Chapter 15

16.1K 1.9K 559
                                    

Ujian tinggal beberapa hari lagi. Setelah berbulan-bulan melakukan berbagai persiapan dengan try out, jam tambahan dan sebagainya inilah saat kemampuan mereka sebenarnya diuji.

Nanon duduk bersama Ohm di ruang tamu rumah mereka dengan beberapa buku dan kertas soal di hadapan mereka. Meskipun merasa jika nanti ijazahnya juga tak akan berguna, namun Nanon tetap berniat agar dia bisa lulus dengan nilai baik.

Sesekali mata jernih Nanon melirik sosok di hadapannya yang sedari tadi begitu fokus. Raut frustasi dan putus asa begitu tergambar di wajah Ohm yang sedari tadi menggaruk kepala meski tak gatal.

Nanon tersenyum. "Caranya nggak gitu."

Ucapan Nanon membuat Ohm mendongak. Keningnya dikernyitkan tanda bertanya.

Nanon mengambil buku di hadapan Ohm. Mengerjakan soal matematika yang sedari tadi membuat Ohm tak berdaya.

"Ini disamain dulu konstantanya pake cara subtitusi, habis itu nilai y-nya bakal ketemu. Baru lanjut dimasukin nilainya ke persamaan pertama, nanti ketemu juga nilai x-nya. Gini." Ujar Nanon mengerjakan sembari menerangkan.

Nanon mengernyit ketika tak ada respon dari Ohm. Pemuda itu sedari tadi diam, entah apa yang diperhatikan.

"Ngerti?" Nanon.

"Oh, ha? Kenapa?" Tanya Ohm tak fokus.

Ternyata yang jadi perhatiannya tadi bukanlah penjelasan Nanon, melainkan sesuatu yang mengintip dari celah kerah rendah kaos kebesaran yang dikenakan Nanon.

Ohm menelan ludah kesulitan. Entah kenapa dada Nanon tampak lebih besar di penglihatannya kini.

"Ck. Jangan ngelamun mulu makanya. Fokus dong, nanti nggak ngerti-ngerti." Geram Nanon sudah tak sabar.

Ohm menghela nafas lelah dengan pernyataan istrinya. Badannya dibawa berbaring di lantai, berbantal paha empuk Nanon.

Nanon kaget awalnya dengan kelakuan tiba-tiba Ohm. Wajahnya memerah malu. Tapi akhirnya dia hanya membiarkan. Bahkan tak sadar tangannya bergerak membelai rambut halus Ohm.

"Aku masih nggak paham ngapain kita capek-capek belajar. Toh nantinya kita nggak akan masuk SMA." Ujar Ohm enteng.

Satu geplakan main-main diberikan Nanon di kening Ohm. "Masuk lah. Enak aja nggak mau masuk SMA."

Ohm meraih tangan Nanon yang masih ada di keningnya. Memainkan tangan tersebut di depan wajah. "Gimana mau masuk SMA? Makan aja kita nggak tau nantinya bisa tetep makan apa nggak. Apalagi kamu, perut kamu bentar lagi gede kan?"

Nanon menghela nafas mendengar ucapan realistis suaminya. "Kalo aku nggak bisa seenggaknya kamu bisa. Gimanapun caranya kamu harus sekolah, Ohm. Kita kerja habis ini."

Hati Ohm berdesir hangat ketika kembali mendengar Nanon menggunakan kata ganti aku-kamu lagi dengannya. Padahal setelah pertengkaran hebat mereka dulu, Nanon memanggilnya dengan kata ganti lu-gue.

"Kerja apa? Kerjaan macam apa yang cuma butuh ijazah SMP? Bahkan pelayan rumah makan aja sekarang harus SMA."

"Apapun. Kita kerja apapun asal dapat uang pake cara baik-baik. Kita buktiin ke ayah sama papa kalo kita bisa lewatin hukuman mereka."

Ohm bangkit dari rebahannya. Duduk tepat di hadapan Nanon dengan tangan sang istri yang masih dalam genggaman.

"Dengerin aku. Pertama, aku yang kerja bukan kita. Kamu di rumah aja. Kedua, uang kita nggak akan cukup kalo biayain sekolahku juga. Dan lagi, kalo pihak sekolah tau aku udah nikah bukannya aku malah bakal dikeluarin?"

"Tapi Ohm, kita bisa sembunyiin. Aku bakal sembunyi biar sekolah kamu lancar. Aku juga bakal ikut kerja biar financial kita terbantu. Aku bisa kok bantu-bantu jaga toko atau apapun itu asal dapet uang."

KEEP IT OR RID IT (OhmNanon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang