Chapter 7

18.2K 2.3K 361
                                    

Hening mengisi ruang kamar Nanon siang itu. Hanya ada suara detak jam dinding dan samar hembus nafas si pemilik kamar yang masih duduk menyandar di kepala ranjang.

Kemarin sekembalinya Tay dan Frank dari rumah Ohm, tak ada seucap-pun kata keluar dari sang ayah untuknya. Tak beda dengan si anak tengah, bahkan tadi pagi ketika berpapasan dengan Nanon Frank hanya melengos.

Hanya sang bunda yang telaten merawatnya sejak Nanon siuman dari pingsan. Tadi pagipun New dengan sigap menyiapkan teh lemon untuk mengurangi rasa mualnya.

Hati Nanon terasa sakit, tapi kemudian dia menyadari jika ini adalah konsekuensi perbuatannya. Hasil dari kesalahan fatalnya.

Cklek ..

Nanon tak bergeming dengan suara pintu yang terbuka. Bahkan ketika seseorang masuk dan duduk di tepi ranjangnya, memandang miris.

"Dek.." Itu suara lembut Pluem.

Si sulung baru saja sampai setelah mendapat telfon dari bundanya. Kaget? Tentu saja. Tapi otaknya dipaksa mendingin oleh rasa sayangnya pada si bungsu.

"Kamu udah baikan?" Pluem menggenggam tangan kanan Nanon yang menganggur. Tapi sayang masih tak ada respon.

Si sulung menghela nafas lalu tersenyum. Jemarinya terulur menyibak anak rambut di dahi sang adik.

"Bunda udah bilang. Jujur abang nggak nyangka banget. Masa kamu nyalip abang sama Frank sekalian." Ada kekehan hambar dari mulut Pluem.

"Abang inget dulu waktu kamu lahir abang baru usia 4 taun, Frank 2 taun. Tapi waktu itu abang ngeyel pengen banget bisa gendong kamu. Akhirnya bunda ngijinin tapi sekedar mangku doang. Itupun diawasi banget sama ayah." Lagi-lagi ada kekehan. Kali ini Nanon mulai melayangkan pandang pada kakak tertuanya. Mata bengkak itu tertangkap penglihatan Pluem.

"Sekarang bahkan kamu udah mau punya bayi sendiri."

"Bang..." Panggil Nanon lirih lalu menubrukkan badannya dalam pelukan sang kakak.

Tangis yang lebih muda kembali terdengar. "Maaf, bang. Maafin adek. Adek salah. Adek bikin malu."

"Ssttt.. udah dong jangan nangis.." kepala belakang dan punggung Nanon dielus menenangkan.

Tapi bukannya tenang, rengkuhan di kaos Pluem malah makin erat. "Adek bodo banget, bang. Adek salah."

Pluem mengurai pelukannya. Ditatap wajah basah sang adik lalu menghapus aliran air matanya dengan kedua jempol tangan.

"Hei, Tuhan yang ngasih jalan ini ke kamu. Itu tandanya Tuhan percaya kalo kamu bisa buat laluinnya. Jangan bilang kesalahan, kasihan kalo ponakan abang nanti denger."

"Bang.." Entah kenapa air mata Nanon masih tak mau berhenti. Hatinya merasa tergelitik ketika abangnya berucap tentang 'keponakan' tadi.

"Adek nggak ada niat ngilangin ponakan abang kan?"

Sontak Nanon menggeleng heboh. "Nggak, bang. Aku mau pertahanin dia dari awal. Dia anak Nanon."

Pluem tersenyum teduh. "Kamu bener. Apa yang kamu lakuin emang udah harusnya gitu. Dia tanggung jawab kalian mulai sekarang."

"Tapi ayahnya ...."

"Sabar ya, dek. Abang yakin suatu saat ayahnya bakal terima. Mungkin pikiran dia lagi kalut aja. Tapi tenang, abang bakal bantuin kamu sebisanya abang. Kamu jangan sedih, jangan nangis lagi."

Tapi dia terang-terangan nolak kami, bang -batin Nanon

"Eum." Angguknya.

Ketika keduanya terlibat obrolan, terdengar suara bel dari pintu depan. Pluem bangkit.

KEEP IT OR RID IT (OhmNanon)Место, где живут истории. Откройте их для себя