno— Sultan Hamêngkubuwånå III dan ibu (R.Ay. Mangkåråwati) berasal dari Pesantren Majasta (pusat Islam awal abad ke-16 di Jawa Tengah) dari keturunan Ki Ageng Prampélan (sezaman Panembahan Senåpati, memerintah 1575-1601) dan trah Sunan Ampél.

Perang Jawa yang ia lakukan ‗dibaca‘ dari beberapa pespektif historis sebagai perang yang identik dengan Islam dan ‗kekuatan budaya Jawa‘. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari bagaimana nilai Islam dan Jawa tumbuh mengakar dalam diri Pangeran Dipånegårå sejak kecil dan apa saja yang diwujudkan dalam gerakan perjuanganya dalam perang Jawa (1825-1830).

Hal tersebut akan dilihat secara diskriptif analitif dalam kajian ini. Antara Jawa dan Islam dalam ‘diri’ Pangeran Dipånegårå. 

Sejak kecil, Pangeran Dipånegårå memperlihatkan kegemaranya akan nilai Islam dan budaya Jawa yang terlihat ketika ia sering hadir pada acara gêrêbêk (Mulud, ‗Id al-fitri dan ‗Id alAdha), akrab dengan santri dan petani di Tegalrejo, Yogyakarta, mengaji —kitab Tuhfah (sufisme tujuh tingkat eksistensi), usul dan tasawuf, suluk (syair mistik Jawa), sêrat Anbiya, tāfsir Qur’an, Ṣirāṭ as-salāṭin dan Tāj as-salāṭin (didaktik filsafat politik Islam), dan karya hukum Islam (fiqh), seperti Taqrīb, Lubāb al-fiqih, Muharrar, dan Taqarrub (komentar taqrib)— kepada Kiai Taptåjani (sekitar 1750-1828) di Mlangi.

Pangeran Dipånegårå kemudian menjadi sosok yang ‗alim (‘alamah) yang terlihat ketika ia mengritik pemangkasan kewenangan pengadilan agama Jawa (surambi) oleh kolonial Inggris pada tahun 1812 (Carey, 2017:6,17,31), yaitu: Pemerintahan (Eropa) di Jawa merupakan kemalangan besar bagi rakyat Jawa karena mereka telah dijatuhkan dari hukum Ilahi yang disampaikan oleh nabi dan ditempatkan di bawah peraturan peraturan hukum Eropa”. (Carey, 2017:451).

Dalam kedekatannya dengan nilai budaya Jawa, Pangeran Dipånegårå juga belajar kitab-kitab Jawa modern, seperti Serat Rama, Bhoma Kāwya, Arjuna Wijaya, Arjuna Wiwāha dan Jaya Lengkara Wulang —yang menuntunnya menjadi santri lêlånå ketika ziarahnya ke Parangtritis tahun 1805—
ketika salinannya ditemukan di Selarong pada Oktober 1825.

Sebagai pribadi Jawa, Dipånegårå merupakan sosok penggemar wayang dan karakter lakonnya, dan menggambarkan dirinya sebagai sosok ‗Arjunå‘. Ia juga mengajari lakon wayang purwa Mahabarata untuk anaknya ketika di pengasingan. Berbagai cerita Menak, cerita Panji, cerita Manikmåyå (kosmogoni mitos pertanian dan tradisi wayang), dan menak Amir Hamzah (kepahlawanan paman nabi), semuanya menjadi bacaan kegemaran Pangeran Dipånegårå (Carey, 2017:32-33).

Ia penghayat tasawuf —diduga penganut tarekat Syaṭṭariyah— yang dalam autobiografinya (Babad Dipånegårå) menjelaskan tentang arti iman (iklas menerima), tokid (tauhid, kebenaran), ma’ripat (ma’rifah menolah dualitas). 

Walaupun begitu, Pangeran Dipånegårå merupakan sosok yang moderat dalam pemahaman agama, terbukti ketika ia menolak cara penyembuhan Pangeran Dêmang yang menjilati pusar ayahnya (Sultan Hamêngkubuwånå III) dengan mantra ghaib menjelang wafatnya pada 3 November 1814 (Ricklefs (2007:8;Carey, 2012:474).

Oleh karena nilai agama dan budaya Jawa di atas, maka Pangeran Dipånegårå menjadi sosok yang ‗peka‘, ‗intuitif‘, dan ahli membaca watak orang (ngélmu firasat, fisiognomi) (Carey, 2017:5) —yang didapatkan dari kemampuan pemahaman nilai Islam dan nilai budaya Jawa dan dibentuk khusus oleh nenek buyutnya (permaesuri Sultan Hamêngkubuwånå I) sampai tahun 1803 di Tegalrejo— yang menjadikannya semakin berwibawa di kalangan agamawan dan bangsawan, maupun petinggi Eropa dan rakyat Jawa. 

Celengan PengetahuanWhere stories live. Discover now