Chapter 11

16.1K 1.9K 279
                                    

Suara lembut Ronan Keating dengan lagu If Tomorrow Never Comes yang sedari tadi mengisi ruang dengar New lewat speaker cafe, tiba-tiba berganti dengan suara berat Tay. Ditambah satu tepukan ringan di pundak, membuat New hampir saja terlonjak.

"Kenapa, mas?" Tanya New polos.

Tay nampak menghembuskan nafasnya kasar. Meraih tangan New yang menganggur dibatas meja untuk digenggam sembari ditatap teduh.

"Hin, aku ajak kamu kesini bukan cuma buat nemenin aku nemuin client. Aku juga pengen kamu refresh pikiran kamu, biar nggak sedih terus, nggak murung terus." Ujar Tay dengan nada lembut.

Pasalnya sejak menemukan tentang kehamilan Nanon, pikiran New tak bisa tenang. Yang dilakukan selalu melamun dan tampak gelisah. Hal itu pula-lah yang membuat sang suami ikut khawatir.

"Tapi, mas.." raut New tampak murung. "Aku nggak bisa berhenti mikirin adek. Adek masih kecil, masih 15 taun. Apa nantinya dia bisa ngadepin ini semua? Aku nggak tega, mas."

Genggaman tangan Tay makin mengerat, diselingi usapan ringan dengan ibu jarinya menenangkan. "Ini yang terbaik, Hin. Bukannya kamu juga yang kasih keputusan untuk nggak gugurin bayi mereka?"

Diam-diam New mengiyakan pernyataan Tay. "Tapi, mereka masih terlalu kecil untuk ngambil tanggung jawab itu sepenuhnya, mas. Apa mereka bisa?"

"Terus kamu maunya gimana? Kita kasih orang untuk adopsi setelah bayinya lahir?"

"Nggak gitu, Tay !!"

"Ok, ok.. sorry kalo aku salah. Tapi mau kamu gimana?"

New menggeleng lemah. Menyandarkan punggung lelahnya di sandaran kursi yang didudukinya. "I don't know."

Tay memandang istrinya kasihan. Bagaimanalun New adalah seorabg ibu yang tak ingin hal buruk menimpa anaknya. Sekalipun itu buah dari kesalahan anaknya sendiri.

"Tenang, Hin. Aku dan Singto sudah atur rencana biar mereka bisa sama-sama belajar dewasa. Aku juga nggak mau cucuku nanti diasuh sama orang tua yang nggak becus."


....



"Kakak.." gumam Ohm memandang sang kakak yang masih menatapnya datar.

Membawa botol minumnya ke meja makan, sang kakak mendekati Ohm.

"Gue pikir badan lu doang yang lebih tinggi dari gue, ternyata emang bakalan tuaan lu duluan dari pada gue."

Ohm mengernyit mendengar perkataan kakaknya. "Maksud lu?"

Yang ditanya malah terkekeh. Entah kenapa nada tawanya terdengar sarkas di telinga Ohm. "Lu bakal jadi orang tua duluan kan dari pada gue?"

Tepat. Ohm tak bisa menjawab pertanyaan segampang itu.

Ohm menunduk. Memandang segan pada kakaknya yang sudah duduk. "Kak, gue....."

"Mau minta maaf? Nggak ada efeknya lu minta maaf sama gue. Minta maaf sama diri lu sendiri tuh, lebih guna."

"Gue kira dengan gue kuliah di Inggris lu bakal bisa lebih tanggung jawab di rumah jagain mama papa, ternyata jagain nafsu lu sendiri aja lu nggak bisa." Lanjut sang kakak yang masih sama di telinga Ohm, pedas.

Pegangan Ohm di piring yang berisi nasi untuk Nanon makin mengerat. Dadanya naik turun menahan emosi mendengar kata demi kata yang kakaknya ucap.

Namun bagaimanapun Ohm sadar ia memang salah. Dia dan Nanon sudah benar-benar memupuk coreng tebal di muka keluarga masing-masing.

"Dan cowok yang lu bawa pulang tadi..."

Ohm yang paham kemana arah pertanyaan menggantung itu langsung menjawab. "Iya, dia."

KEEP IT OR RID IT (OhmNanon)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora