Kakak

3.8K 397 52
                                    

Kembali bersama cerita yang apdetnya sebulan sekali ;)











Sekitar jam sepuluh malam kala Ohm disambut punggung Nanon yang tidur menghadap dinding saat masuk ke kamar mereka. Sang suami baru saja mengecek kedua jagoannya di kamar masing-masing. Mengantar tidur dan mencium kening putra-putranya, hal yang biasa dilakukan Nanon.

Tapi malam ini Ohm yang bertindak. Bukan apa, sang istri sedang dalam mood buruk semenjak makan malam dan selipan obrolan tentang masa depan antara mereka dan kedua jagoannya.

"Anak-anak udah pada tidur?" Nanon membalik badan saat mendengar suara pintu yang dibuka dari luar.

Sang suami mengangguk. Menyibak selimut yang Nanon gunakan untuk bergabung dalam satu ranjang.

"Pada nanyain kamu, kenapa tumben nggak ke kamar mereka."

"Kamu bilang apa?"

"Aku bilang kamu rada pusing aja." Sedikit bohong, tapi tak sepenuhnya. Bukan pusing fisik, tapi mental.

"Non, kamu beneran nggak setuju?" Si tampan bertanya lagi saat tak mendengar suara Nanon merespon kalimatnya lagi.

Beberapa detik Nanon biarkan sepi merajai. Lalu badannya yang semula menghadap Ohm dirubah memaling diikuti suaminya. Posisinya sekarang mereka terlentang bersisian, sama-sama mengawang ke atas langit-langit kamar.

"Ibu mana sih yang mau jauh-jauh dari anaknya?" Nanon mengujar datar.

Terdengar tipis helaan nafas dari yang lebih tua. "Walaupun itu buat kebaikan si anak?"

Nanon sontak menengok ke arah Ohm dengan tatap tajam. "Loh?? Jadi kamu bilang larangan aku bikin Marc nggak baik???"

"Ck, bukan gitu maksudnya sayang."

Mereka duduk tegak, dengan Ohm mencoba menenangkan si manis. Meraih kedua tangan Nanon, diremas lembut dalam genggaman.

"Non, maksudku...."

"Stop, dengerin aku dulu." Apa Ohm akan menolak? Tentu saja tidak. Perintah Nanon adalah mutlak baginya. Budak cinta, dasar.

"Ok, go on."

Nanon melepas jemarinya yang Ohm genggam. Digunakan untuk meraup muka yang mulai merah karena kesedihan mendadak datang.

"Ohm, aku sama Marc dulu pernah terpisah sampai enam tahunan. Dan sekarang aku nggak mau hal itu terulang." Makin berkaca netra Nanon saat memulai kata.

"Iya, sayang aku ngerti. Tapi kuliah ke luar negeri kan impian Marc sendiri. Dia pengen sukses, pengen berkembang. Dan selagi kita bisa kenapa nggak kita turutin kemauan dia?" Sungguh, Ohm betulan memilih setiap kata yang dia ucapkan. Tak mau membuat Nanon kecewa atau salah paham.

Saat makan malam tadi Ohm sempat menanyakan tentang sekolah putranya masing-masing lalu entah bagaimana bisa sampai pada bahasan soal masa depan. Si bungsu bilang dia bercita-cita jadi astronot, mau terbang bulan dan menanam padi di sana. Khas khayalan anak kecil yang walaupun diluruskan tetap akan berkembang.

Lalu sulungnya menyahut jika ia ingin meneruskan pendidikan soal bisnis ke luar negeri setelah lulus SMA. Tujuannya belum ditentukan, tapi ada dua kemungkinan. Di Inggris menyusul Uncle Fiatnya, atau di Australia tempat sang Bunda pernah mencari gelar.

"Sukses nggak harus ke luar negeri kan? Di sini juga bisa, Ohm!! Kamu aja lulusan almamater sini tapi buktinya bisa sukses kok." Nanon tetap pada pendiriannya.

"Tolak ukur sukses orang kan beda-beda, Non. Kakak mungkin pengen yang lebih dari Papanya. Dia pengen banggain kita, sayang."

"Nggak harus dengan kuliah ke luar negeri." Dengan cemberut Nanon palingkan muka. Tak mau menatap suaminya yang dianggap sedang tak berpihak pada keputusannya.

KEEP IT OR RID IT (OhmNanon)Where stories live. Discover now