Chapter 2.11

9.8K 1.6K 396
                                    

Yang nggak ngevote nggak boleh baca, yang nulis galak (≧▽≦)







Fajar tak pernah terasa semencekam ini untuk Nanon sebelumnya. Titik demi titik pendar oranye di antara lingkup gelap yang mulai menyongsong pagi tak dirasakannya.

Nanon masih duduk di atas ranjang. Menatap kosong entah pada titik mana dengan air mata yang masih terus mengalir tanpa bisa dikontrol meski matanya telah bengkak sempurna.

Otaknya penuh distraksi agar segera bangkit dan mencari kebenaran yang telah terjadi, namun hatinya enggan. Hatinya menahan raga, merengkuh lewat sangkalan-sangkalan tak terima.

Ohm baik-baik saja
Ohm masih hidup
Ohm akan pulang sebentar lagi
Ohm akan menemaninya sampai tua nanti

Setiap frasa penuh sugesti yang coba Nanon tanamkan dalam hati.

Pintu kamar masih tertutup. Gorden dan jendelapun masih belum dibuka, membuat gelap makin terasa karena Nanon tak menyalakan lampu.

Bahkan suara televisi yang menyala dengan suara-suara tawa khas Spongebob tak dihirau Nanon. Si manis sadar, buah hatinya pasti sudah bangun dan siap dengan kartun paginya di hari libur begini. Tapi untuk saat ini badannya benar-benar sulit untuk sekedar digerakkan bangkit.

"Ohm.." gumamnya tanpa suara.

Air mata lagi-lagi lolos. Telapak tangan kanannya merambat, meremas lembut bagian perutnya menerawang sekaligus menolak kenyataan yang akan mereka hadapi nanti.

Badannya berbalik, meraih sesuatu yang ia sembunyikan di balik bantal.

"Ohm.." matanya menatap nanar. Garis yang berjajar rapi jadi perhatian dan alasannya kembali menangis keras.

"Arghh !!!" Benda di tangan dilempar begitu saja hingga mendarat jauh di bawah kolong meja.

Nanon menangis. Kali ini dengan raungan dan isakan keras yang berakibat suara sesenggukan menyayat.

Tok.. tok.. tok..

"Bundaaa.. bunda kenapa??" Suara ketukan diikuti riuh khawatir Marc di depan pintu.

Nanon yang sedang menelungkupkan kepala di antara lipatan lututnya mendongak. Punggung tangannya menghapus kasar air mata, namun berkali usahanya gagal. Air matanya tak mau berhenti, senantiasa mengiringi debaran keras sekaligus menyakitkan di dalam hati.

"Bundaaa.. bunda nangis ya?" Marc kembali bersuara.

"Ng..nggak, sayang." Nanon mencoba menjawab. "Bb.. bunda lagi telfon hiks sama eyang." Meski dengan suara pecah dan sakit di tenggorokan.

"Oh.. yaudah adek lanjut nonton lagi ya.."

Setelahnya terdengar derap cepat dari arah luar. Sepertinya Marc berlari untuk kembali ke depan televisi.



....






Nanon sepertinya tertidur karena kelelahan menangis. Ketika matanya terbuka meski dengan usaha lebih karena sembab, bengkak dan memerah secercah sinar mentari yang melewati jendela kamarlah yang menyambutnya.

Jendela kamar? Tunggu.

Bagaimana jendela kamar bisa terbuka jika Nanon tak merasa membukanya tadi?

Kepalanya ditolehkan dengan tatapan mengedar, memindai satu persatu sudut kamar. Pintu yang tak lagi tertutup sempurna, menyisakan celah pertanda jika ada yang membuka. Selimut tebal yang membungkus kaki Nanon padahal tadi sudah ia singkap dan biarkan menggantung di ujung ranjang. Serta gorden jendela yang terbuka, membuat mentari dengan bebas menyombongkan sinarnya pada Nanon.

KEEP IT OR RID IT (OhmNanon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang