Papa

5.7K 629 91
                                    

Vote dulu, ya!!! ;)









Televisi di ruang keluarga mulai dinyalakan oleh Nanon ketika si manis selesai dengan tugasnya mencuci piring bekas makan malam ia dan putra bungsunya. Hanya si bungsu? Ya. Karena malam ini Ohm kembali harus lembur dan Marc masih ada urusan dalam persiapannya menjelang ujian.

Nanon sudah duduk nyaman di sofa sembari mulai menekan remot menyalakan televisi. Meski badannya cukup lelah setelah tadi siang mengisi dua kelas tutorial di studio musik, namun agaknya Nanon tak mau ketinggalan kelanjutan cerita sinetron kesayangannya.

Sedang khidmat-khidmatnya menyaksikan adegan sepasang kekasih yang bertengkar di kedai kopi, Mac datang mendekat dengan buku tulis, buku paket, serta kotak pensil dalam dekapan. Nanon mengawasi pergerakan putranya yang kini duduk meleseh sembari menggelar tugas-tugasnya di atas meja tepat di depan sofa yang diduduki sang bunda.

"Bikin PR-nya di kamar aja, dek. Di sini nanti kebrisikan Bunda mau nonton." Nanon menasehati.

Si kecil Mac menjawab tanpa menoleh. "Di dalem sepi. Sini aja sama nemenin bunda sekalian. Udah bunda nonton aja, aku mau lanjutin bikin tugas."

Nanon hanya mengangguk. Sesekali mengintip sedikit putranya yang menulis sambil menggumam kecil soal yang tengah dikerjakannya.

"Jika kakak kamu punya 14 permen rasa jeruk, dan akan dibagi dua denganmu sama banyak maka berapa permen kakakmu yang tersisa?" Entah soal ke berapa yang Mac kerjakan malam itu.

"Berapa, dek?" Panggilan Nanon membuat Mac menoleh cepat. Pensilnya diketuk-ketukkan ke dagu sambil melirik langit-langit, berpikir.

"Masih 14 kan?" Tanya Mac ragu.

Bundanya menggeleng. Beruntung drama opera sabunnya sedang dipotong iklan, sehingga ia bisa sejenak mengajari tugas bungsunya.

"Ya nggak dong, sayang. Kan ada 14 permennya, terus dibagi dua buat kamu sama kakak. Kakak dapet berapa?"

"Ya 14, bunda. Masih utuh."

"Itu sama aja belum dibagi. Bagi dua dulu dong."

"Kan emang nggak dibagi."

"Hah?"

"Orang kakak pelit sama aku. Nggak bakal mau dia kalau permennya dibagi dua sama aku."

Nanon menghembuskan malas nafasnya mendengar alasan dari jawaban ada-ada sang anak. "Pake cara matematika biasa aja. Dibagi 2. Jangan ngeyel."

"Ck. Iya, iyaa.."

Kebetulan iklannya selesai, Nanon kembali fokus ke layar kaca.

"Ish, Pete kok judes amat sih, bun? Marah-marah mulu deh sama Kao."

Mendengar kalimat sang putra, Nanon sontak mengalihkan pandang dari televisi pada sosok kecil kesayangannya.

"Katanya mau bikin PR, kok malah ikutan nonton?" Heran Nanon.

Mac tersenyum polos. "Besok aja deh, bun. Sinetronnya seru ternyata."

"Ck. Besok keteteran, dek."

"Nggak kok, kan ngumpulinnya masih lusa."

Kemudian tanpa menutup bukunya, Mac naik ke sofa dan duduk di antara kaki Nanon. Badannya disandarkan di dada sang bunda, mencari nyaman.

"Papanya Pete baik banget." Komentar Mac pada adegan sinetron di hadapannya.

Nanon menggerakkan jemari, mengelus-elus rambut depan Mac yang masih menyender padanya. "Papa Mac juga baik, kan?"

"Hm. Dulu tapi."

KEEP IT OR RID IT (OhmNanon)Onde histórias criam vida. Descubra agora