Chapter 39

12K 1.8K 501
                                    

Vote?






"Ohm.." Krist berdiri, menyambut bungsunya yang baru saja keluar dari kamar jenazah.

Baju penuh noda darah, air mata mengering dan masih disusul lelehan yang lain, isakan tak tertahan yang semakin membuatnya terdengar pilu, mengenaskan.

Singto menyaksikan lewat tatapan sendu. Di hadapannya, bungsunya begitu rapuh dalam dekapan sang mama.

"Aku salah, ma.. ini semua salah aku.." Ohm mengadu bagai anak kecil yang penuh rengekan. Tangannya menggenggam erat kain baju bagian lengan mamanya.

"Nggak, sayang ini takdir. Kamu jangan nyalahin diri kamu sendiri terus.." mamanya juga berurai sedih. Wajahnya bahkan sudah memerah, basah.

"Kamu harus kuat buat keluarga kamu, Ohm." Akhirnya Singto membuka suara sembari menepuk bahu anak keduanya.

Tapi yang membuat Ohm mendongak bukanlah perkataan Singto, melainkan kedatangan Frank dengan nafasnya yang memburu.

"Ohm, dipanggil dokter Arm."

Tak sempat menjawab, Ohm langsung mengambil tindakan berlari ke arah sang dokter berada. Tak peduli hal lain, karena ia yakin ini pasti ada hubungannya dengan sang belahan jiwa.

Sampai di lorong bagian tindakan, langkahnya dipaksa memelan begitu saja. Nyalinya hampir roboh disuguhi wajah-wajah penuh sendu di depannya.

New yang sudah lelah menangis, Pluem yang diam-diam selalu menghapus air matanya, dan tentu saja Tay si kepala keluarga yang kemarin masih menampakkan tatapan tajam pada Ohm. Tapi kini Tay bahkan terang-terangan menangis, menangisi bungsunya yang merasakan derita tiada henti.

Bagaimanapun Nanon adalah bungsu kesayangannya, anak manjanya, sosok yang paling membutuhkan perlindungan di antara mereka berlima.

Cklek..

Dokter Arm keluar dari ruang tindakan. Tatapannya langsung terarah pada sosok Ohm yang masih tak bersuara.

"Gimana, Arm?" New yang bertanya lebih dulu.

Singto, Krist dan Frank yang baru saja ikut bergabung juga diam menanti penjelasan dari sang dokter.

"Benturan di perutnya mengakibatkan gangguan pada plasentanya dan pendarahan. Kita harus segera ambil tindakan dengan melakukan operasi caesar sekarang."

"Tapi usia janinnya masih tujuh bulan, Arm?" New.

"Premature. Kita nggak bisa ambil resiko buat kehilangan salah satu atau dua-duanya, kan?"

"Lakukan apapun, asal mereka selamat." Singkat dan tegas, khas seorang Tay Tawan.

Yang lain hanya bisa mengangguk menyetujui, termasuk Ohm. Isi otaknya benar-benar blank memikirkan anak dan istrinya yang sedang berjuang di ambang kematian.

"Dok, pasien memanggil nama Ohm terus." Beri tahu seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang tindakan.

Arm mengangguk lalu menatap lurus ke arah si pemilik nama.

"Ohm, ikut saya masuk, temenin Nanon di dalem."

Tentu saja yang lain tak sempat protes. Toh waktunya juga sedang tidak mendukung.




....


Ohm segera diberikan satu stel disposable surgical gown setelah memasuki ruang tindakan. Sembari mengenakannya, samar-samar terdengar suara kesakitan Nanon yang begitu menyayat hatinya.

Setelah melakukan beberapa tindakan sterilisasi, Ohm semakin masuk ke dalam ruangan. Sepertinya segala keperluan operasi sudah di siapkan.

Nanon disana, terbaring miring dengan badan yang melengkung dalam. Rautnya menahan sakit ketika seorang perawat menyuntikkan anestesi spinal di bagian ruas tulang belakangnya.

KEEP IT OR RID IT (OhmNanon)Where stories live. Discover now